Momentum Membangun Ekonomi Perempuan

Selasa, 25 April 2017 - 07:57 WIB
Momentum Membangun Ekonomi...
Momentum Membangun Ekonomi Perempuan
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

PENDAR Raden Ajeng Kartini sebagai pahlawan emansipasi wanita terbukti sulit dihapus dari kehidupan sejarah bangsa Indonesia.

Secara umum, sejarah Kartini mengajarkan tentang gerakan sosial yang mencoba keluar dari keseharian dan kejumudan. Arah gerakannya dikemas untuk berbuat dan menghasilkan sesuatu yang berbeda, lebih khususnya gerakan ini tertuju bagi kaum perempuan.

Upaya yang paling dikenang tentu saja terlihat ketika Kartini berusaha merekonstruksi daya tawar perempuan, dengan meningkatkan pemberdayaan dan kesetaraan gender dalam berbagai hal strategis. Warisan pemikiran Kartini bertujuan akhir mendorong kaum perempuan agar lebih berperan sebagai agent of change dalam poros pembangunan bangsa.

Anekdot kultur Jawa pada masa itu memang seakan-akan mendikotomi peran perempuan sebatas macak (berdandan), masak (memasak), dan manak (melahirkan anak), sehingga ada anggapan pendidikan dan akses pemberdayaan bagi kalangan wanita tidak perlu terlampau tinggi. Namun, Kartini menganggap posisi perempuan akan lebih bernilai strategis lagi jika proses kehidupannya direvolusi.

Tanpa mengesampingkan kodratnya sebagai seorang istri dan ibu bagi keluarganya, perempuan juga bisa menjadi tulang punggung bangsa di berbagai posisi strategis dengan bekal karakternya yang lazim dengan kelembutan, ketenangan, keuletan, jiwa yang kuat, serta daya tampung ingatannya yang kadang dianggap lebih baik dari kaum pria. Selain itu, unsur pendidikan menjadi penting karena dari rahim para perempuan ini pula, akan terlahir generasi yang akan menjadi aktor-aktor pergerakan di masa mendatang.

Perempuan sering pula disebut sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya kelak. Dengan semakin meningkatnya kualitas kaum perempuan di Indonesia, Kartini berharap tujuan untuk mewujudkan kejayaan bagi bangsa ini akan bergerak lebih cepat.

Dari dokumen-dokumen sejarah yang telah penulis pelajari, Kartini sedikitnya mewariskan tiga pemikiran utama yang seharusnya menjadi pedoman dasar pergerakan. Memang secara alami, tiga pemikiran ini lebih dikhususkan bagi pergerakan kaum wanita masa kini, namun tidak menutup kemungkinan juga bisa disadur bagi kami kaum lelaki.

Pertama, Kartini menitipkan pentingnya semangat belajar yang tinggi melalui aktivitas membaca dan menulis. Penguasaan beragam bahasa asing juga menjadi penting untuk menciptakan kemampuan literasi dan membuka ruang inspirasi yang lebih besar. Kartini sendiri sudah membuktikan bahwa dengan kemampuan menulis dan daya nalarnya yang kuat, beliau mampu menjadi bagian transformasi sejarah Indonesia yang sulit tergerus perubahan zaman.

Kedua, Kartini menganggap bahwa tingkat pendidikan akan turut membangun tingkat kepercayaan dan keterbukaan diri terhadap hal-hal baru yang bermuatan positif. Berkat pengalaman hasil mengenyam pendidikan formal di era penjajahan Belanda, Kartini merasa lebih mampu mengolah nalar kritis sekaligus mengelola keniscayaan dalam perbedaan pandangan.

Pesan ini masih sangat relevan hingga saat ini yang kadang kala perbedaan latar belakang ideologi dan status sosial yang seakan dibiarkan kian meruncing. Seharusnya dengan akses pendidikan yang sudah lebih terjangkau, kita semuanya juga semakin arif merespons gejala-gejala yang dapat menimbulkan konflik.

Dan warisan yang ketiga, ada pesan yang mendalam bahwa kita perlu terlibat aktif untuk berkontribusi secara sosial. Beberapa akses pengembangan diri harus dibuka untuk meningkatkan kemandirian masyarakat.

Namun, kemandirian ini tidak akan bermakna lebih luas, jika tidak dikelola dalam satu kerangka cita-cita bersama. Dan, sekarang mari kita lihat sudah sejauh mana cita-cita Kartini telah ditegakkan di permukaan bumi pertiwi ini.

Dari Data dan Indikator Pembangunan Gender Indonesia (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2015), selama satu dasawarsa terakhir Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) dalam tren yang cenderung terus meningkat.

Dalam kurun waktu 2004–2013, IPG nasional mengalami kenaikan dari skor 63,94 menjadi 69,57. Sedangkan IDG dalam kurun waktu yang sama berhasil meningkat signifikan dari skor 59,70 menjadi 70,46. Indikator pendidikan juga kian meningkat misalnya dari segi indikator angka partisipasi sekolah dan angka melek huruf.

