Memenangkan Perjuangan Konstitusional Nelayan
A
A
A
Abdul Halim
Direktur Eksekutif Pusat Kajian
Maritim untuk Kemanusiaan,
Center of Maritime Studies for Humanities
MEGAPROYEK properti reklamasi di Teluk Jakarta berada di ujung tanduk. Proyek pulau buatan ini terancam dibatalkan pasca putusan Majelis Hakim PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Jakarta yang menganulir tiga surat izin pelaksanaan reklamasi pulau buatan yang dikeluarkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Kamis (16/3) sore di Jakarta.
Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mencatat, ketiga surat izin yang ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta tersebut adalah pertama, Surat Keputusan Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F seluas 190 hektare kepada PT Jakarta Propertindo. Kedua, Surat Keputusan Nomor 2269 Tahun 2015 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I seluas 405 hektare kepada PT Jaladri Kartika Ekapaksi. Ketiga, Surat Keputusan Nomor 2485 Tahun 2015 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K seluas 32 hektare kepada PT Pembangunan Jaya Ancol.
Dalam putusannya, Majelis Hakim PTUN Jakarta mengabulkan keseluruhan gugatan yang diajukan oleh nelayan tradisional bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta. Ada sejumlah pertimbangan konstitusional yang dijadikan sebagai dasar putusan tersebut. Yakni Pertama, izin pelaksanaan reklamasi diterbitkan secara diam-diam oleh Gubernur DKI Jakarta selaku tergugat. Pasalnya, keberadaan izin tersebut baru diketahui masyarakat pesisir pada tanggal 10 Desember 2015, padahal dokumen tersebut sudah ditandatangani sejak Oktober-November 2015.
Kedua, kerusakan ekosistem Teluk Jakarta memproduksi kesengsaraan bagi masyarakat pesisir. Salah satunya adalah reklamasi akan menimbulkan pencemaran terhadap perairan laut karena adanya perubahan lingkungan sekitarnya. Tak pelak, aktivitas perikanan rakyat dan kinerja PLTU Muara Karang bakal terganggu. Di sinilah perlunya mencegah kerusakan lingkungan yang lebih besar (in dubio pro natura). Karena bukan reklamasi yang dibutuhkan, melainkan revitalisasi Teluk Jakarta.
Ketiga, diabaikannya sejumlah ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di dalam UU tersebut, Gubernur DKI Jakarta berkewajiban untuk menyelesaikan Rancangan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 ayat (1) bahwa, ”Izin Lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil”.
Faktanya, sejak terbongkarnya kasus korupsi pembahasan Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, belum ada kesepakatan tertulis antara DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk pemberlakuan perda tersebut.
Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan juga menemukan fakta bahwa kewenangan pemberian Izin Lokasi dan Izin Pelaksanaan Reklamasi merupakan otoritas Menteri Kelautan dan Perikanan, bukan Gubernur DKI Jakarta sesuai (a) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; (b) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional; dan (c) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Ketiga aturan tersebut mempertegas fakta bahwa Teluk Jakarta merupakan kawasan strategis nasional sehingga kewenangan pemberian izin berada pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Demikian pula berkaitan dengan pengambilan material urukan megaproyek reklamasi 17 pulau buatan ini.
Seperti diketahui, material urukan didatangkan dari provinsi lain, di antaranya Teluk Lontar di Kabupaten Serang (Provinsi Banten) dan Kabupaten Tulang Bawang di Provinsi Lampung. Dengan perkataan lain, secara prosedural Gubernur DKI Jakarta menyalahgunakan otoritasnya.
Keempat, megaproyek reklamasi di Teluk Jakarta menomorduakan kepentingan umum masyarakat pesisir dan warga Jakarta secara keseluruhan. BPS (2013) mencatat, sedikitnya ada 56.309 rumah tangga nelayan kecil yang tersebar di tiga provinsi sekitar Teluk Jakarta, yakni DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang terkena dampak negatif secara langsung akibat pembangunan proyek properti tersebut, seperti penggusuran dan kriminalisasi nelayan.
