Hari Ini Suami Inneke Koesherawati Jalani Sidang Perdana
A
A
A
JAKARTA - Suami dari artis Inneke Koesherawati, Fahmi Darmawansyah bakal menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (13/3/2017).
Fahmi Darmawansyah yang merupakan pemilik dan pengendali PT Meria Esa dan PT Melati Technofo Indonesia adalah tersangka pemberi suap pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) dari APBN Perubahan 2016 dengan anggaran lebih Rp222,438 miliar.
Fahmi bersama Hardy Stefanus selaku Marketing/Operasional PT Merial Esa dan pegawai Bagian Operasional Merial Esa Muhammad Adami Okta sebelumnya ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pemberi suap kepada jaksa Eko Susilo Hadi selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Bakamla dan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla Tahun Anggaran 2016.
Setiyono selaku kuasa hukum Fahmi Darmawansyah dan Muhammad Adami Okta menyatakan, sidang perdana pembacaan dakwaan atas nama Fahmi akan berlangsung pada hari ini. Sementara sidang lanjutan atas nama Adami akan berlangsung pada Jumat 17 Maret 2017.
Dia menuturkan, dakwaan terhadap Fahmi uraiannya sama seperti dakwaan atas nama Adami dan Hardy Stefanus. "Sidangnya Pak Fahmi Senin besok. Uraian dakwaan, Pasal 55 (Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana) ya sama, sama gitu," ujar Setiyono saat dihubungi SINDO, Minggu 12 Maret 2017.
Dia mengakui dalam dakwaan Adami sebelumnya memang ada disebutkan JPU bahwa Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Sudewo memang meminta disediakan 7,5% dari anggaran satelit monitoring yang dimenangkan PT Melati Technofo Indonesia. Permintaan tersebut lebih diketahui Eko Susilo Hadi. Detail proses permintaan Kepala Bakamla Arie Soedewo bisa dikonfirmasi lagi ke Eko.
"Karena soal yang permintaan yang disebutkan di dakwaan kemarin (dakwaan Adami) 7,5% oleh Kepala Bakamla itu asal muasalnya dari BAP (Berita Acara Pemeriksaan)-nya Eko. Iya (permintaan itu disampaikan ke Adami), permintaan (disampaikan) dari Pak Eko," tegasnya.
Dia membeberkan, realisasi permintaan 7,5% sehingga dikuburkan uang dalam bentuk tunai tidak hanya diutarakan Eko ke Adami. Tapi dari beberapa orang. Sebenarnya, tutur Setiyono, posisi Adami hanya memenuhi permintaan-permintaan mereka saja. Permintaan tersebut kemudian diteruskan Adami ke Fahmi.
Menurut Setiyono, fakta sidang akan mengungkap semua permintaan dan realisasi pemberian uang. "Nah biar fakta persidangan. Nanti siapa yang brengsek, siapa yang dibrengsekin nanti kita lihat fakta persidangan. Nanti di fakta persidangan akan ketahuan kok siapa yang master mind-nya yang brengsek, nanti ketahuan," tegasnya.
Setiyono memastikan, dalam proses persidangan kliennya akan terbuka dalam mengungkap permintaan 7,5% dan realisasi penyerahan uang suap. Dia belum mau mengungkap apakah benar dalam sadapan percakapan via telepon seluler (ponsel) pihak-pihak yang terkait termasuk Adami dan Fahmi ada pembicaraan 7,5% yang disandikan dengan 'uang komando'. Yang pasti semuanya bisa terungkap nanti.
"Perihal Kepala Bakamla itu coba diminta klarifikasi dari pihak Eko. Karena dia yang tahu (proses permintaan awal)," tandas Setiyono.
Diketahui, perkara Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta ditangani JPU pada KPK yang dipimpin Kiki Ahmad Yani. JPU menyebutkan, Hardy dan Adami bersama dengan Fahmi Darmawansyah (dilakukan penuntutan terpisah) telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut yakni, memberikan uang secara bertahap seluruhnya SGD209.500, USD78.500, dan Rp120 juta kepada empat penyelenggara negara.
Tujuannya untuk memenangkan PT Melati Technofo Indonesia (MTI) dalam pengadaan monitoring satelitte di Bakamla pada APBN Perubahan 2016 dengan anggaran Rp222.438.208.743. Uang suap tadi diberikan diberikan kepada empat pihak.
Pertama, Eko Susilo Hadi (tersangka) selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Bakamla dan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla Tahun Anggaran 2016 sebesar USD100.000 dan SGD78.500.
