#TechPlomacy Denmark

Rabu, 22 Maret 2017 - 09:09 WIB
#TechPlomacy Denmark
#TechPlomacy Denmark
A A A
Casper Klynge
Duta Besar Denmark untuk Indonesia dan ASEAN

TERUS terang saja, keterampilan berbahasa Indonesia saya tidak sebaik yang saya harapkan. Dengan sangat menyesal, kemampuan saya boleh dikatakan jauh berada di bawah standar. Namun kenyataannya, saya jarang mendapat masalah. Sebagai konsekuensi, saya sangat bergantung pada orang lain ketika hendak menyampaikan informasi dan mengandalkan terjemahan ketika saya berhadapan dengan pihak lain. Artinya, saya berpotensi besar terpapar bias ketika bercakap-cakap dengan orang Indonesia.

Namun dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, masalah saya ini akan lenyap berkat teknologi baru. Setiap pagi akan menjadi kebiasaan baru untuk memasukkan alat dengar kecil ke dalam telinga yang akan menyediakan terjemahan secara simultan dari bahasa atau dialek mana pun yang Anda temui.

Apakah ini fiksi ilmiah? Sama sekali tidak. Segera terwujud, menurut para ahli. Dengan potensi merevolusi komunikasi. Bayangkan, betapa mengagumkannya bila satu hari ini kita bisa mengobrol dengan orang dari desa terpencil di dataran tinggi Papua Nugini dan mitra bisnis di Mombasa keesokan harinya. Tidak ada lagi kebingungan akibat ketidakakuratan terjemahan. Tak akan ada kesalahpahaman (setidaknya bukan karena disengaja.) Globalisasi dalam bentuknya yang paling murni, namun juga dapat mendisrupsi interaksi sosial.

Contoh lompatan teknologi seperti ini dimungkinkan karena pertumbuhan eksponensial dalam kapasitas komputasi. Aplikasi ponsel pintar kita hanyalah puncak dari gunung es. Kecerdasan buatan dan mesin terlatih akan menggantikan pekerja terampil di bidang hukum dan administrasi. Internet of things (IoT) akan menghubungkan aplikasi dan mempermudah tugas.

Bagi penduduk Kota Jakarta yang sering didera macet, mungkin akan segera melihat manfaat langsung dari mobil tak berpengemudi atau belanja kebutuhan sehari-hari dengan jasa layanan antar oleh pesawat tanpa awak. Hal terakhir tadi juga bisa digunakan untuk mendapatkan bantuan cepat tanggap darurat bagi mereka yang terkena bencana alam.

Demikian juga aplikasi teknologi di bidang pertanian atau dalam produksi energi dan penyimpanan akan merevolusi produktivitas pembangkit listrik pintar bagi energi terbarukan yang murah dan hampir bebas biaya perawatan. Itulah sebabnya banyak yang mendefinisikan masa ini adalah masa Revolusi Industri yang keempat.

***
Digitalisasi adalah fenomena yang memengaruhi semua negara. Oleh karena itu, baru—baru ini kami bekerja sama dengan The Habibie Center dan Pulse Lab Jakarta menyelenggarakan seminar dengan tema “Disrupsi“. Tujuannya adalah agar pembuat kebijakan publik dan swasta mempertimbangkan peluang serta tantangan.

Generasi ponsel pintar Indonesia bisa menjadi aset yang mengubah digitalisasi menjadi peluang pembangunan besar-besaran dengan men­ciptakan lapangan pekerjaan dan memerangi kemiskinan setidaknya di daerah terpencil. Pertimbangkan saja ketersediaan pembelajaran atau diagnosa dan pengobatan penyakit jarak jauh, terlepas Anda tinggal di Sabang atau Merauke. Atau potensi di negara kepulauan seperti Indonesia saat suku cadang 3D printing bisa terjadi. McKinsey dan Co baru-baru ini memperkirakan bahwa Indonesia memiliki potensi digital yang belum dimanfaatkan hingga USD150 miliar.

Akan tetapi, pembangunan teknologi juga membawa tantangan yang signifikan. Otomatisasi merupakan salah satu contohnya. Tujuan Indonesia untuk menciptakan ribuan lapangan pekerjaan di bidang industri mobil bisa terancam oleh teknologi robot yang biayanya lebih terjangkau. Demikian pula dengan pendapatan pajak yang ditantang oleh perusahaan teknologi dengan kegiatan yang melampaui batas-batas nasional.