Betapa tidak, 80% areal pulau buatan akan dialokasikan untuk aktivitas komersial, seperti apartemen eksklusif, kawasan bisnis dan pergudangan, wisata bahari berbayar, dan permukiman mewah. Dengan tujuan ini, warga Ibu Kota diharuskan mengeluarkan ratusan ribu rupiah sekadar untuk berekreasi di Pantai Utara Jakarta. Parahnya, meski belum terbangun, pengembang telah memajang etalase properti di atas pulau buatan ini melalui iklan televisi nasional dan mancanegara.
Keempat pertimbangan pokok Majelis Hakim PTUN Jakarta atas ketiga pulau buatan ini membawa ingatan khalayak ramai kepada Putusan Nomor 193 Tahun 2015 tentang Pembatalan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Ibu Kota Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang diketuai oleh DR Kadar Selamet SH MHum dan beranggotakan Nurnaeni Manurung SH MHum dan DR Slamet Suparjoto SH MHum mengeluarkan pembatalan atas putusan PTUN melalui Putusan Nomor 228 Tahun 2016 tertanggal 17 Oktober 2016. Kini kasasi tengah berlangsung di balik tembok Mahkamah Agung.
Berkaca pada proses hukum atas Pulau G, setidaknya terdapat beberapa hal signifikan yang perlu dicermati guna memenangkan perjuangan konstitusional nelayan tradisional ini. Pertama, reklamasi di Teluk Jakarta telah dicanangkan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Proyek ini dinamai NCICD (National Capital Integrated Coastal Development), meliputi pembangunan 17 pulau buatan dan tanggul laut raksasa. Selain Jakarta, pembangunan proyek serupa juga bakal dilakukan di Bali dan Semarang.
Meski dibatalkan di tingkat pengadilan pertama, risiko diterbitkannya kembali izin pelaksanaan reklamasi oleh Gubernur DKI Jakarta terbuka lebar. Apalagi jika Presiden Joko Widodo tidak mengeluarkan NCICD dari prioritas program jangka menengah nasional 2015-2019. Dalam konteks inilah, kajian yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Pemerintah Korea, Pemerintah Belanda, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional diorientasikan.
Dengan dukungan anggaran senilai Rp218 miliar, kajian ini diharapkan melegitimasi kembali megaproyek NCICD. Anggaran ini berasal dari Korea International Cooperation Agency (KOICA) dan pemerintah Belanda, masing-masing sebesar Rp133 miliar (setara USD 9,5 juta) dan Rp85 miliar (setara EUR8,5 juta). Di sinilah perlunya mengelevasi capaian advokasi yang telah diraih melalui pengembangan kapasitas masyarakat secara gotong-royong.
Kedua, putusan PTUN ini mempertegas peluang masyarakat untuk terbebas dari praktik diskriminatif saat pemberlakuan kebijakan publik dan mendapatkan kesejahteraan kolektifnya. Untuk itulah, Pasal 20 ayat (1-2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menyebutkan, ”Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”.
Kasus reklamasi di Teluk Jakarta merupakan cermin pertarungan perebutan ruang. Di tengah pertarungan itulah, masyarakat pesisir dan warga Jakarta pada umumnya dituntut untuk melibatkan diri secara proaktif guna memastikan setiap pengambilan kebijakan atas kepentingan umum, seperti Ranperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sungguh-sungguh memprioritaskan hajat hidup bersama. Di sinilah jejaring pengetahuan dan pengalaman pengelolaan lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi berbasis komunitas mesti dirajut bersama masyarakat pesisir di Banten dan Jawa Barat yang tinggal di sekitar Teluk Jakarta.
