Tarik-Ulur Urusan Pemilu

Jum'at, 31 Maret 2017 - 07:29 WIB
Tarik-Ulur Urusan Pemilu
Tarik-Ulur Urusan Pemilu
A A A
SUDAH menjadi hal yang biasa ada perdebatan yang keras dalam penyelesaian sebuah Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Tak mengherankan juga ketika pembahasannya molor. UU Pemilu adalah pertaruhan besar yang akan memberikan pengaruh signifikan terhadap hasil akhir Pemilu 2019.

Ibaratnya suatu permainan, para tim yang akan bertanding berembuk bersama-sama merumuskan aturan permainan. Sudah barang tentu tim yang kecil akan selalu merasa tim yang besar ingin menang sendiri, sementara tim yang besar ada tendensi untuk menjaga agar timnya tetap besar dengan menjaga agar aturan main yang disepakati tidak terlalu menguntungkan tim-tim kecil.

Sejalan dengan itu, proses penentuan wasit pun tak akan kalah ramainya dengan proses menyepakati UU Pemilu. Para tim yang akan bertanding harus berdebat mengenai wasit yang akan menjaga jalannya pertandingan, yaitu Pemilu 2019. Tentunya parpol sebagai peserta pertandingan punya preferensi tersendiri mengenai wasitnya, yaitu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Tak ayal proses pemilihan anggota KPU dan Bawaslu periode 2017-2022 pun menjadi ajang tarik-ulur politik yang ketat. Kita bisa lihat Komisi II DPR belakangan ini menyampaikan pandangan akan kekecewaannya terhadap 14 nama calon anggota KPU dan 10 nama calon anggota Bawaslu yang diajukan Presiden Joko Widodo ke DPR.

Komisi II bahkan sempat mewacanakan untuk menunda fit and proper test. Namun, deadline masa akhir jabatan KPU dan Bawaslu adalah 12 April, dan akan melanggar UU Nomor 15/2011 Penyelenggara Pemilu jika DPR tak menyelesaikan fit and proper test. UU itu mewajibkan DPR untuk menyelesaikan fit and proper test dalam 30 hari kerja setelah presiden menyerahkan nama ke DPR.

Dalam urusan pemilu ini bisa kita lihat banyak sekali wacana yang mengemuka. Misalnya Pansus RUU Pemilu sempat ngotot untuk menggolkan e-voting dalam RUU Pemilu yang akhirnya mentah. Pansus juga sempat mendorong agar anggota parpol aktif bisa menjadi anggota KPU yang langsung ditentang oleh banyak pihak. Ada juga usulan menambah anggota KPU dari hanya 7 orang menjadi 9 atau 11.

Nah, sekarang Komisi II terlihat tidak senang dengan nama-nama yang diserahkan oleh Presiden Jokowi sebagai kelanjutan dari hasil pilihan Panitia Seleksi (Pansel) Anggota KPU dan Bawaslu. Muncullah tiga opsi dari Komisi II dalam menyikapi nama-nama yang akan dilakukan fit and proper test terhadapnya.

Pertama, Komisi II akan menolak seluruhnya 14 nama calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu. Kedua, menerima sebagian dari 24 nama untuk akhirnya memilih 7 nama anggota KPU dan 5 anggota Bawaslu. Ketiga, menerima seluruhnya dan melanjutkan tahapan dengan memilih 7 nama anggota KPU dan 5 anggota Bawaslu.

Sinyalemen terkuat yang muncul ke publik adalah pilihan kedua. Komisi II DPR menyuarakan kemungkinan akan menerima sebagian nama yang masuk untuk fit and proper test. Sementara dengan alasan agar tidak sibuk membentuk pansel kembali, maka Komisi II meminta agar 20 calon anggota KPU dan 12 calon anggota Bawaslu yang gugur di pansel dibawa namanya ke Komisi II untuk fit and proper test. Terlihat sekali ada indikasi usaha untuk berusaha meloloskan nama-nama yang sudah gagal di pansel anggota KPU dan Bawaslu.

Publik tentu bertanya, motivasi politik apa yang melatarbelakangi sikap Komisi II ini? Memang ketidakpuasan karena hasil pansel bisa saja merugikan blok politik tertentu dan sangat menguntungkan blok politik yang lain adalah hal yang wajar. Namun, tarik-ulur sehingga membahayakan tahapan tentunya juga bisa merugikan publik. Kita menunggu sikap serius DPR dalam hal ini yang sekalipun mengedepankan kepentingan politik, namun juga tetap mengutamakan masalah kepentingan bangsa.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0751 seconds (0.1#10.140)