Cinta Bukan Bid'ah

Sabtu, 01 April 2017 - 06:08 WIB
Cinta Bukan Bidah
Cinta Bukan Bid'ah
A A A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]

HIDUP tanpa ketegangan mungkin akan kelihatan terlalu ideal, terlalu utopis, dengan bau surga yang belum saatnya tiba, dan kedamaian seperti itu lalu otomatis bukan hak yang bisa dinikmati di bumi yang panas dan fana ini.

Bumi kelihatannya bukan tempat yang begitu damai sebagaimana kita impikan. Sejarah kita memiliki catatan yang begitu kaya akan ketegangan di dalam peri kehidupan beragama kita sebut ketegangan doktrinal yang dengan terlalu mudah, tanpa kecermatan, tanpa kehati-hatian, disebut kebangkitan Islam.

Umat begitu bangga berbicara mengenai kebangkitan seperti itu karena barangkali ada dambaan untuk bangkit. Tapi, tiap-tiap apa yang kita anggap tanda-tanda kebangkitan itu ternyata tak cukup meyakinkan.

Tanda-tanda yang kelihatannya begitu penuh gelora, seperti geledek yang menyambar-nyambar, membikin gaduh, dan mencemaskan sebagian, tapi memberi harapan, sekaligus rasa bangga bagi sebagian yang lain, mengapa tiap saat berakhir hampa, hujan hanya setipis kencing capung, dan yang begitu membara untuk bangkit pun adem kembali.

Ringkasnya, semua lenyap hampir dengan sendirinya. Dan kemudian dengan damai kita lupakan. Tapi di saat lain, di zaman yang memanggul tuntutan hidup yang tak kalah menantang, kita bicara kembali mengenai perlunya menjawab tantangan dalam kehidupan umat yang dalam arti positif maupun negatif bisa disebut gampang “mendidih”.

Bahkan, bila fenomena akhir-akhir ini juga harus dicatat, kita bukan hanya bicara tentang bangkit, melainkan revolusi. Aksi damai sudah cukup. Kini saatnya kita bikin revolusi. Tapi revolusi apa?

Adakah prasyarat pokok yang mendorong kita berbuat begitu? Senjata kita apa, dan bagaimana menata hidup dengan baik dan adil sesudah revolusi, jika benar revolusi bukan hanya kekuatan "abab" atau napas orang kecewa tapi mungkin tak memiliki sedikit pun daya dan kemampuan organisasinya?

Mungkin baik, dan jauh lebih bijaksana kalau umat kita-kita ini mencegah sedikit untuk tak terlalu gampang mengobral rencana revolusi yang sebetulnya tak begitu kita pahami detail persoalan teknis maupun ideologisnya.

Kaum muda yang menculik Bung Karno dari Rengasdengklok dulu diejek secara tandas oleh Bung Karno: mana revolusimu? Dari jauh, terlihat asap membubung tinggi. Dan moga-moga itu bagian dari nyala api revolusi. Tapi tiap didekati, ternyata hanya asap jerami yang dibakar petani.

“Itukah revolusimu?” Bung Karno mengejek lagi.

Revolusi belum menyala di dada warga Jakarta saat itu. Diperlukan suatu momentum revolusioner tertentu untuk melahirkan sebuah revolusi. Dan kini, umat yang kelihatannya rindu akan revolusi, sebaiknya berhati-hati untuk mencegah agar kita tak dipermalukan oleh kata-kata kita sendiri.

Nurman Hakim, seorang muslim, santri tulen, dan paham renik-renik perkembangan pemikiran Islam di masyarakat kita, membuat film bagus: Bid’ah Cinta, mungkin tidak didasarkan pada dalil-dalil seperti dirumuskan di atas.

Dia orang cermat, yang bekerja tidak terutama dengan landasan apa yang ruwet, dengan aneka latar belakang teori yang sering bagus dibicarakan tapi tak realistik untuk diwujudkan dalam hidup nyata.

Dia lebih suka bertolak dari realitas di sekitar kita, dan realitas itu dipilih di antara beberapa segi yang dipahaminya dengan baik. Ringkasnya, film Bid’ah Cinta itu dilahirkan dari kandungan realitas hidup nyata di sekitarnya: realitas yang menggelitik dan membuatnya merasa prihatin, ‘concern’, terpanggil.