Ditambah lagi apabila tiap-tiap anggota masyarakat pesisir tersebut berkemampuan untuk menghimpun kepentingan mereka ke dalam wadah usaha bersama berbasis koperasi sebagai dipersyaratkan di dalam Pasal 22A Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, niscaya perjuangan konstitusional ini bisa dimenangkan.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian
Maritim untuk Kemanusiaan,
Center of Maritime Studies for Humanities
MEGAPROYEK properti reklamasi di Teluk Jakarta berada di ujung tanduk. Proyek pulau buatan ini terancam dibatalkan pasca putusan Majelis Hakim PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Jakarta yang menganulir tiga surat izin pelaksanaan reklamasi pulau buatan yang dikeluarkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Kamis (16/3) sore di Jakarta.
Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mencatat, ketiga surat izin yang ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta tersebut adalah pertama, Surat Keputusan Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F seluas 190 hektare kepada PT Jakarta Propertindo. Kedua, Surat Keputusan Nomor 2269 Tahun 2015 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I seluas 405 hektare kepada PT Jaladri Kartika Ekapaksi. Ketiga, Surat Keputusan Nomor 2485 Tahun 2015 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K seluas 32 hektare kepada PT Pembangunan Jaya Ancol.
Dalam putusannya, Majelis Hakim PTUN Jakarta mengabulkan keseluruhan gugatan yang diajukan oleh nelayan tradisional bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta. Ada sejumlah pertimbangan konstitusional yang dijadikan sebagai dasar putusan tersebut. Yakni Pertama, izin pelaksanaan reklamasi diterbitkan secara diam-diam oleh Gubernur DKI Jakarta selaku tergugat. Pasalnya, keberadaan izin tersebut baru diketahui masyarakat pesisir pada tanggal 10 Desember 2015, padahal dokumen tersebut sudah ditandatangani sejak Oktober-November 2015.
Kedua, kerusakan ekosistem Teluk Jakarta memproduksi kesengsaraan bagi masyarakat pesisir. Salah satunya adalah reklamasi akan menimbulkan pencemaran terhadap perairan laut karena adanya perubahan lingkungan sekitarnya. Tak pelak, aktivitas perikanan rakyat dan kinerja PLTU Muara Karang bakal terganggu. Di sinilah perlunya mencegah kerusakan lingkungan yang lebih besar (in dubio pro natura). Karena bukan reklamasi yang dibutuhkan, melainkan revitalisasi Teluk Jakarta.
Ketiga, diabaikannya sejumlah ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di dalam UU tersebut, Gubernur DKI Jakarta berkewajiban untuk menyelesaikan Rancangan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 ayat (1) bahwa, ”Izin Lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil”.
Faktanya, sejak terbongkarnya kasus korupsi pembahasan Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, belum ada kesepakatan tertulis antara DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk pemberlakuan perda tersebut.
Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan juga menemukan fakta bahwa kewenangan pemberian Izin Lokasi dan Izin Pelaksanaan Reklamasi merupakan otoritas Menteri Kelautan dan Perikanan, bukan Gubernur DKI Jakarta sesuai (a) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; (b) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional; dan (c) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Ketiga aturan tersebut mempertegas fakta bahwa Teluk Jakarta merupakan kawasan strategis nasional sehingga kewenangan pemberian izin berada pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Demikian pula berkaitan dengan pengambilan material urukan megaproyek reklamasi 17 pulau buatan ini.
Seperti diketahui, material urukan didatangkan dari provinsi lain, di antaranya Teluk Lontar di Kabupaten Serang (Provinsi Banten) dan Kabupaten Tulang Bawang di Provinsi Lampung. Dengan perkataan lain, secara prosedural Gubernur DKI Jakarta menyalahgunakan otoritasnya.
Keempat, megaproyek reklamasi di Teluk Jakarta menomorduakan kepentingan umum masyarakat pesisir dan warga Jakarta secara keseluruhan. BPS (2013) mencatat, sedikitnya ada 56.309 rumah tangga nelayan kecil yang tersebar di tiga provinsi sekitar Teluk Jakarta, yakni DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang terkena dampak negatif secara langsung akibat pembangunan proyek properti tersebut, seperti penggusuran dan kriminalisasi nelayan.