Bahkan dari sisi kesehatan yang diukur dari angka harapan hidup, kaum perempuan tercatat lebih baik daripada kaum laki-laki. Namun, progresivitas variabel pembentuk IDG selama 2009-2014 cenderung tidak signifikan, dimulai dari keterlibatan perempuan di parlemen yang hanya meningkat tipis dari 18,00% menjadi 18,04%, sumbangan perempuan dalam pendapatan kerja yang sedikit membaik dari 35,01% menjadi 35,17%, bahkan peran perempuan sebagai tenaga manajer, profesional, administrasi, dan teknisi justru menurun dari 45,48% menjadi 44,82%.

Namun jika dibandingkan dengan negara lain, jumlah wanita karier di Indonesia menurut catatan Grant Thornton (2016) menjadi yang tertinggi keenam di dunia untuk jabatan senior di perusahaan yang dipegang perempuan.

Kartini dan Ekonomi
Outcome yang dihasilkan atas nama pembangunan gender sebenarnya masih sangat berpotensi untuk memberikan nilai tambah pembangunan nasional. Beberapa isu strategis nasional memunculkan kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan peran perempuan.

Pertama, kesempatan peningkatan peran perempuan terbuka dengan adanya rekonstruksi pembangunan melalui UU Desa. Saat ini posisi desa didorong menjadi ujung tombak segala pembangunan, dari sisi pemberdayaan di lingkungan pendidikan dan kesehatan, keterampilan praktis untuk kepentingan ketenagakerjaan, hingga output-nya berupa peningkatan kapasitas ekonomi pedesaan.

Lebih jauh lagi, kebijakan ini seharusnya diterjemahkan dengan tepat dan memberikan peluang bagi perempuan-perempuan desa untuk menjadi agent of change. Perempuan dapat dilibatkan pada struktur kunci pemerintahan ataupun sayap-sayap organisasi yang mendukung tujuan pemerintahan.

Selain itu terkait dengan kepentingan ekonomi, para perempuan juga bisa dilibatkan dalam aktivitas ekonomi produktif skala mikro dan kecil (UMKM). Namun, jangan lupa juga diperhatikan unsur-unsur implisit lainnya agar pencapaiannya bisa lebih optimal.

Kedua, dana desa sebagai bantuan dana pembangunan dari pemerintah pusat terhadap pemerintah desa diperkirakan akan terus meningkat di masa mendatang. Namun, banyak indikasi yang menunjukkan bahwa pengelolaan dana desa belum menyentuh strategi pembangunan yang manfaatnya bersifat massal.

Perkembangan penerapannya masih terbelenggu hal-hal yang bersifat positivistis dan belum menyentuh nilai dan kelembagaan lokal yang pada dasarnya sudah sangat kuat, apalagi mengakomodasi pengaruh kaum perempuan terutama di Jawa dan Sumatera. Kaum perempuan seharusnya ikut dilibatkan bahkan sejak dalam proses perencanaan agar menyentuh sisi pemberdayaan berdasarkan gender.

Ketiga, belajar dari pengalaman Grameen Bank (Bank Desa) yang diinisiasi Muhammad Yunus di Bangladesh, sektor pembiayaan UMKM menjadi salah satu kunci pengembangan pemberdayaan ekonomi perempuan. Grameen Bank menjadi media alternatif yang cenderung melawan paradigma perbankan atau lembaga permodalan konvensional.

Selain itu Grameen Bank juga menawarkan berbagai kemudahan dari sisi kelembagaan agar dapat dijangkau oleh masyarakat desa, misalnya sistem administrasi yang disusun sangat ringkas tanpa menggunakan agunan kolateral. Perangkat modal sosial juga diperkuat untuk meningkatkan kemampuan pengembalian (repayment) atas modal yang digunakan.

Hasil program kredit mikro yang dikembangkannya mampu menjangkau nasabah hingga mencapai 7,4 juta kaum miskin di seluruh Bangladesh, dengan jumlah pinjaman mencapai USD6 miliar, dan tingkat pengembaliannya pun mencapai 99%. Pemerintah desa dapat mengadopsi kebijakan serupa yang berpihak pada kaum perempuan dan penduduk miskin lainnya di wilayah perdesaan.

Tinggal bagaimana setting kebijakan pendukungnya yang dapat menunjang efektivitas hasil pemberdayaan. Misalnya dengan mengalokasikan dana desa untuk merombak sistem perkreditan desa, membangun kekuatan kolektif masyarakat melalui kelompok-kelompok binaan, dan mempersiapkan akses pasar yang menampung hasil produksi.

Perempuan, mengutip istilah Habis Gelap Terbitlah Terang, masih sangat mungkin untuk menjadi pelita harapan bagi bangsa ini. Kondisi Indonesia yang sedang bergolak akibat situasi politik dan sosial yang tengah memanas, membutuhkan sosok-sosok peneduh yang mampu membuat iklim pembangunan untuk kembali segar.

Kinerja operasional kaum perempuan masih sangat bergantung pada political will dan keberpihakan para pemangku kepentingan untuk mengakomodasi peran perempuan. Mudah-mudahan setelah ini karakter penuh kedamaian seperti Kartini berduyun-duyun kembali menghiasi pembangunan di bumi pertiwi.

Karena pembangunan tanpa diiringi dengan kecerdasan moral, etika, dan intelektual, sudah terbukti hanya berisi dengan kegaduhan-kegaduhan yang semakin membuat perekonomian Indonesia tersisih dari gemerlapnya perekonomian global.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0888 seconds (0.1#10.140)