Cahaya di Lorong Gelap
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
SUATU hari saya terhenyak melihat anak kecil terlahir dengan kebutaan. Begitu mengenal dunia, langsung dia sudah menapaki lorong gelap entah di mana ujungnya.
Cerita nestapa ini mudah sekali kita jumpai di sekeliling kita. Berapa banyak anak terlahir dan tumbuh dalam rumah tangga yang papa dan miskin.
Mereka terbentuk dalam budaya miskin, bagaikan berjalan merangkak menelusuri lorong gelap, menanti secercah cahaya kehidupan yang belum tahu kapan datangnya, sehingga muncul ungkapan populer, cahaya di lorong gelap.
Ini menegaskan bahwa perjalanan hidup seseorang tak selalu berada di atas jalan yang lapang, nyaman, dan terang. Di antara kita pasti memiliki pengalaman menapaki lorong gelap.
Bahkan tidak saja gelap, tapi ditambah lagi jalan terjal atau turun yang keduanya memerlukan ekstrastamina dan kehati-hatian karena jika terpeleset akan fatal akibatnya. Belum lagi jika lorong gelap itu terdapat banyak binatang berbisa seperti tergambar dalam adegan film First Blood yang dibintangi Sylvester Stallone.
Dalam situasi demikian, ketika melihat cahaya di ujung lorong maka hati langsung gembira. Semangat hidup naik. Optimisme muncul.
Dari pengalaman perjumpaan dengan sekian banyak teman, bahkan ada yang sengaja ingin bertemu untuk konsultasi, saya mendapatkan banyak cerita hidup tentang episode lorong gelap ini. Peristiwa ini dialami dalam rumah tangga, karier politik, pebisnis, birokrat, dan lainnya lagi.
Kita sering melihat sajian iklan yang serbaindah, glamor, seakan hidup mulus-mulus saja. Tetapi di bawah permukaan dan di sekitar kita, betapa banyak orang yang merasa tidak jelas masa depannya.
Ada sebuah keluarga yang sedang beranjak naik kehidupan ekonomi dan pendidikan anak-anaknya, tiba-tiba ayahnya yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga meninggal. Seketika terjadi perubahan drastis pada keluarga itu.
Anak-anaknya yang semula bermimpi indah menikmati dunia kampus, tiba-tiba mimpi indahnya terenggut. Begitu pun ibunya harus berjuang mencari pekerjaan yang mendatangkan uang sambil mengasuh anak-anaknya, suatu tuntutan baru yang amat berat dijalani.
Belum lama ini saya bertemu teman yang bekerja sebagai sopir pribadi dengan gaji jauh di bawah penghasilan sebelum dirinya terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) karena perusahaan tempat dia bekerja bangkrut. Istri dan anak-anaknya pun jadi berubah standar dan gaya hidupnya.
Yang juga menyentuh perasaan adalah banyaknya perceraian, sementara anak-anaknya masih kecil. Hati mereka pasti terluka. Yang paling mencolok adalah mereka yang pindah rumah ke penjara, disebabkan oleh satu dan lain hal.
Semua ini bagi yang mengalami, tentu merupakan ujian dan beban hidup yang tidak ringan. Jangankan mereka ikut memikirkan persoalan bangsa dan masyarakat, untuk memikirkan dan menyelesaikan problem diri dan keluarganya saja sudah berat.
Jika gelapnya malam, kita bisa menunggu datangnya cahaya matahari pagi dengan tidur. Namun, gelapnya kehidupan sangat beda seseorang menyikapinya.
Ketika jutaan orang tengah dirundung putus asa dan pesimisme menjalani hari ini dan menatap hari esok karena kemiskinan, di negeri ini sekelompok kecil di puncak piramida sosial tengah menikmati kue hasil kekayaan alam Indonesia dengan berlimpah.
Sementara itu, sekelompok politisi dan pejabat negara tengah asyik berpesta ria dari hasil korupsinya, menjarah uang rakyat. Jadi, ada yang merasa berada dalam lorong gelap kemiskinan dan kebodohan, ada yang terjerat dalam kegelapan nurani dan akal sehatnya. Keduanya membuat lumpuh bangsa dan negara ini untuk maju, menghidupkan dan menyehatkan jiwa dan raga.
Yang paling bahaya dan merugikan bangsa adalah mereka yang berpendidikan dan memiliki jabatan tinggi, namun hati dan pikirannya dirundung kegelapan. Hatinya tertutup (covered, kafir) dari cahaya ilahi dan dari sumber energi kebenaran sehingga menghancurkan dirinya dan bangsanya.
Padahal, mereka inilah yang mestinya bertugas menyalakan obor dan cahaya untuk mengusir kegelapan. Mereka inilah yang mestinya menata dan mengendalikan jalannya pemerintahan, agar rakyat yang terkurung kemiskinan dan kebodohan itu terbebaskan.
Namun, bagaimana bisa diharapkan membantu orang lain kalau menyelamatkan dirinya saja tidak mampu. Bagi orang beriman, sesusah apa pun kehidupan, tetap ada cahaya yang menyertai dan menerangi perjalanan hidupnya.
Allah Mahacahaya, Maha Pemberi Terang dan Harapan, baik di dunia maupun akhirat. Tanpa iman, terlalu gaduh dan tidak jelas lagi arahnya ke mana kaki ini akan melangkah.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
SUATU hari saya terhenyak melihat anak kecil terlahir dengan kebutaan. Begitu mengenal dunia, langsung dia sudah menapaki lorong gelap entah di mana ujungnya.
