Bukan Kriminalisasi Cabai

Rabu, 22 Maret 2017 - 09:27 WIB
Bukan Kriminalisasi...
Bukan Kriminalisasi Cabai
A A A
Harris Turino
Pengamat Kepolisian

MENARIK membaca tulisan dosen saya, Prof Rhenald Kasali di kolom analisis KORAN SINDO pada 9 Maret 2017. Tulisan itu pada intinya mengatakan bahwa tidak selayaknya polisi mencampuri urusan cabai. Ada dua alasan utama yang dikemukakan beliau. Yang pertama lonjakan harga cabai semata-mata adalah mekanisme harga di pasar akibat ketidaksetimbangan antara pasokan dan permintaan. Seandainya ada unsur spekulasi pun, itu hal yang biasa dalam dunia bisnis. Beliau mengemukakan contoh perdagangan di bursa efek atau bursa berjangka yang pada hakikatnya spekulasi.

Alasan yang kedua adalah cabai, seperti perdagangan saham, bukan merupakan barang kebutuhan pokok sehingga “janggal” apabila polisi ikut-ikutan mengurusi kenaikan harga cabai. Apalagi, para pelaku bisnis, yaitu UMKM dan petani, paling enggan berurusan dengan aparat penegak hukum. Banyak di antara pelaku bisnis yang beranggapan bahwa bisnisnya bakal terganggu, hidupnya terancam, dan masa depannya terusik.

Tulisan ini akan mencoba menyoroti dari sudut pandang yang berbeda. Memang benar bahwa cabai bukan merupakan salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok. Tetapi, pola kuliner bangsa Indonesia selama ini menjadikan cabai sebagai “bahan baku wajib” dalam menyajikan masakan. Seperti dikatakan oleh Prof RK di bagian akhir tulisannya bahwa makan tanpa cabai memang kurang enak. Akibat itu, kenaikan harga cabai menyebabkan kegelisahan di kalangan masyarakat. Kenaikannya juga dianggap tidak wajar dan disinyalir terjadi “spekulasi” yang hanya menguntungkan sekelompok spekulan secara berlebihan.

Yang menjadi pertanyaan, apakah benar harga cabai memang diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar? Ternyata Peraturan Menteri Per­dagangan Nomor 63 Tahun 2016 menetapkan cabai sebagai komoditas yang harganya diatur dalam peraturan tersebut. Dalam lampiran peraturan tersebut jelas disebutkan bahwa pemerintah menetapkan harga acuan pembelian cabai di petani sebesar Rp15.000 sampai Rp17.000, sedangkan harga acuan penjualan di konsumen (HET) sebesar Rp28.500 sampai Rp29.000. Tujuan dari peraturan tersebut adalah melindungi petani dan menjamin ketersediaan, stabilitas, dan kepastian harga untuk beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi.

Di samping itu, harga cabai juga dimasukkan dalam perhitungan indeks harga konsumen atau yang dikenal dengan inflasi. Tentu kenaikan harga cabai akan berpengaruh terhadap kenaikan inflasi dari sektor pangan. Mungkin pengaruhnya tidak terlalu besar, tetapi jelas ini bisa dijadikan komoditas politik yang merugikan. Apalagi, media sudah mengangkat topik ini sebagai isu nasional.

Di titik inilah polisi, dalam hal ini Subdirektorat Industri dan Perdagangan (Subdit Indag) Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Tipideksus) Bareskrim Polri, memiliki kewajiban untuk campur tangan. Ini sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Polri dalam memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, menyelenggarakan harkamtibmas, dan menegakkan hukum.

Penjabaran tugas pokok dan fungsi itu tidak dapat dipandang dalam arti yang sangat sempit sebagai “security“ semata. Tugas pokok polisi memang bukan hanya mengurusi keamanan. Hal ini sudah dijabarkan dengan jelas dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Direktorat Tipideksus sebagai lembaga di bawah Bareskrim yang memiliki tugas di bidang ekonomi dan khusus tentu memiliki kewajiban untuk berkontribusi, bukan hanya berpangku tangan menghabiskan pajak negara.

Hasil penyelidikan polisi dari sentra cabai di Banyu­wangi, Jember, Situbondo, Malang, Mojokerto, Sragen, Solo, Klaten, Magelang, Semarang, Brebes, Cirebon, Majalengka, Bogor, dan Serang ditemukan fakta dan data yang menarik untuk dicermati. Pertama, biaya produksi untuk semua jenis cabai rata-rata di harga Rp6.480 per kg.

