Tensi Politik dan Sikap Aparat
A
A
A
GELARAN Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibu Kota DKI Jakarta putaran kedua kian dekat. Hanya terhitung 4 hari lagi warga DKI akan berduyun-duyun datang ke tempat pemilihan suara (TPS) melaksanakan haknya yang diatur UUD 1945 yang menunjukkan Indonesia sebagai negara demokratis. Pemilih DKI akan bersukacita untuk menentukan siapa yang akan menjadi nakhoda provinsi ini lima tahun ke depan.
Pilkada sudah selayaknya menjadi pesta rakyat yang menyenangkan. Tensi politik yang tinggi sudah sewajarnya terjadi. Namanya saja politik, tentu perbedaan pilihan akan melahirkan tensi politik. Apalagi kalau kita merujuk pada terminologi politik yang secara sederhana bisa kita katakan sebagai sebuah manajemen konflik. Konflik adalah keniscayaan, tetapi kita harus jaga agar konflik tersebut hanya terjadi pada tataran ide, bukan fisik.
Namun demi bangsa ini dan demi nilai-nilai sosial yang telah bersama kita bangun sejak masa prakemerdekaan, tensi politik itu jangan sampai termanifestasi menjadi masalah sosial. Kita semua harus ingat bahwa perbedaan politik jangan sampai menabrak norma-norma umum yang ada maupun struktur sosial yang selama ini sudah kita jaga.
Sayang, sepertinya indikasi-indikasi terganggunya norma sosial mulai muncul. Kita bisa lihat riak-riak ketidakpuasan dan beberapa gesekan kecil muncul di masyarakat. Tensi tinggi politik Pilkada DKI menyeruak ke antero negeri. Akhirnya Pilkada DKI seperti menjadi pertarungan seisi negeri. Sayangnya bumbu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dan kata-kata kasar menjadi bahasan yang kian dominan. Kita semua sudah punya pengalaman pahit bagaimana masalah SARA yang dibumbui dengan sikap kasar dan seenak sendiri bisa berakibat bencana sosial. Kita semua harus mengerem diri, mencoba memasang batasan minimal dari pribadi dulu.
Dalam konteks ini, negara dan aparatnyalah yang harus menjadi penengah agar riak-riak dan gesekan kecil yang bermunculan tidak sampai menjadi masalah besar yang bisa merusak perjuangan kebangsaan kita selama ini. Aparat harus melihat masalah secara jernih dan tidak memihak. Karena begitu aparat berpihak, masalah akan tambah besar. Memang dalam kasus per kasus ada yang bisa selesai ketika aparat berpihak, tetapi bara dalam sekam akan kian besar dan ini berbahaya.
Aparat jangan hanya meminta warga untuk tenang, tetapi juga harus bertindak tegas ketika ada anggota dari kubu mana pun yang merusak bangunan sosial yang selama ini kita jaga. Aparat jangan hanya keras terhadap reaksi yang muncul di publik. Harus diingat bahwa reaksi selalu muncul ketika ada aksi yang mengganggu tatanan.
Aparat hukum seperti Polri, Kejaksaan Agung, dan yang lainnya harus menunjukkan netralitasnya secara terbuka. Penyelenggara pilkada seperti Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga harus membangun persepsi netral di mata masyarakat.
Sudah tidak saatnya lagi aparat selalu berlindung dengan alasan “kami aparat selalu menjunjung tinggi netralitas”. Netralitas itu antara aksi dan persepsi. Netralitas itu bicara mengenai rasa keadilan di masyarakat. Jika aparat terus-menerus keras terhadap beberapa kubu, sedangkan kepada beberapa kubu yang lain lunak, persepsi akan keadilan aparat tak akan terbentuk di benak masyarakat.
