Agama dan Pembangunan Ekonomi
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
SEPEKAN lalu kita kehilangan KH Ahmad Hasyim Muzadi sebagai seorang ulama dan tokoh besar di negeri ini. Berbagai posisi prestisius mulai dari aktivis pergerakan pemuda dan mahasiswa hingga ketua di berbagai jenjang organisasi keagamaan dan politik diembannya selama beberapa dekade.
Masyarakat begitu menghormati jasa-jasa beliau dalam menerapkan konsep “keseimbangan” yang ditunjukkan dalam aktivitas beragama, berbangsa, dan bernegara yang output-nya ikut menjaga kestabilan pembangunan di Indonesia.
Penulis menganggap, teori keseimbangan yang telah Kiai Hasyim kumandangkan tergolong sebagai teologi yang unik. Ide mercusuarnya menggunakan unsur moralitas agama sebagai bagian dari sistem pembangunan sosial.
Pemikiran beliau seolah-olah menjadi antitesis paham kapitalisme yang selama ini cenderung bersikap sekuler dan antisosial. Kita lihat saja bagaimana argumen yang dilontarkan Kiai Hasyim ketika merespons fenomena ketimpangan sosial yang semakin memuncak di Indonesia.
Dengan kapasitasnya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS), beliau mengkritik keras bagaimana kondisi ketimpangan yang terkesan terus tumbuh tanpa adanya upaya pengendalian.
Kiai Hasyim melontarkan dengan gayanya yang khas. Selentingan pedasnya dibumbui dengan guyon yang cerdas sehingga tidak menimbulkan dampak ketersinggungan yang di luar batas. Inti argumen yang Kiai Hasyim jelaskan terletak pada bipolar toleransi yang timpang di dalam frasa keagamaan dengan kebijakan ekonomi.
Kiai Hasyim menggambarkan hubungan antara mayoritas dan minoritas yang tercipta di negeri ini. Frasa toleransi beliau definisikan sebagai upaya perlindungan yang dilakukan pihak mayoritas terhadap hak-hak minoritas.
Ketika berbicara dari sudut pandang keagamaan, kaum mayoritas direfleksikan sebagai pribumi muslim yang jumlahnya sangat dominan dan kalangan lain disebut minoritas. Toleransi keagamaan sudah dipraktikkan dengan baik meskipun belum cukup optimal karena masih muncul pola-pola gesekan yang disebabkan isu keagamaan.
Sementara dari sudut pandang ekonomi, kalangan mayoritas dari sisi keagamaan justru yang menjadi kaum minoritas. Namun tampaknya isu toleransi ekonomi lebih sering terabaikan. Kaum mayoritas ekonomi dianggap kurang melindungi kaum minoritas hingga terus berkembang menjadi kaum marginal.
Buktinya sudah tampak dari peningkatan luar biasa ketimpangan ekonomi sepanjang dua dekade terakhir. Bahkan Bank Dunia (2015) melansir 1% rumah tangga terkaya telah menguasai lebih dari separuh total kekayaan ekonomi di Indonesia.
Filsafat ekonomi beliau lontarkan untuk menjelaskan bagaimana perkembangan perekonomian global sejak awal 1990-an. Ekonomi dunia tidak lagi termargin pada kelompok kapitalis-liberal dan sosialis-komunis yang dulu disebut Blok Barat dan Blok Timur.
Sekarang semuanya mulai bergerak monopolar (satu arah) untuk melakukan agresi-agresi ekonomi ke negara-negara yang kaya sumber daya, termasuk Indonesia. Jadi koalisi antarnegara sekarang digerakkan unsur materialisme. Inilah yang kemudian perlu kita antisipasi agar tidak semakin waswas dengan kinerja ketahanan ekonomi Indonesia.
Kiai Hasyim merumuskan ada tiga syarat untuk mewujudkan ketahanan ekonomi di Indonesia. Pertama, sistem ekonomi di dalam ketatanegaraan dan konstitusi seharusnya menjamin terselenggaranya pemerataan ekonomi.
Ada baiknya pula jika pola hidup masyarakat dapat diubah dari yang selama ini cenderung homo homini lupus (cenderung intoleran dalam berekonomi) menjadi homo homini socius (ekonomi berwatak sosial).
