Kompetensi Polri Diakui Arab Saudi
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar,
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
ARAB Saudi tidak hanya telah membantu Indonesia meredam tumbuh-kembang radikalisme, tetapi juga nyata-nyata telah ikut memperkuat peran penegak hukum memerangi jaringan terorisme di dalam negeri. Inilah salah satu pesan moral terpenting yang begitu mudah untuk dipahami dari rangkaian kegiatan Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud di Indonesia.
"Tantangan yang kita hadapi, khususnya bagi umat Islam dan dunia secara umum, seperti fenomena terorisme, benturan peradaban (the clash of civilizations), tidak ada penghormatan terhadap kedaulatan negara, serta melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri telah mengharuskan kita untuk menyatukan barisan dalam menghadapi tantangan ini," begitu pesan utama dari pidato Raja Salman di DPR pada Kamis 2 Maret 2017.
Dari 11 nota kesepahaman yang telah ditandatangani Indonesia-Arab Saudi pada momentum kunjungan Raja Salman baru-baru ini, ada kesepakatan tentang perlu upaya atau langkah bersama menanggulangi radikalisme dan terorisme, serta meningkatkan peran Islam dalam mewujudkan perdamaian dunia. Seperti dijelaskan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dalam kesepakatan itu, Raja Salman menekan pentingnya mengedepankan Islam yang moderat.
Untuk mewujudkan perdamaian dan melindungi peradaban dunia, moderasi Islam harus lebih dikedepankan. Ada kalimat dalam nota kesepahaman RI-Arab Saudi yang menekankan pentingnya menjaga, memelihara, dan melindungi perbedaan atau keberagaman, termasuk perbedaan paham keagamaan.
Muatan utama dari pidato Raja Salman di DPR dan pesan-pesan moral dalam nota kesepahaman itu dengan sendirinya akan mampu meredam paham dan gerakan radikal yang dikhawatirkan telah tumbuh dan berkembang di Indonesia akhir-akhir ini.
Makna pesan ini tentu menjadi sangat istimewa dan strategis karena disuarakan oleh Raja Salman, sosok yang menjadi barometer bagi banyak masyarakat Indonesia, terlebih karena peran dan fungsinya sebagai penjaga dua kota suci, Mekkah dan Madinah.
Kepada masyarakat Indonesia, Raja Salman tak hanya berpesan melalui kata-kata, melainkan langsung membuktikannya dengan berbuat. Raja Salman menyediakan waktu sekitar satu jam untuk bertemu dengan 28 tokoh yang mewakili agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu.
Dia mendukung dialog berkelanjutan antarumat beragama demi memperkuat toleransi dan harmoni, sekaligus memerangi radikalisme dan ekstremisme. Tidak hanya pertemuan dengan tokoh lintas agama, Raja Salman dan delegasinya bahkan memilih berlibur di Bali, sebuah provinsi yang mayoritas warganya memeluk agama Hindu.
Pesan moral dan segala sesuatu yang diperbuat Raja Salman selama berada di Indonesia, cepat atau lambat, akan memperkecil ruang bagi tumbuh-kembang paham radikal dan kecenderungan ekstremisme atas nama apa pun, termasuk agama. Arab Saudi bahkan mengajak Indonesia bekerja sama untuk mencegah dan menghentikan radikalisme dan ekstremisme.
Ajakan itu tertuang dalam nota kesepahaman yang ditandatangani Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Kepala Kepolisian Kerajaan Arab Saudi Usman al Mughrij pada Rabu (1/3) di Istana Bogor, disaksikan langsung oleh Raja Salman dan Presiden Joko Widodo.
Kesepakatan kerja sama Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi itu mencakup belasan area dalam lingkung kejahatan lintas negara.
Antara lain kesepakatan bersinergi di bidang penanggulangan terorisme dan pendanaannya, pemberantasan narkoba, pemalsuan uang, pencurian dan penyelundupan senjata, amunisi, bahan peledak dan perdagangan gelapnya, penyerangan terhadap orang, kehormatan dan harga benda, pencucian uang, kejahatan terhadap negara, kejahatan terorganisasi, korupsi, pencurian bahan radioaktif, perdagangan orang, penyelundupan migran, hingga kejahatan siber.
Pengakuan dan Penghargaan
Khusus tentang kesepakatan penanggulangan terorisme dan pendanaannya, bisa disimpulkan bahwa Arab Saudi secara tidak langsung mengajak dan mengingatkan Indonesia tentang betapa seriusnya ancaman terorisme masa kini.
Kerja sama itu bahkan diyakini sebagai pilihan dan kehendak Raja Salman. Sebelum kesepakatan itu ditandatangani, Raja Salman juga telah mengutus Usman al Mughrij menemui Jenderal Tito di Jakarta pada Selasa 28 Februari 2017. Keduanya membahas strategi menangkal potensi ancaman terorisme.
Dari pertemuan itu, Indonesia dan Arab Saudi sepakat memerangi kejahatan lintas negara. Tetapi, prioritasnya adalah merespons terorisme masa kini.
Seperti dikemukakan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Osama Mohammad Abdullah Alshuaibi, yang terpenting adalah kesepakatan memerangi ISIS. Karena itu, Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi merumuskan strategi memerangi terorisme dan pendanaannya.
Pilihan Arab Saudi untuk menjadikan Polri sebagai mitra mencerminkan kepercayaan dan pengakuan akan kompetensi dan kualifikasi Polri memerangi terorisme.
