Pesan Nyepi
A
A
A
KEMARIN, saudara-saudara kita yang beragama Hindu merayakan Nyepi tahun Saka 1939. Nyepi yang berasal dari kata sepi atau sunyi juga senyap ataupun hening, meminta umat Hindu untuk menyucikan diri dalam menghadapi kehidupan di bumi ini.
Dalam merayakan Nyepi yang juga tahun baru Saka, umat Hindu justru jauh dari hingar-bingar karena mereka harus berdiam diri di rumah tanpa ada aktivitas sehari-hari.
Dalam Nyepi, umat Hindu melakukan Catur Brata Penyepian yaitu pati geni (tidak menyalakan api), pati karya (menghentikan segala pekerjaan), pati lelungan (tidak bepergian), dan pati lelanguan (tidak bersenang-senang). Dalam berdiam diri di rumah, mereka merenungkan kembali apa yang telah mereka lakukan selama dan melakukan introspeksi diri.
Lebih jauh lagi, Nyepi bertujuan memohon kepada Tuhan untuk menyucikan Bhuana Alit (mikro kosmos) atau yang jika diartikan adalah alam manusia dengan Bhuana Agung atau yang mempunyai arti alam semesta (makro kosmos). Bagi sebagian masyarakat, Bhuana Alit berarti diri manusia.
Dengan satu hari berdiam diri dan menyucikan diri, manusia diharapkan akan mengalami perubahan sikap menjadi lebih baik dari sebelumnya. Semua nafsu yang selama ini membelenggu manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mencoba dilepaskan. Dalam tujuan Nyepi diharapkan ada perubahan sikap atau tindak tanduk manusia menjadi lebih baik.
Jika direnungkan, pesan Nyepi sangat baik bagi semua umat manusia. Dalam perjalanan hidup, pada suatu waktu kita harus berhenti untuk merenungkan apa yang telah kita lakukan dan akan lakukan.
Dalam perhentian tersebut, kita melakukan koreksi terhadap diri sendiri sehingga kita ke depannya bisa mampu menjaga tutur dan sikap menjadi lebih baik. Harapan yang lebih besar lagi, ketika banyak manusia di bumi ini bisa melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, tentu dunia ini akan menjadi baik.
Dalam hiruk-pikuk beberapa bulan terakhir baik terkait dengan konflik politik (dinamika pilkada) maupun konflik sosial atau juga ekonomi, pesan Nyepi begitu sangat berarti. Tak dimungkiri pilkada serentak pada 2017 ini mempunyai goresan sejarah tentang perilaku masyarakat dalam menyikapi sebuah perbedaan.
Ditambah era kecepatan informasi saat ini dan juga bersifat inklusif, perbedaan ini semakin cepat dicerna masyarakat dan juga semakin meruncing. Pada akhirnya, nafsu saling menjelekkan ataupun merendahkan berujung pada konflik antarmasyarakat ataupun kelompok masyarakat.
Pada tataran kehidupan kemasyarakatan, konflik horizontal masih saja terjadi, tawuran contohnya. Ketika emosi tersulut hanya karena hal-hal sepele, nyawa masyarakat menjadi bayarannya.
Emosi untuk menyerang dan melukai pun merasuk jiwa manusia. Belum lagi konflik sosial-ekonomi antara kelompok masyarakat angkutan konvensional dan angkutan online.
Sikap saling sweeping dan akhirnya menyerang lalu melukai masih sering terjadi. Benturan yang jika dirunut soal "perut" ini jika diselimuti emosi yang tak terkendali. Dalam beberapa konflik di atas, nafsu menjadi balutan utama.
Pejabat atau tokoh masyarakat yang semestinya menjadi anutan masyarakat pun seolah memberikan contoh dalam mengumbar nafsu. Sikap-sikap koruptif ataupun menyerang kepentingan lain sekadar nafsu kekuasaan, terus menjadi tontonan masyarakat. Dengan topeng kepentingan rakyat, para pejabat atau tokoh masyarakat justru mengelabui masyarakat.
Momentum Nyepi tahun ini sebaiknya digunakan bagi kita semua untuk melakukan perenungan. Tujuannya untuk melakukan pengobatan terhadap tutur dan sikap yang sekadar diselimuti nafsu.
Pejabat, tokoh masyarakat, dan semua lapisan masyarakat semestinya bisa memaknai Nyepi tidak hanya mengucapkan kepada saudara-saudara umat Hindu. Pesan Nyepi yang bertujuan mulia semestinya bisa menjadi kaca bagi kita semua untuk menjaga tutur dan sikap.