Kedua, penyelenggara pemerintahan harus konsisten berani menjalankan jalur-jalur pemerataan. Hal ini dipandang akan sulit terjadi jika pemerintah tidak mampu mengendalikan conflict of interest dan pola rente ekonomi yang senantiasa mengarah pada kapitalisme.
Dan ketiga, ada prasyarat kesiapan mental untuk menjalankan ekonomi kerakyatan, peningkatan skill, serta kesempatan yang sama di dalam mencari kesejahteraan dan perlindungan terhadap usaha-usaha mikro dan kecil.
Kesadaran Aksioma dan Berkoalisi
Jika dikaitkan dengan kondisi existing, sebenarnya gerakan-gerakan ekonomi kerakyatan terus mengalir ke beberapa kelompok yang merasa marginal. Hanya saja kelompok-kelompok ini belum mendapat legitimasi yang kuat sehingga kiprahnya belum cukup masif mengakomodasi target pemerataan.
Hal paling menarik tentu lahirnya kelompok-kelompok ekonomi berbasis agama yang dijalankan para pengusaha dan penggerak ekonomi lain. Kita ambil contoh komunitas ekonomi dari kalangan pengusaha muslim yang sekarang tampaknya kian menggeliat.
Kita perlu menghargai latar belakang yang mereka pilih karena inilah bagian dari proses alami di negeri demokrasi. Terlepas dari unsur eksklusif yang mereka kehendaki, ada juga sisi-sisi positif yang nantinya dapat kita pelajari, terutama yang berkaitan dengan proses akulturasi kebijakan ekonomi dan unsur agama.
Konsep-konsep normatif dalam ajaran agama diyakini mampu memengaruhi kinerja pembangunan ekonomi karena aspek moralitas dapat membangun kohesi yang kuat untuk meminimalkan setiap potensi yang memunculkan konflik.
Pertama, adanya komunitas ekonomi ini merefleksikan kekuatan modal sosial di Indonesia. Bekal modal sosial yang kuat diharapkan mampu memfasilitasi pola kerja sama, gotong-royong, toleransi, dan yang paling utama mempercepat transfer knowledge karena asumsi adanya kesamaan visi ekonomi.
Para sosiolog dunia sebagian besar bersepakat bahwa level modal sosial terbagi ke dalam tiga strata, yakni social bonding, social bridging, dan social linking. Eksistensi kelompok ekonomi muslim untuk saat ini mungkin masih dikategorikan berada di tahap yang paling rendah untuk kategori social bonding karena basis persekutuannya lebih disebabkan kesamaan identitas dan ikatan parokial (keagamaan).
Namun model ini berpotensi untuk terus berkembang jika mampu mengakomodasi kepentingan eksternal para anggotanya, yakni dengan meningkatkan hubungan dengan kelompok-kelompok lain dalam rangka peningkatan efisiensi ekonomi. Peran pemerintah dapat juga dilibatkan di dalamnya untuk menjalankan proses koordinasi kebijakan agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kedua, ajaran agama dapat memengaruhi level moralitas para pelaku ekonomi di dalamnya. Tingginya biaya transaksi ekonomi di Indonesia sangat mungkin juga disebabkan akuntabilitas dan moralitas yang rendah dari stakeholder yang ada.
Indikasi yang paling gamblang bisa dijelaskan dari hubungan para birokrat dengan para pengusaha yang sering dilalui dengan perangai korupsi dan rente ekonomi. Akibatnya kebijakan ekonomi hanya menguntungkan segelintir “pemain”.
Kaum marginal akan terus-menerus menjadi korban kebijakan karena hak-hak pemerataannya selalu dikebiri. Penyakit amoral juga dapat terjadi dalam diri masyarakat di luar para birokrat dan pengusaha, misalnya terkait dengan ketidakdisiplinan para tenaga kerja serta perilaku pasar yang cenderung tidak jujur dan transparan.
Meskipun secara parsial dampak buruknya terhitung relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan moral hazard yang ditimbulkan para birokrat, jika diakumulasi ulang, dampaknya bisa lebih berat karena menciptakan distorsi dan membawa situasi pasar menjadi tidak kondusif.
Ketiga, agama dapat berdampak positif terhadap upaya konservasi sosial dan lingkungan. World Bank pada 2015 merilis laporan yang membahas perilaku sosial masyarakat ke dalam prinsip think automatically, think socially, dan think with mental models.
