Studi Banding DPR ke Meksiko Dipertanyakan
A
A
A
JAKARTA - Studi banding Panitia Khusus (Pansus) revisi Undang-Undang Pemilu ke Jerman dan Meksiko untuk mempelajari penerapan pemungutan suara berbasis elektronik (e-voting) dikritik.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, menilai studi banding ke Meksiko untuk mempelajari sistem e-voting kurang tepat.
Menurut dia, banyak negara yang jauh lebih dahulu menerapkan sistem tersebut dan layak menjadi refrensi e-voting dibanding negara di kawasan Amerika tersebut.
“Negara-negara yang berpengalaman soal teknologi pungut hitung antara lain Brasil, Venezuela, India, Filipina, Korea Selatan, Australia, Belanda, Irlandia, Paraguay,” kata Titi melalui pesan tertulisnya, Rabu (15/3/2017). (Baca Juga: KPU: Persiapan E-Voting Bertahap )
Titi mengingatkan, tidak sedikit negara yang gagal melakukan e-voting dn kembali ke proses pemungutan suara konvensional.
Beberapa negara tersebut seperti Belanda yang sudah lama mewacanakan penerapan e-voting. Namun pada 2007 Belanda memutuskan tidak lagi menggunakan e-voting akibat peristiwa politik tahun 2006.
Australia sejak tahun 2006 telah mengujicobakan penerapan e-voting di pemilu negara bagiannya, yaitu di Victoria (2006, 2010) dan Canberra (2012). Namun pada akhirnya Australia memutuskan penerapan e-voting sama sekali tidak meningkatkan kualitas pemilu.
Bahkan tim kajian yang mengevaluasi penerapan e-voting di Victoria dan Canberra menyimpulkan teknologi e-voting berbiaya sangat mahal untuk mencitpakan pemilu aman dan transparan.
Menurut dia, e-voting pada akhirnya hanya diperuntukkan bagi disabilitas dan pemilih di luar negeri, tidak untuk pemilu federalnya secara umum.
“Pembelajaran yang diambil dari luar negeri tersebut semestinya menjadi peringatan bagi pemerintah dan DPR dalam memutuskan penerapan e-voting untuk pemilu Indonesia,” ucap Titi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, menilai studi banding ke Meksiko untuk mempelajari sistem e-voting kurang tepat.
Menurut dia, banyak negara yang jauh lebih dahulu menerapkan sistem tersebut dan layak menjadi refrensi e-voting dibanding negara di kawasan Amerika tersebut.
“Negara-negara yang berpengalaman soal teknologi pungut hitung antara lain Brasil, Venezuela, India, Filipina, Korea Selatan, Australia, Belanda, Irlandia, Paraguay,” kata Titi melalui pesan tertulisnya, Rabu (15/3/2017). (Baca Juga: KPU: Persiapan E-Voting Bertahap )
Titi mengingatkan, tidak sedikit negara yang gagal melakukan e-voting dn kembali ke proses pemungutan suara konvensional.
Beberapa negara tersebut seperti Belanda yang sudah lama mewacanakan penerapan e-voting. Namun pada 2007 Belanda memutuskan tidak lagi menggunakan e-voting akibat peristiwa politik tahun 2006.
Australia sejak tahun 2006 telah mengujicobakan penerapan e-voting di pemilu negara bagiannya, yaitu di Victoria (2006, 2010) dan Canberra (2012). Namun pada akhirnya Australia memutuskan penerapan e-voting sama sekali tidak meningkatkan kualitas pemilu.
Bahkan tim kajian yang mengevaluasi penerapan e-voting di Victoria dan Canberra menyimpulkan teknologi e-voting berbiaya sangat mahal untuk mencitpakan pemilu aman dan transparan.
Menurut dia, e-voting pada akhirnya hanya diperuntukkan bagi disabilitas dan pemilih di luar negeri, tidak untuk pemilu federalnya secara umum.
“Pembelajaran yang diambil dari luar negeri tersebut semestinya menjadi peringatan bagi pemerintah dan DPR dalam memutuskan penerapan e-voting untuk pemilu Indonesia,” ucap Titi.
(dam)