Perusahaan tersebut mungkin menciptakan lapangan kerja lokal, tetapi jika Anda menjabat sebagai menteri keuangan, pertanyaan sebenarnya adalah di mana pajak perusahaan tersebut berakhir. Dan itu adalah, maaf kata, selalu jauh dari kesuksesan negara-negara di mana model bisnis tersebut berawal.

***
Perkembangan teknologi dapat secara singkat mengguncang pendapatan yang membiayai infrastruktur, sekolah, manajemen bencana, dan kesehatan. Suka atau tidak, semua orang akan perlu beradaptasi dengan dunia digital di masa mendatang.

Itulah sebabnya pemerintah Denmark membuat digitalisasi sebagai prioritas utama, dan membangun antara lain Dewan Disrupsi. Dan baru saja, Menteri Luar Negeri Anders Samuelsen meluncurkan sebuah inisiatif dengan tajuk #TechPlomacy.

Alasannya sederhana, pada abad ke-21 inovasi dan digitalisasi akan memengaruhi segala aspek dalam kehidupan kita. Melihat ke depan, perusahaan teknologi akan memainkan peran yang sama pentingnya untuk kita sebagai aktor negara tradisional. Dengan kata lain, hubungan kami dengan Google, Apple, atau Tesla mungkin sama pentingnya dengan relasi yang kita miliki dengan negara-negara di seluruh dunia.

Pada masa lalu, kebijakan tentang teknologi utamanya berhubungan dengan industri atau izin lingkungan bagi perusahaan. Hari ini kebijakan teknologi adalah kebijakan perdagangan dan kebijakan keamanan dan kebijakan keuang­an. Hal ini memengaruhi hubungan antarnegara dan bagaimana kita berinteraksi di forum-forum multilateral. Dan seperti yang kita lihat akhir-akhir ini, kekuatan suara per­usahaan teknologi meningkat dan kadang kala menjadi suara vokal terhadap kebijakan baru.

Elemen kunci dalam mem­buat digitalisasi prioritas strategis di Denmark Foreign Service adalah penunjukan duta besar teknologi yang akan membangun, hubungan baru dan aliansi kontemporer dengan pelaku teknologi, akademisi dan peneliti. Sebuah dialog sistematis yang akan memperkuat hubungan antara pembuat kebijakan dan teknologi. Bukan sebagai jalan satu arah.

Mempromosikan dan melindungi kepentingan inti dan nilai-nilai yang berhubungan dengan aktor digital dan teknologi baru akan menjadi bagian dari dialog tersebut, selayaknya dalam diplomasi tradisional kita. Silicon Valley tentunya akan menjadi pusat perhatian yang penting. Begitu juga dengan Shenzhen, Bangalore, Sao Paulo, Singapura, dan Bandung!

Duta besar teknologi tidak akan bekerja terpisah, tetapi memelopori prioritas yang luas terhadap TechPlomacy di kalangan Kementerian Luar negeri Denmark. Ia tidak akan menggantikan diplomasi tradisional namun menjadi suplemen yang diperlukan. Untuk itu, kami segera menyambut rekan digitalisasi yang berdedikasi di Kedutaan Besar Jakarta.

“Disrupsi” mengacu pada pengakuan bahwa kita tidak dapat memprediksi masa depan. Yang kita tahu adalah bahwa perubahan adalah konstan. Kemajuan teknologi yang memakan waktu hampir 1.000 tahun, mungkin direplikasi hanya dalam satu dekade karena pertumbuhan eksponensial. Berpuas diri bukanlah suatu pilihan.

Mengutip apa yang disebut Hukum Amara: Kita cenderung untuk melebih-lebihkan pengaruh teknologi dalam jangka pendek dan meremehkan efeknya dalam jangka panjang. Perbedaannya adalah, bahwa apa yang sekarang disebut “jangka panjang” tidak selama seperti jangka panjang di masa dahulu kala.

Inilah mengapa kita perlu mengatur tempat dalam struktur yang membuat kita memahami dan membantu kita bersiap-siap dan membentuk sebuah masa depan yang menuntut kelincahan. Kami berharap bisa bekerja sama dengan Indonesia dan ASEAN dalam agenda ini.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0295 seconds (0.1#10.140)