Dua prinsip yang pertama mungkin sudah cukup akrab terdengar, tetapi prinsip ketiga ini bisa dibilang kurang dieksplorasi masyarakat. Ketiga prinsip menjelaskan bagaimana kerangka kerja mental dan harapan yang sering kali berakar pada budaya kita.
Kerangka mental pada gilirannya akan berpengaruh pada bagaimana kita menanggapi dan berperilaku dan nantinya bisa berdampak pada upaya konservasi sosial dan alam. Misalnya perspektif ekonomi terhadap sumber daya alam terutama yang bersifat non-renewable.
Ketika kita mengeksploitasi SDA secara besar-besaran, kita sama saja dengan mempersiapkan masa depan pasar yang cenderung distortif akibat hukum kelangkaan. Fenomena perang fisik maupun psikis antarnegara pada umumnya juga disebabkan perebutan sumber daya ekonomi. Jadi perlu ada pengembangan kearifan dalam berekonomi agar tidak menjadi konflik di kemudian hari.
Contoh menarik lain dapat diilustrasikan dari upaya konservasi sosial melalui kebijakan perpajakan. Rendahnya realisasi tax ratio di Indonesia pada umumnya disebabkan adanya tax avoidance dan tax evasion.
Fenomena ini menunjukkan betapa lemahnya karakter sosial yang dimiliki para wajib pajak meskipun tidak secara absolut semuanya disebabkan unsur kesengajaan. Padahal, dari sisi fiskal, kebijakan perpajakan menjadi salah satu jalan utama untuk menekan ketimpangan. Selain dengan mewujudkan perbaikan dari sisi layanan dan kualitas pengelolaan perpajakan, solusinya dapat dilakukan dengan mengembangkan modal sosial dan moralitas antara pemerintah dan masyarakat.
Dari berbagai analisis di atas, betapa kita sebagai bangsa sangat kehilangan atas perginya tokoh yang mampu memperkuat hubungan kohesitas sosial yang kuat, mendorong masyarakat harus memegang teguh nilai-nilai ajaran agamanya (ilahiah) serta pada saat yang sama menjadi makhluk sosial, ekonomi, dan politik (muamalah) yang bermanfaat, bertanggung jawab, dan bermartabat. Wallahu a’lam.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
SEPEKAN lalu kita kehilangan KH Ahmad Hasyim Muzadi sebagai seorang ulama dan tokoh besar di negeri ini. Berbagai posisi prestisius mulai dari aktivis pergerakan pemuda dan mahasiswa hingga ketua di berbagai jenjang organisasi keagamaan dan politik diembannya selama beberapa dekade.
Masyarakat begitu menghormati jasa-jasa beliau dalam menerapkan konsep “keseimbangan” yang ditunjukkan dalam aktivitas beragama, berbangsa, dan bernegara yang output-nya ikut menjaga kestabilan pembangunan di Indonesia.
Penulis menganggap, teori keseimbangan yang telah Kiai Hasyim kumandangkan tergolong sebagai teologi yang unik. Ide mercusuarnya menggunakan unsur moralitas agama sebagai bagian dari sistem pembangunan sosial.
Pemikiran beliau seolah-olah menjadi antitesis paham kapitalisme yang selama ini cenderung bersikap sekuler dan antisosial. Kita lihat saja bagaimana argumen yang dilontarkan Kiai Hasyim ketika merespons fenomena ketimpangan sosial yang semakin memuncak di Indonesia.
Dengan kapasitasnya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS), beliau mengkritik keras bagaimana kondisi ketimpangan yang terkesan terus tumbuh tanpa adanya upaya pengendalian.
Kiai Hasyim melontarkan dengan gayanya yang khas. Selentingan pedasnya dibumbui dengan guyon yang cerdas sehingga tidak menimbulkan dampak ketersinggungan yang di luar batas. Inti argumen yang Kiai Hasyim jelaskan terletak pada bipolar toleransi yang timpang di dalam frasa keagamaan dengan kebijakan ekonomi.
Kiai Hasyim menggambarkan hubungan antara mayoritas dan minoritas yang tercipta di negeri ini. Frasa toleransi beliau definisikan sebagai upaya perlindungan yang dilakukan pihak mayoritas terhadap hak-hak minoritas.