Cerita nestapa ini mudah sekali kita jumpai di sekeliling kita. Berapa banyak anak terlahir dan tumbuh dalam rumah tangga yang papa dan miskin.
Mereka terbentuk dalam budaya miskin, bagaikan berjalan merangkak menelusuri lorong gelap, menanti secercah cahaya kehidupan yang belum tahu kapan datangnya, sehingga muncul ungkapan populer, cahaya di lorong gelap.
Ini menegaskan bahwa perjalanan hidup seseorang tak selalu berada di atas jalan yang lapang, nyaman, dan terang. Di antara kita pasti memiliki pengalaman menapaki lorong gelap.
Bahkan tidak saja gelap, tapi ditambah lagi jalan terjal atau turun yang keduanya memerlukan ekstrastamina dan kehati-hatian karena jika terpeleset akan fatal akibatnya. Belum lagi jika lorong gelap itu terdapat banyak binatang berbisa seperti tergambar dalam adegan film First Blood yang dibintangi Sylvester Stallone.
Dalam situasi demikian, ketika melihat cahaya di ujung lorong maka hati langsung gembira. Semangat hidup naik. Optimisme muncul.
Dari pengalaman perjumpaan dengan sekian banyak teman, bahkan ada yang sengaja ingin bertemu untuk konsultasi, saya mendapatkan banyak cerita hidup tentang episode lorong gelap ini. Peristiwa ini dialami dalam rumah tangga, karier politik, pebisnis, birokrat, dan lainnya lagi.
Kita sering melihat sajian iklan yang serbaindah, glamor, seakan hidup mulus-mulus saja. Tetapi di bawah permukaan dan di sekitar kita, betapa banyak orang yang merasa tidak jelas masa depannya.
Ada sebuah keluarga yang sedang beranjak naik kehidupan ekonomi dan pendidikan anak-anaknya, tiba-tiba ayahnya yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga meninggal. Seketika terjadi perubahan drastis pada keluarga itu.
Anak-anaknya yang semula bermimpi indah menikmati dunia kampus, tiba-tiba mimpi indahnya terenggut. Begitu pun ibunya harus berjuang mencari pekerjaan yang mendatangkan uang sambil mengasuh anak-anaknya, suatu tuntutan baru yang amat berat dijalani.
Belum lama ini saya bertemu teman yang bekerja sebagai sopir pribadi dengan gaji jauh di bawah penghasilan sebelum dirinya terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) karena perusahaan tempat dia bekerja bangkrut. Istri dan anak-anaknya pun jadi berubah standar dan gaya hidupnya.
Yang juga menyentuh perasaan adalah banyaknya perceraian, sementara anak-anaknya masih kecil. Hati mereka pasti terluka. Yang paling mencolok adalah mereka yang pindah rumah ke penjara, disebabkan oleh satu dan lain hal.
Semua ini bagi yang mengalami, tentu merupakan ujian dan beban hidup yang tidak ringan. Jangankan mereka ikut memikirkan persoalan bangsa dan masyarakat, untuk memikirkan dan menyelesaikan problem diri dan keluarganya saja sudah berat.
Jika gelapnya malam, kita bisa menunggu datangnya cahaya matahari pagi dengan tidur. Namun, gelapnya kehidupan sangat beda seseorang menyikapinya.
Ketika jutaan orang tengah dirundung putus asa dan pesimisme menjalani hari ini dan menatap hari esok karena kemiskinan, di negeri ini sekelompok kecil di puncak piramida sosial tengah menikmati kue hasil kekayaan alam Indonesia dengan berlimpah.
Sementara itu, sekelompok politisi dan pejabat negara tengah asyik berpesta ria dari hasil korupsinya, menjarah uang rakyat. Jadi, ada yang merasa berada dalam lorong gelap kemiskinan dan kebodohan, ada yang terjerat dalam kegelapan nurani dan akal sehatnya. Keduanya membuat lumpuh bangsa dan negara ini untuk maju, menghidupkan dan menyehatkan jiwa dan raga.
Yang paling bahaya dan merugikan bangsa adalah mereka yang berpendidikan dan memiliki jabatan tinggi, namun hati dan pikirannya dirundung kegelapan. Hatinya tertutup (covered, kafir) dari cahaya ilahi dan dari sumber energi kebenaran sehingga menghancurkan dirinya dan bangsanya.
Padahal, mereka inilah yang mestinya bertugas menyalakan obor dan cahaya untuk mengusir kegelapan. Mereka inilah yang mestinya menata dan mengendalikan jalannya pemerintahan, agar rakyat yang terkurung kemiskinan dan kebodohan itu terbebaskan.
Namun, bagaimana bisa diharapkan membantu orang lain kalau menyelamatkan dirinya saja tidak mampu. Bagi orang beriman, sesusah apa pun kehidupan, tetap ada cahaya yang menyertai dan menerangi perjalanan hidupnya.
Allah Mahacahaya, Maha Pemberi Terang dan Harapan, baik di dunia maupun akhirat. Tanpa iman, terlalu gaduh dan tidak jelas lagi arahnya ke mana kaki ini akan melangkah.
(poe)