Kedua, Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo (tersangka di POM TNI) selaku Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kegiatan Peningkatan Pengelolaan Informasi Hukum dan Kerjasama Keamanan dan Keselamatan Laut Bakamla 2016 sebesar SGD5.000.
Ketiga, Nofel Hasan selaku Kepala Biro Perencanaan dan Informasi Bakamla sebesar SGD104.500. Keempat, Tri Nanda Wicaksono selaku Kasubag TU Sestama Bakamla sebesar Rp120 juta.
Suap bermula di antaranya dari kedatangan Ali Fahmi alas Fahmi Habsyi selaku Narasumber Bidang Perencanaan dan Anggaran Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo ke kantor PT Merial Esa, Jln Imam Bonjol Nomor 16, Jakarta Pusat pada Maret 2016. Ketika itu Ali bertemu dengan Fahmi Darmawansyah yang didampingi Adami.
Ali menawarkan kepada Fahmi Darmawansyah untuk 'main proyek' di Bakamla. Kalau bersedia maka Fahmi Darmawansyah harus mengikuti arahan Ali supaya dapat memenangkan pengadaan di Bakamla dengan syarat Fahmi Darmawansyah memberikan fee 15% dari nilai pengadaan. Ali kemudian bertemu dengan Adami dan Hardy di sebuah kamar di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan pada 1 Juli 2016 dan menerima Rp24 miliar hasil realisasi 6%.
Setelah PT Melati Technofo Indonesia ditetapkan sebagai pemenang lelang satelit monitoring, kemudian Oktober 2016, bertempat di ruangan Kepala Bakamla, dilakukan pertemuan antara Kepala Bakamla Laksmana Madya TNIArie Soedewo dan Eko Susilo Hadi membahas jatah 7,5% untuk Bakamla dari pengadaan satelit monitoring uang telah dimenangkan PT MTI.
Saat itu, Arie Soedewo menyampaikan dari jatah 15 % dari nilai pengadaan, untuk Bakamla mendapatkan jatah 7,5% dan akan diberikan terlebih dahulu sebesar 2%. Arie meminta Eko menghubungi Hardy dan Adami untuk menyampaikan jika pemberian sebesar 2% diberikan kepada Eko.
Berikutnya, sekitar 10 November 2016 Eko melaporkan hasil pertemuannya dengan Adami ke Kepala Bakamla Arie. Selanjutnya Arie menyampaikan kepada Eko untuk memberi Novel Hasan dan Bambang Udoyo masing-masing Rp1 miliar.
Fahmi Darmawansyah yang merupakan pemilik dan pengendali PT Meria Esa dan PT Melati Technofo Indonesia adalah tersangka pemberi suap pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) dari APBN Perubahan 2016 dengan anggaran lebih Rp222,438 miliar.
Fahmi bersama Hardy Stefanus selaku Marketing/Operasional PT Merial Esa dan pegawai Bagian Operasional Merial Esa Muhammad Adami Okta sebelumnya ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pemberi suap kepada jaksa Eko Susilo Hadi selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Bakamla dan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla Tahun Anggaran 2016.
Setiyono selaku kuasa hukum Fahmi Darmawansyah dan Muhammad Adami Okta menyatakan, sidang perdana pembacaan dakwaan atas nama Fahmi akan berlangsung pada hari ini. Sementara sidang lanjutan atas nama Adami akan berlangsung pada Jumat 17 Maret 2017.
Dia menuturkan, dakwaan terhadap Fahmi uraiannya sama seperti dakwaan atas nama Adami dan Hardy Stefanus. "Sidangnya Pak Fahmi Senin besok. Uraian dakwaan, Pasal 55 (Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana) ya sama, sama gitu," ujar Setiyono saat dihubungi SINDO, Minggu 12 Maret 2017.
Dia mengakui dalam dakwaan Adami sebelumnya memang ada disebutkan JPU bahwa Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Sudewo memang meminta disediakan 7,5% dari anggaran satelit monitoring yang dimenangkan PT Melati Technofo Indonesia. Permintaan tersebut lebih diketahui Eko Susilo Hadi. Detail proses permintaan Kepala Bakamla Arie Soedewo bisa dikonfirmasi lagi ke Eko.
"Karena soal yang permintaan yang disebutkan di dakwaan kemarin (dakwaan Adami) 7,5% oleh Kepala Bakamla itu asal muasalnya dari BAP (Berita Acara Pemeriksaan)-nya Eko. Iya (permintaan itu disampaikan ke Adami), permintaan (disampaikan) dari Pak Eko," tegasnya.