Betapa tidak, 80% areal pulau buatan akan dialokasikan untuk aktivitas komersial, seperti apartemen eksklusif, kawasan bisnis dan pergudangan, wisata bahari berbayar, dan permukiman mewah. Dengan tujuan ini, warga Ibu Kota diharuskan mengeluarkan ratusan ribu rupiah sekadar untuk berekreasi di Pantai Utara Jakarta. Parahnya, meski belum terbangun, pengembang telah memajang etalase properti di atas pulau buatan ini melalui iklan televisi nasional dan mancanegara.
Keempat pertimbangan pokok Majelis Hakim PTUN Jakarta atas ketiga pulau buatan ini membawa ingatan khalayak ramai kepada Putusan Nomor 193 Tahun 2015 tentang Pembatalan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Ibu Kota Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang diketuai oleh DR Kadar Selamet SH MHum dan beranggotakan Nurnaeni Manurung SH MHum dan DR Slamet Suparjoto SH MHum mengeluarkan pembatalan atas putusan PTUN melalui Putusan Nomor 228 Tahun 2016 tertanggal 17 Oktober 2016. Kini kasasi tengah berlangsung di balik tembok Mahkamah Agung.
Berkaca pada proses hukum atas Pulau G, setidaknya terdapat beberapa hal signifikan yang perlu dicermati guna memenangkan perjuangan konstitusional nelayan tradisional ini. Pertama, reklamasi di Teluk Jakarta telah dicanangkan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Proyek ini dinamai NCICD (National Capital Integrated Coastal Development), meliputi pembangunan 17 pulau buatan dan tanggul laut raksasa. Selain Jakarta, pembangunan proyek serupa juga bakal dilakukan di Bali dan Semarang.
Meski dibatalkan di tingkat pengadilan pertama, risiko diterbitkannya kembali izin pelaksanaan reklamasi oleh Gubernur DKI Jakarta terbuka lebar. Apalagi jika Presiden Joko Widodo tidak mengeluarkan NCICD dari prioritas program jangka menengah nasional 2015-2019. Dalam konteks inilah, kajian yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Pemerintah Korea, Pemerintah Belanda, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional diorientasikan.
Dengan dukungan anggaran senilai Rp218 miliar, kajian ini diharapkan melegitimasi kembali megaproyek NCICD. Anggaran ini berasal dari Korea International Cooperation Agency (KOICA) dan pemerintah Belanda, masing-masing sebesar Rp133 miliar (setara USD 9,5 juta) dan Rp85 miliar (setara EUR8,5 juta). Di sinilah perlunya mengelevasi capaian advokasi yang telah diraih melalui pengembangan kapasitas masyarakat secara gotong-royong.
Kedua, putusan PTUN ini mempertegas peluang masyarakat untuk terbebas dari praktik diskriminatif saat pemberlakuan kebijakan publik dan mendapatkan kesejahteraan kolektifnya. Untuk itulah, Pasal 20 ayat (1-2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menyebutkan, ”Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”.
Kasus reklamasi di Teluk Jakarta merupakan cermin pertarungan perebutan ruang. Di tengah pertarungan itulah, masyarakat pesisir dan warga Jakarta pada umumnya dituntut untuk melibatkan diri secara proaktif guna memastikan setiap pengambilan kebijakan atas kepentingan umum, seperti Ranperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sungguh-sungguh memprioritaskan hajat hidup bersama. Di sinilah jejaring pengetahuan dan pengalaman pengelolaan lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi berbasis komunitas mesti dirajut bersama masyarakat pesisir di Banten dan Jawa Barat yang tinggal di sekitar Teluk Jakarta.
Ditambah lagi apabila tiap-tiap anggota masyarakat pesisir tersebut berkemampuan untuk menghimpun kepentingan mereka ke dalam wadah usaha bersama berbasis koperasi sebagai dipersyaratkan di dalam Pasal 22A Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, niscaya perjuangan konstitusional ini bisa dimenangkan.
(kri)