Ketika berbicara dari sudut pandang keagamaan, kaum mayoritas direfleksikan sebagai pribumi muslim yang jumlahnya sangat dominan dan kalangan lain disebut minoritas. Toleransi keagamaan sudah dipraktikkan dengan baik meskipun belum cukup optimal karena masih muncul pola-pola gesekan yang disebabkan isu keagamaan.
Sementara dari sudut pandang ekonomi, kalangan mayoritas dari sisi keagamaan justru yang menjadi kaum minoritas. Namun tampaknya isu toleransi ekonomi lebih sering terabaikan. Kaum mayoritas ekonomi dianggap kurang melindungi kaum minoritas hingga terus berkembang menjadi kaum marginal.
Buktinya sudah tampak dari peningkatan luar biasa ketimpangan ekonomi sepanjang dua dekade terakhir. Bahkan Bank Dunia (2015) melansir 1% rumah tangga terkaya telah menguasai lebih dari separuh total kekayaan ekonomi di Indonesia.
Filsafat ekonomi beliau lontarkan untuk menjelaskan bagaimana perkembangan perekonomian global sejak awal 1990-an. Ekonomi dunia tidak lagi termargin pada kelompok kapitalis-liberal dan sosialis-komunis yang dulu disebut Blok Barat dan Blok Timur.
Sekarang semuanya mulai bergerak monopolar (satu arah) untuk melakukan agresi-agresi ekonomi ke negara-negara yang kaya sumber daya, termasuk Indonesia. Jadi koalisi antarnegara sekarang digerakkan unsur materialisme. Inilah yang kemudian perlu kita antisipasi agar tidak semakin waswas dengan kinerja ketahanan ekonomi Indonesia.
Kiai Hasyim merumuskan ada tiga syarat untuk mewujudkan ketahanan ekonomi di Indonesia. Pertama, sistem ekonomi di dalam ketatanegaraan dan konstitusi seharusnya menjamin terselenggaranya pemerataan ekonomi.
Ada baiknya pula jika pola hidup masyarakat dapat diubah dari yang selama ini cenderung homo homini lupus (cenderung intoleran dalam berekonomi) menjadi homo homini socius (ekonomi berwatak sosial).
Kedua, penyelenggara pemerintahan harus konsisten berani menjalankan jalur-jalur pemerataan. Hal ini dipandang akan sulit terjadi jika pemerintah tidak mampu mengendalikan conflict of interest dan pola rente ekonomi yang senantiasa mengarah pada kapitalisme.
Dan ketiga, ada prasyarat kesiapan mental untuk menjalankan ekonomi kerakyatan, peningkatan skill, serta kesempatan yang sama di dalam mencari kesejahteraan dan perlindungan terhadap usaha-usaha mikro dan kecil.
Kesadaran Aksioma dan Berkoalisi
Jika dikaitkan dengan kondisi existing, sebenarnya gerakan-gerakan ekonomi kerakyatan terus mengalir ke beberapa kelompok yang merasa marginal. Hanya saja kelompok-kelompok ini belum mendapat legitimasi yang kuat sehingga kiprahnya belum cukup masif mengakomodasi target pemerataan.
Hal paling menarik tentu lahirnya kelompok-kelompok ekonomi berbasis agama yang dijalankan para pengusaha dan penggerak ekonomi lain. Kita ambil contoh komunitas ekonomi dari kalangan pengusaha muslim yang sekarang tampaknya kian menggeliat.
Kita perlu menghargai latar belakang yang mereka pilih karena inilah bagian dari proses alami di negeri demokrasi. Terlepas dari unsur eksklusif yang mereka kehendaki, ada juga sisi-sisi positif yang nantinya dapat kita pelajari, terutama yang berkaitan dengan proses akulturasi kebijakan ekonomi dan unsur agama.
Konsep-konsep normatif dalam ajaran agama diyakini mampu memengaruhi kinerja pembangunan ekonomi karena aspek moralitas dapat membangun kohesi yang kuat untuk meminimalkan setiap potensi yang memunculkan konflik.
Pertama, adanya komunitas ekonomi ini merefleksikan kekuatan modal sosial di Indonesia. Bekal modal sosial yang kuat diharapkan mampu memfasilitasi pola kerja sama, gotong-royong, toleransi, dan yang paling utama mempercepat transfer knowledge karena asumsi adanya kesamaan visi ekonomi.
