Bernegara, Beragama, dan Berpolitik

Sabtu, 01 April 2017 - 07:55 WIB
Bernegara, Beragama,...
Bernegara, Beragama, dan Berpolitik
A A A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)

JIKA ditanyakan, bagaimana hubungan antara agama dan politik di negara kita, secara iseng orang bisa menjawab bahwa hubungannya baik-baik saja. Agama dan politik itu rukun karena dirukunkan oleh Pancasila.

Tapi secara serius bisa ditegaskan bahwa, seperti pernah ditulis oleh Tahir Azhary, Indonesia ini bukan negara agama dan bukan negara sekuler, melainkan negara kebangsaan yang berketuhanan, religious nation state. Di dalam staatsidee (cita negara) yang demikian, negara tidak diatur berdasar ajaran satu agama tertentu, tetapi dibangun dengan spirit nilai-nilai ketuhanan yang dianut sebagai agama-agama yang diyakini dan hidup di tengah-tengah masyarakat.

Berdasar ide itu pula, negara tidak memberlakukan hukum agama, tetapi melindungi warganya yang ingin melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Oleh sebab itu hukum-hukum publik yang berlaku di Indonesia adalah hukum nasional yang merupakan produk eklektisasi (peleburan atau penyatuan nilai-nilai yang beragam di dalam masyarakat).

Adapun hukum-hukum privatnya diserahkan kepada warga negara untuk memilih ketundukan dirinya sesuai dengan kesadaran hukum dan agama masing-masing.

Kalau meminjam istilah Nurcholish Madjid, hukum-hukum publik kita merupakan produk kalimatun sawaa (kesepakatan nasional) atau unifikasi tentang hal-hal yang menjadi concern bersama.

Adapun untuk hukum-hukum privat seperti soal-soal ibadah ritual (salat, kebaktian, pembaptisan) dan hukum keluarga (seperti perkawinan, waris, pemberkatan) berlaku hukum agama atau keyakinan masing-masing sesuai dengan fakta pluralitas kita. Jadi dalam hukum publik kita menganut kesatuan hukum, sedangkan dalam hukum privat menganut keberagaman hukum.

Paham yang demikian, dalam konteks yang lebih umum, biasa disebut pluralisme. Kalau meminjam penjelasan yang pernah dikemukakan Gus Dur, pluralisme itu ibarat kita hidup di satu rumah besar yang banyak kamarnya dengan ruang keluarga dan ruang tamu yang juga besar.

Pada saat kita berada di kamar masing-masing kita boleh melakukan atau memakai apa saja yang tidak harus sama dengan penghuni-penghuni kamar lain, tetapi ketika kita berada di ruang tamu, kita harus kompak dan tunduk pada tata cara perilaku yang disepakati.

Begitu pula jika kita berada di luar rumah, semua penghuninya harus memastikan rumah itu aman dari kerusakan dan perusakan. Pemahaman pluralisme yang seperti itulah yang dapat kita terapkan di rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

NKRI adalah rumah besar kita yang dibangun dengan fondasi Pancasila dengan kita sebagai penghuni-penghuni yang memiliki kamar-kamar dengan beragam primordialitas masing-masing.

Rumah NKRI terdiri atas 17.504 pulau, 252 juta penduduk, 1.360 suku, 726 bahasa daerah, penganut berbagai agama dan keyakinan, hidup tersebar di berbagai daerah dengan budaya dan adat istiadat masing-masing yang semuanya bersatu, diikat oleh Pancasila dengan semboyan bhinneka tunggal ika, unity in diversity.

Gambaran mengenai hubungan antara negara dan agama tercakup pula dalam cita negara Pancasila. Cita negara Pancasila itu sudah dipidatokan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 yang biasa kita kenal sebagai pidato kelahiran Pancasila.

Kata Bung Karno, kita tidak akan mendirikan negara agama, melainkan mendirikan negara kebangsaan berdasar Pancasila. Setiap penganut agama dapat memperjuangkan aspirasi keagamaannya melalui proses politik yang demokratis, misalnya merebut kemenangan dalam pemilu agar para pemimpin dan wakil-wakil yang terpilih bisa membawa aspirasi keagamaan masing-masing dalam dan untuk pembuatan kebijakan negara.

Pancasila yang melahirkan negara kebangsaan yang berketuhanan merupakan kesepakatan luhur (modus vivendi) yang dibangun oleh para pendiri negara. Dari satu sudut ia bisa dilihat sebagai produk prismatika atau jalan tengah antara pandangan dua tokoh nasional muslim yang sama-sama santri, Bung Karno dan M Natsir, yang sudah berpolemik tentang hubungan antara negara dan agama sejak akhir tahun 1930-an.

Pada satu sisi, demi kemajuan Islam itu sendiri, Bung Karno menginginkan dibentuknya negara kebangsaan sekuler seperti yang digagas Kemal Attaturk dan berlaku di Turki, sedangkan M Natsir pada sisi lain mengusulkan dibentuk negara berdasar Islam karena Islam menyediakan ajaran yang bisa sesuai dengan sistem negara modern.

Muara polemik dua tokoh yang sangat bermutu itu bertemu dalam modus vivendi antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islami di kalangan para pendiri negara yang akhirnya menyepakati Pancasila sebagai dasar negara dengan filosofi religious nation state tersebut.

Dengan demikian sebenarnya memperjuangkan aspirasi sesuai dengan identitas keagamaan, seperti halnya memperjuangkan aspirasi berdasar identitas kedaerahan, di dalam berpolitik adalah sah adanya sepanjang dalam koridor dasar ideologi negara Pancasila.

Haruslah diingat bahwa bernegara itu adalah berpolitik, sebab negara adalah organisasi politik tertinggi yang dimiliki suatu bangsa. Salah satu asal kata negara adalah polis (politik) yang berarti organisasi suatu bangsa untuk memutuskan policy (kebijakan, politik).

Jadi secara yuridis konstitusional membawa agama dalam perjuangan politik sebagai proses bernegara adalah sah. Yang penting harus tetap dalam koridor Pancasila yang mendasari Indonesia sebagai negara kebangsaan yang berketuhanan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5802 seconds (0.1#10.140)