Dia membeberkan, realisasi permintaan 7,5% sehingga dikuburkan uang dalam bentuk tunai tidak hanya diutarakan Eko ke Adami. Tapi dari beberapa orang. Sebenarnya, tutur Setiyono, posisi Adami hanya memenuhi permintaan-permintaan mereka saja. Permintaan tersebut kemudian diteruskan Adami ke Fahmi.
Menurut Setiyono, fakta sidang akan mengungkap semua permintaan dan realisasi pemberian uang. "Nah biar fakta persidangan. Nanti siapa yang brengsek, siapa yang dibrengsekin nanti kita lihat fakta persidangan. Nanti di fakta persidangan akan ketahuan kok siapa yang master mind-nya yang brengsek, nanti ketahuan," tegasnya.
Setiyono memastikan, dalam proses persidangan kliennya akan terbuka dalam mengungkap permintaan 7,5% dan realisasi penyerahan uang suap. Dia belum mau mengungkap apakah benar dalam sadapan percakapan via telepon seluler (ponsel) pihak-pihak yang terkait termasuk Adami dan Fahmi ada pembicaraan 7,5% yang disandikan dengan 'uang komando'. Yang pasti semuanya bisa terungkap nanti.
"Perihal Kepala Bakamla itu coba diminta klarifikasi dari pihak Eko. Karena dia yang tahu (proses permintaan awal)," tandas Setiyono.
Diketahui, perkara Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta ditangani JPU pada KPK yang dipimpin Kiki Ahmad Yani. JPU menyebutkan, Hardy dan Adami bersama dengan Fahmi Darmawansyah (dilakukan penuntutan terpisah) telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut yakni, memberikan uang secara bertahap seluruhnya SGD209.500, USD78.500, dan Rp120 juta kepada empat penyelenggara negara.
Tujuannya untuk memenangkan PT Melati Technofo Indonesia (MTI) dalam pengadaan monitoring satelitte di Bakamla pada APBN Perubahan 2016 dengan anggaran Rp222.438.208.743. Uang suap tadi diberikan diberikan kepada empat pihak.
Pertama, Eko Susilo Hadi (tersangka) selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Bakamla dan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla Tahun Anggaran 2016 sebesar USD100.000 dan SGD78.500.
Kedua, Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo (tersangka di POM TNI) selaku Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kegiatan Peningkatan Pengelolaan Informasi Hukum dan Kerjasama Keamanan dan Keselamatan Laut Bakamla 2016 sebesar SGD5.000.
Ketiga, Nofel Hasan selaku Kepala Biro Perencanaan dan Informasi Bakamla sebesar SGD104.500. Keempat, Tri Nanda Wicaksono selaku Kasubag TU Sestama Bakamla sebesar Rp120 juta.
Suap bermula di antaranya dari kedatangan Ali Fahmi alas Fahmi Habsyi selaku Narasumber Bidang Perencanaan dan Anggaran Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo ke kantor PT Merial Esa, Jln Imam Bonjol Nomor 16, Jakarta Pusat pada Maret 2016. Ketika itu Ali bertemu dengan Fahmi Darmawansyah yang didampingi Adami.
Ali menawarkan kepada Fahmi Darmawansyah untuk 'main proyek' di Bakamla. Kalau bersedia maka Fahmi Darmawansyah harus mengikuti arahan Ali supaya dapat memenangkan pengadaan di Bakamla dengan syarat Fahmi Darmawansyah memberikan fee 15% dari nilai pengadaan. Ali kemudian bertemu dengan Adami dan Hardy di sebuah kamar di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan pada 1 Juli 2016 dan menerima Rp24 miliar hasil realisasi 6%.
Setelah PT Melati Technofo Indonesia ditetapkan sebagai pemenang lelang satelit monitoring, kemudian Oktober 2016, bertempat di ruangan Kepala Bakamla, dilakukan pertemuan antara Kepala Bakamla Laksmana Madya TNIArie Soedewo dan Eko Susilo Hadi membahas jatah 7,5% untuk Bakamla dari pengadaan satelit monitoring uang telah dimenangkan PT MTI.
Saat itu, Arie Soedewo menyampaikan dari jatah 15 % dari nilai pengadaan, untuk Bakamla mendapatkan jatah 7,5% dan akan diberikan terlebih dahulu sebesar 2%. Arie meminta Eko menghubungi Hardy dan Adami untuk menyampaikan jika pemberian sebesar 2% diberikan kepada Eko.
Berikutnya, sekitar 10 November 2016 Eko melaporkan hasil pertemuannya dengan Adami ke Kepala Bakamla Arie. Selanjutnya Arie menyampaikan kepada Eko untuk memberi Novel Hasan dan Bambang Udoyo masing-masing Rp1 miliar.
(kri)