Para sosiolog dunia sebagian besar bersepakat bahwa level modal sosial terbagi ke dalam tiga strata, yakni social bonding, social bridging, dan social linking. Eksistensi kelompok ekonomi muslim untuk saat ini mungkin masih dikategorikan berada di tahap yang paling rendah untuk kategori social bonding karena basis persekutuannya lebih disebabkan kesamaan identitas dan ikatan parokial (keagamaan).
Namun model ini berpotensi untuk terus berkembang jika mampu mengakomodasi kepentingan eksternal para anggotanya, yakni dengan meningkatkan hubungan dengan kelompok-kelompok lain dalam rangka peningkatan efisiensi ekonomi. Peran pemerintah dapat juga dilibatkan di dalamnya untuk menjalankan proses koordinasi kebijakan agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kedua, ajaran agama dapat memengaruhi level moralitas para pelaku ekonomi di dalamnya. Tingginya biaya transaksi ekonomi di Indonesia sangat mungkin juga disebabkan akuntabilitas dan moralitas yang rendah dari stakeholder yang ada.
Indikasi yang paling gamblang bisa dijelaskan dari hubungan para birokrat dengan para pengusaha yang sering dilalui dengan perangai korupsi dan rente ekonomi. Akibatnya kebijakan ekonomi hanya menguntungkan segelintir “pemain”.
Kaum marginal akan terus-menerus menjadi korban kebijakan karena hak-hak pemerataannya selalu dikebiri. Penyakit amoral juga dapat terjadi dalam diri masyarakat di luar para birokrat dan pengusaha, misalnya terkait dengan ketidakdisiplinan para tenaga kerja serta perilaku pasar yang cenderung tidak jujur dan transparan.
Meskipun secara parsial dampak buruknya terhitung relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan moral hazard yang ditimbulkan para birokrat, jika diakumulasi ulang, dampaknya bisa lebih berat karena menciptakan distorsi dan membawa situasi pasar menjadi tidak kondusif.
Ketiga, agama dapat berdampak positif terhadap upaya konservasi sosial dan lingkungan. World Bank pada 2015 merilis laporan yang membahas perilaku sosial masyarakat ke dalam prinsip think automatically, think socially, dan think with mental models.
Dua prinsip yang pertama mungkin sudah cukup akrab terdengar, tetapi prinsip ketiga ini bisa dibilang kurang dieksplorasi masyarakat. Ketiga prinsip menjelaskan bagaimana kerangka kerja mental dan harapan yang sering kali berakar pada budaya kita.
Kerangka mental pada gilirannya akan berpengaruh pada bagaimana kita menanggapi dan berperilaku dan nantinya bisa berdampak pada upaya konservasi sosial dan alam. Misalnya perspektif ekonomi terhadap sumber daya alam terutama yang bersifat non-renewable.
Ketika kita mengeksploitasi SDA secara besar-besaran, kita sama saja dengan mempersiapkan masa depan pasar yang cenderung distortif akibat hukum kelangkaan. Fenomena perang fisik maupun psikis antarnegara pada umumnya juga disebabkan perebutan sumber daya ekonomi. Jadi perlu ada pengembangan kearifan dalam berekonomi agar tidak menjadi konflik di kemudian hari.
Contoh menarik lain dapat diilustrasikan dari upaya konservasi sosial melalui kebijakan perpajakan. Rendahnya realisasi tax ratio di Indonesia pada umumnya disebabkan adanya tax avoidance dan tax evasion.
Fenomena ini menunjukkan betapa lemahnya karakter sosial yang dimiliki para wajib pajak meskipun tidak secara absolut semuanya disebabkan unsur kesengajaan. Padahal, dari sisi fiskal, kebijakan perpajakan menjadi salah satu jalan utama untuk menekan ketimpangan. Selain dengan mewujudkan perbaikan dari sisi layanan dan kualitas pengelolaan perpajakan, solusinya dapat dilakukan dengan mengembangkan modal sosial dan moralitas antara pemerintah dan masyarakat.
Dari berbagai analisis di atas, betapa kita sebagai bangsa sangat kehilangan atas perginya tokoh yang mampu memperkuat hubungan kohesitas sosial yang kuat, mendorong masyarakat harus memegang teguh nilai-nilai ajaran agamanya (ilahiah) serta pada saat yang sama menjadi makhluk sosial, ekonomi, dan politik (muamalah) yang bermanfaat, bertanggung jawab, dan bermartabat. Wallahu a’lam.
(poe)