Sebagian besar petani di sentra cabai juga terjebak pada sistem ijon, di mana pengepul cabai bertindak sebagai pengijon dan mengumpulkan cabai berdasarkan pesanan dari pedagang besar cabai, atau dikenal dengan istilah supplier. Di seluruh wilayah Jawa di­
kuasai hanya oleh sembilan supplier, yang masing-masing memiliki tiga orang pengepul atau lebih. Kemudian supplier inilah yang memasok cabai ke industri pengolahan cabai seperti PT Indofood, PT ABC, dan lain-lain, serta juga memasok ke pasar-pasar induk.

Kedua, pada pertengahan Desember 2016 industri pengolahan cabai meningkatkan kebutuhan bahan baku cabai merah segar sejalan dengan pengalihan bahan baku cabai kering yang selama ini diimpor dari Vietnam. Hal ini tentu mengganggu pasokan cabai ke pasar induk karena memang harga jual dari supplier ke industri dipatok seragam dan jauh lebih tinggi, yaitu mencapai Rp181.000 per kg. Perbedaan harga ini mengakibatkan 90% cabai segar dipasok ke industri dan hanya 10% sisanya yang dipasok ke pasar induk. Berkurangnya pasokan ke pasar induk tentu memengaruhi harga cabai di kalangan konsumen.

Yang menjadi persoalan adalah disinyalir para supplier mungkin tidak memberikan laporan atau data yang benar kepada Kementerian Pertanian, sebagaimana diwajibkan dalam UU No 7 Tahun 2014. Pasal 30 UU ini jelas mewajibkan para pelaku usaha untuk memberikan data dan laporan yang akurat tentang ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting lainnya.

Data dan informasi yang lengkap ini diperlukan pemerintah untuk mengatur jumlah pasokan cabai yang dibutuhkan masyarakat dan dibeli melalui pasar-pasar induk. Di samping itu, praktik penyeragaman tarif ke industri juga disinyalir melanggar Pasal 5 UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Atas dasar penyimpangan itulah, Direktorat Tipideksus Bareskrim Polri hadir. Tujuannya jelas, bukan semata-mata untuk mengganggu aktivitas para pelaku bisnis. Bukan pula mencari-cari pihak untuk dikriminalisasi atas nama cabai. Tetapi, lebih memastikan bahwa seluruh peraturan yang ada bisa ditegakkan sehingga masyarakat tidak dirugikan oleh aktivitas para pemburu rente yang mengganggu jalur distribusi cabai.

Saya sepakat dengan pandangan Prof RK bahwa analogi perdagangan daging sapi bisa coba untuk diterapkan di dalam kasus cabai. Artinya, cabai perlu diproses lebih lanjut menjadi cabai kering. Hal ini tentu akan lebih memudahkan pemerintah untuk mengendalikan harga cabai dan meningkatkan keuntungan di level petani.

Tetapi, kelihatannya hal ini membutuhkan edukasi pasar yang cukup panjang. Selama ini masyarakat Indonesia lebih menyukai cabai segar dibandingkan dengan cabai kering. Apalagi, beberapa jenis makanan tertentu memang tidak memungkinkan untuk menggunakan cabai kering.

Dengan mempertimbangkan besarnya kebutuhan cabai nasional, sebagai penutup dari tulisan ini, rasanya pemerintah perlu memikirkan untuk melakukan dua hal. Pertama, meningkatkan produksi cabai nasional dengan memasukkan unsur “industri” ke dalam pertanian cabai. Dalam hal ini pemerintah tetap harus melibatkan petani, tetapi skalanya ditingkatkan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Di negara tropis dengan luas lahan seperti Indonesia, hal ini jelas sangat mungkin untuk dilakukan.

Kedua, melibatkan lembaga-lembaga riset di bidang pertanian untuk menemukan bibit tanaman cabai yang memiliki produktivitas yang lebih tinggi dan lebih tahan hama. Di samping itu, lembaga riset tersebut juga ditugaskan untuk menemukan teknologi yang memungkinkan untuk memperpanjang masa kedaluwarsa cabai segar. Teknologi ini sudah diterapkan untuk pisang cavendis dan rasanya tidak mustahil bisa diterapkan untuk jenis tanaman cabai.

Dengan jumlah produksi yang terus meningkat dan masa kedaluwarsa yang lebih panjang, tentu harga cabai lebih mudah untuk dikendalikan. Fluktuasinya tetap ada, tetapi masih dalam batas yang wajar sehingga ruang gerak bagi para spekulan pemburu rente semakin sempit. Akhirnya polisi bisa lebih berkonsentrasi mengerjakan tupoksi lain seperti memburu para teroris.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0689 seconds (0.1#10.140)