Misalnya dalam kondisi saat ini dalam Pilkada DKI, sangat banyak kecurangan dan tindakan yang merusak tatanan yang dilakukan berbagai kubu, maka tindakan tegas aparat harus sama ke semua kubu. Semoga aparat dan birokrasi sadar bahwa netralitas adalah salah satu inti dari demokrasi. Terlalu besar pertaruhan kita jika aparat tidak netral.
Pilkada sudah selayaknya menjadi pesta rakyat yang menyenangkan. Tensi politik yang tinggi sudah sewajarnya terjadi. Namanya saja politik, tentu perbedaan pilihan akan melahirkan tensi politik. Apalagi kalau kita merujuk pada terminologi politik yang secara sederhana bisa kita katakan sebagai sebuah manajemen konflik. Konflik adalah keniscayaan, tetapi kita harus jaga agar konflik tersebut hanya terjadi pada tataran ide, bukan fisik.
Namun demi bangsa ini dan demi nilai-nilai sosial yang telah bersama kita bangun sejak masa prakemerdekaan, tensi politik itu jangan sampai termanifestasi menjadi masalah sosial. Kita semua harus ingat bahwa perbedaan politik jangan sampai menabrak norma-norma umum yang ada maupun struktur sosial yang selama ini sudah kita jaga.
Sayang, sepertinya indikasi-indikasi terganggunya norma sosial mulai muncul. Kita bisa lihat riak-riak ketidakpuasan dan beberapa gesekan kecil muncul di masyarakat. Tensi tinggi politik Pilkada DKI menyeruak ke antero negeri. Akhirnya Pilkada DKI seperti menjadi pertarungan seisi negeri. Sayangnya bumbu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dan kata-kata kasar menjadi bahasan yang kian dominan. Kita semua sudah punya pengalaman pahit bagaimana masalah SARA yang dibumbui dengan sikap kasar dan seenak sendiri bisa berakibat bencana sosial. Kita semua harus mengerem diri, mencoba memasang batasan minimal dari pribadi dulu.
Dalam konteks ini, negara dan aparatnyalah yang harus menjadi penengah agar riak-riak dan gesekan kecil yang bermunculan tidak sampai menjadi masalah besar yang bisa merusak perjuangan kebangsaan kita selama ini. Aparat harus melihat masalah secara jernih dan tidak memihak. Karena begitu aparat berpihak, masalah akan tambah besar. Memang dalam kasus per kasus ada yang bisa selesai ketika aparat berpihak, tetapi bara dalam sekam akan kian besar dan ini berbahaya.
Aparat jangan hanya meminta warga untuk tenang, tetapi juga harus bertindak tegas ketika ada anggota dari kubu mana pun yang merusak bangunan sosial yang selama ini kita jaga. Aparat jangan hanya keras terhadap reaksi yang muncul di publik. Harus diingat bahwa reaksi selalu muncul ketika ada aksi yang mengganggu tatanan.
Aparat hukum seperti Polri, Kejaksaan Agung, dan yang lainnya harus menunjukkan netralitasnya secara terbuka. Penyelenggara pilkada seperti Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga harus membangun persepsi netral di mata masyarakat.
Sudah tidak saatnya lagi aparat selalu berlindung dengan alasan “kami aparat selalu menjunjung tinggi netralitas”. Netralitas itu antara aksi dan persepsi. Netralitas itu bicara mengenai rasa keadilan di masyarakat. Jika aparat terus-menerus keras terhadap beberapa kubu, sedangkan kepada beberapa kubu yang lain lunak, persepsi akan keadilan aparat tak akan terbentuk di benak masyarakat.
Misalnya dalam kondisi saat ini dalam Pilkada DKI, sangat banyak kecurangan dan tindakan yang merusak tatanan yang dilakukan berbagai kubu, maka tindakan tegas aparat harus sama ke semua kubu. Semoga aparat dan birokrasi sadar bahwa netralitas adalah salah satu inti dari demokrasi. Terlalu besar pertaruhan kita jika aparat tidak netral.
(wib)