Melakukan pengendalian nafsu akan membuat kita semua akan menjadi manusia yang lebih baik sehingga bisa menghormati manusia lain ataupun makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Tujuannya yaitu akan membuat tatanan kehidupan yang lebih baik lagi.
Dalam merayakan Nyepi yang juga tahun baru Saka, umat Hindu justru jauh dari hingar-bingar karena mereka harus berdiam diri di rumah tanpa ada aktivitas sehari-hari.
Dalam Nyepi, umat Hindu melakukan Catur Brata Penyepian yaitu pati geni (tidak menyalakan api), pati karya (menghentikan segala pekerjaan), pati lelungan (tidak bepergian), dan pati lelanguan (tidak bersenang-senang). Dalam berdiam diri di rumah, mereka merenungkan kembali apa yang telah mereka lakukan selama dan melakukan introspeksi diri.
Lebih jauh lagi, Nyepi bertujuan memohon kepada Tuhan untuk menyucikan Bhuana Alit (mikro kosmos) atau yang jika diartikan adalah alam manusia dengan Bhuana Agung atau yang mempunyai arti alam semesta (makro kosmos). Bagi sebagian masyarakat, Bhuana Alit berarti diri manusia.
Dengan satu hari berdiam diri dan menyucikan diri, manusia diharapkan akan mengalami perubahan sikap menjadi lebih baik dari sebelumnya. Semua nafsu yang selama ini membelenggu manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mencoba dilepaskan. Dalam tujuan Nyepi diharapkan ada perubahan sikap atau tindak tanduk manusia menjadi lebih baik.
Jika direnungkan, pesan Nyepi sangat baik bagi semua umat manusia. Dalam perjalanan hidup, pada suatu waktu kita harus berhenti untuk merenungkan apa yang telah kita lakukan dan akan lakukan.
Dalam perhentian tersebut, kita melakukan koreksi terhadap diri sendiri sehingga kita ke depannya bisa mampu menjaga tutur dan sikap menjadi lebih baik. Harapan yang lebih besar lagi, ketika banyak manusia di bumi ini bisa melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, tentu dunia ini akan menjadi baik.
Dalam hiruk-pikuk beberapa bulan terakhir baik terkait dengan konflik politik (dinamika pilkada) maupun konflik sosial atau juga ekonomi, pesan Nyepi begitu sangat berarti. Tak dimungkiri pilkada serentak pada 2017 ini mempunyai goresan sejarah tentang perilaku masyarakat dalam menyikapi sebuah perbedaan.
Ditambah era kecepatan informasi saat ini dan juga bersifat inklusif, perbedaan ini semakin cepat dicerna masyarakat dan juga semakin meruncing. Pada akhirnya, nafsu saling menjelekkan ataupun merendahkan berujung pada konflik antarmasyarakat ataupun kelompok masyarakat.
Pada tataran kehidupan kemasyarakatan, konflik horizontal masih saja terjadi, tawuran contohnya. Ketika emosi tersulut hanya karena hal-hal sepele, nyawa masyarakat menjadi bayarannya.
Emosi untuk menyerang dan melukai pun merasuk jiwa manusia. Belum lagi konflik sosial-ekonomi antara kelompok masyarakat angkutan konvensional dan angkutan online.
Sikap saling sweeping dan akhirnya menyerang lalu melukai masih sering terjadi. Benturan yang jika dirunut soal "perut" ini jika diselimuti emosi yang tak terkendali. Dalam beberapa konflik di atas, nafsu menjadi balutan utama.
Pejabat atau tokoh masyarakat yang semestinya menjadi anutan masyarakat pun seolah memberikan contoh dalam mengumbar nafsu. Sikap-sikap koruptif ataupun menyerang kepentingan lain sekadar nafsu kekuasaan, terus menjadi tontonan masyarakat. Dengan topeng kepentingan rakyat, para pejabat atau tokoh masyarakat justru mengelabui masyarakat.
Momentum Nyepi tahun ini sebaiknya digunakan bagi kita semua untuk melakukan perenungan. Tujuannya untuk melakukan pengobatan terhadap tutur dan sikap yang sekadar diselimuti nafsu.
Pejabat, tokoh masyarakat, dan semua lapisan masyarakat semestinya bisa memaknai Nyepi tidak hanya mengucapkan kepada saudara-saudara umat Hindu. Pesan Nyepi yang bertujuan mulia semestinya bisa menjadi kaca bagi kita semua untuk menjaga tutur dan sikap.
Melakukan pengendalian nafsu akan membuat kita semua akan menjadi manusia yang lebih baik sehingga bisa menghormati manusia lain ataupun makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Tujuannya yaitu akan membuat tatanan kehidupan yang lebih baik lagi.
(poe)