Tak mungkin dia membisu menghadapi kenyataan seperti itu. Tapi toh dia tak berkata apa pun, tak membuat gaduh dengan janji ini dan itu sebelumnya. Dia diam dalam kerja dan film pun akhirnya jadi. Itu jenis kerja yang merespons dengan penuh tanggung jawab ideologi keagamaan yang membuatnya resah dan terpanggil tadi.

Hakim meyakinkan kita mengenai keresahannya melalui adegan ini: “Ini masjid kita. Masyarakat di sini terbiasa, sejak dulu, melakukan ibadah di sini, merayakan upacara keagamaan dan segenap ritual suci di sini. Kebersamaan dibangun di sini. Dan itulah tradisi kita.”

“Itu dulu Pak Haji. Sekarang lain. Takmir masjid yang sekarang melarangnya.” Jawab seorang pemuda. “Aku tidak peduli.” Pak Haji tampak jengkel dan emosi.

Dan kaum ibu, para anggota jamaah majelis taklim menggerundel di belakangnya dengan kejengkelan yang sama. Orang-orang baru di masjid itu, takmir masjid dan sekaligus imam yang ditaruh di ‘depan’ kehidupan agama para jamaah baru yang tiba-tiba menguasai masjid yang dibikin orang lain, menanggapi keadaan dengan sigap.

Beberapa tak berkata apa pun tapi kelihatan ketangkasan fisik yang siap untuk mengatasi perkembangan situasi jika dialog memuncak menjadi sengketa yang membutuhkan otot liat dan tulang-tulang yang keras, lebih keras dari tulang Pak Haji yang sudah menua.

Bukan hanya ini persoalan mereka. Kaum yang bisa disebut ‘tradisional’, di pihak Pak Haji dan segenap jamaahnya, berhadapan dengan kelompok lain—sebagian sempalan kelompok lama seperti Pak Haji, sebagian orang baru sama sekali—yang memiliki paham keagamaan yang lain.

Ketegangan tumbuh, dan makin memuncak diiringi frase saling curiga. Ini merupakan perkara harian, dan riil di masyarakat kita sekarang. Dulu orang bisa kehilangan sandal di masjid. Sekarang orang kehilangan masjidnya karena ada orang-orang tak gablek duit untuk bikin masjid tapi memerlukan masjid. Masyarakat pun terbelah.

Kini orang tak bisa bicara agama tanpa curiga, tanpa rasa tegang. Tapi dalam film itu, bukan hanya ini yang terjadi. Layaknya di dalam masyarakat yang lain, di sini pun ada cinta. Dan cinta suci sepasang remaja ini pun terkena polusi ketegangan paham keagamaan tadi.

Cinta pun tak lagi menawarkan keindahan yang membawa rasa damai, tapi itu cinta yang penuh ketegangan pula. Inilah sebuah cerita yang di-bangun dengan cermat dan bagus, melengkapi ketegangan hidup beragama untuk memberi gambaran kepada kita bahwa paham keagamaan tak pernah berhenti hanya di dalam paham itu sendiri. Orang bisa dimakan oleh paham.

Tatanan bisa dibangun dengan baik oleh suatu paham, tapi di berbagai peristiwa paham memakan manusia lain yang tak sepaham dengan pembawa paham baru itu. Manusia sering menjadi korban sia-sia untuk sesuatu yang belum tentu bisa dipertahankan kebaikannya bagi sesama.

Hakim membuat filmnya itu ‘happy ending’ yang juga bagus, tapi mungkin dia terlalu sayang kepada tokoh-tokohnya. Hakim tak tega membuat mereka menderita. Dan mungkin tujuannya sudah tercapai. Dia hanya ingin mengungkapkan fenomena itu untuk menjadi pemikiran kita bersama, membangun kesadaran dan sudah.

Dia membuat hidup ini sedikit mudah. Jangan ketegangan membawa korban. Tapi dengan begitu, dia tak punya tokoh beneran, tokoh yang teruji dalam hidup, yang siap menelan kegetiran sebagaimana dia siap pula menelan apa yang manis.

Dia tak menyiapkan tokohnya untuk berani kalah, biarpun kekalahannya masuk akal dan terhormat. Bid’ah Cinta tak perlu diperdebatkan. Tapi di sini saya menemani Hakim dalam kreativitasnya, dengan memilih ungkapan lain, yang mungkin sebaliknya, bahwa cinta bukan bid’ah.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0851 seconds (0.1#10.140)