Kerja sama Polri-Kepolisian Kerajaan Arab Saudi tampak jelas masuk dalam prioritas Raja Salman karena dokumen nota kesepahaman kepolisian dua negara itu termasuk dalam 11 nota kesepahaman yang sudah disiapkan untuk ditandatangani para pejabat dua negara.
Kesepakatan itu sangat penting dan strategis bagi dua negara sebab Indonesia terus dibayangi ancaman terorisme. Sedangkan Arab Saudi juga pernah menjadi target serangan teroris sebagaimana tercermin dari peristiwa tiga serangan bom bunuh diri pada Juli 2016. Salah satunya terjadi di dekat Masjid Nabawi, Madinah.
Alasan serta pertimbangan di balik kesepakatan Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi ini diharapkan bisa menginspirasi DPR dalam merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebab Arab Saudi telah mengingatkan betapa seriusnya ancaman terorisme masa kini.
Selain itu, dengan menjadikan Polri sebagai mitra, Arab Saudi juga ingin menegaskan bahwa komunitas internasional sangat mengharapkan peran signifikan Indonesia dalam merespons jaringan ISIS. Alasan utamanya, Polri memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk pekerjaan itu.
Dengan begitu, cukup alasan jika revisi UU pemberantasan terorisme memberi akses bagi perluasan wewenang dan keleluasaan negara menindak siapa saja yang terindikasi sebagai teroris. Negara butuh wewenang besar dan keleluasaan karena ancaman terorisme akan selalu ada untuk rentang waktu yang sulit diprediksi.
Lagi pula, teroris masa kini terus mengembangkan kemampuan sejalan dengan perkembangan teknologi modern serta mampu membentuk sindikasi melalui bentang jaringan di berbagai negara. Untuk mengantisipasi masa depan ancaman terorisme itu, Indonesia harus terus memperkuat unit-unit antiteror seperti Densus 88.
Ada catatan penting yang patut digarisbawahi pemerintah, DPR, dan semua komponen masyarakat. Pertama, sangat jelas bahwa Arab Saudi memperhatikan dengan seksama langkah-langkah Indonesia dalam merespons ancaman terorisme.
Hal ini tercermin dari pernyataan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Alshuaibi. Dalam wawancara dengan sebuah kantor berita, Dubes Alshuaibi mengatakan, "Kami tahu, Indonesia telah menderita akibat pengeboman dan terorisme di sini."
Alshuaibi tentu saja mengacu pada rentetan serangan teroris sejak ledakan bom di Bali pada 2002 hingga ledakan bom di Sarinah, Jakarta, Januari 2016. Alshuaibi kemudian mengisyaratkan urgensi kerja sama RI dan Arab Saudi. "Kami akan bekerja sama dengan Indonesia dalam bidang ini. Kita bisa bertukar data dan bertukar pengalaman dan kita bisa mengalahkan orang-orang ini (ISIS)," kata dia.
Catatan kedua adalah kearifan Raja Salman yang sangat khusus, yakni bagi keluarga dan orang tua dari anggota Densus 88 Antiteror Mabes Polri yang terluka atau gugur saat bertugas. Kepada mereka, Raja Salman memberi penghargaan berupa naik haji gratis.
Bagi anggota Densus 88 yang meninggal, penghargaan dari Raja Salman itu akan diberikan kepada ahli waris, orang tua, atau keluarganya. Dalam program ini, sudah disepakati bahwa per tahun akan diberangkatkan lima orang untuk naik haji. Menurut catatan Polri, anggota Densus 88 yang terluka dan meninggal saat menjalankan tugas sekitar 70 orang.
Jadi, bukan hanya kepercayaan dan pengakuan akan kompetensi Polri dalam memerani terorisme, Arab Saudi bahkan memberi penghargaan kepada prajurit Polri atas keberanian dan pengorbanan mereka dalam perang melawan terorisme.
Ketua Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar,
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
ARAB Saudi tidak hanya telah membantu Indonesia meredam tumbuh-kembang radikalisme, tetapi juga nyata-nyata telah ikut memperkuat peran penegak hukum memerangi jaringan terorisme di dalam negeri. Inilah salah satu pesan moral terpenting yang begitu mudah untuk dipahami dari rangkaian kegiatan Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud di Indonesia.
"Tantangan yang kita hadapi, khususnya bagi umat Islam dan dunia secara umum, seperti fenomena terorisme, benturan peradaban (the clash of civilizations), tidak ada penghormatan terhadap kedaulatan negara, serta melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri telah mengharuskan kita untuk menyatukan barisan dalam menghadapi tantangan ini," begitu pesan utama dari pidato Raja Salman di DPR pada Kamis 2 Maret 2017.
Dari 11 nota kesepahaman yang telah ditandatangani Indonesia-Arab Saudi pada momentum kunjungan Raja Salman baru-baru ini, ada kesepakatan tentang perlu upaya atau langkah bersama menanggulangi radikalisme dan terorisme, serta meningkatkan peran Islam dalam mewujudkan perdamaian dunia. Seperti dijelaskan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dalam kesepakatan itu, Raja Salman menekan pentingnya mengedepankan Islam yang moderat.
Untuk mewujudkan perdamaian dan melindungi peradaban dunia, moderasi Islam harus lebih dikedepankan. Ada kalimat dalam nota kesepahaman RI-Arab Saudi yang menekankan pentingnya menjaga, memelihara, dan melindungi perbedaan atau keberagaman, termasuk perbedaan paham keagamaan.
Muatan utama dari pidato Raja Salman di DPR dan pesan-pesan moral dalam nota kesepahaman itu dengan sendirinya akan mampu meredam paham dan gerakan radikal yang dikhawatirkan telah tumbuh dan berkembang di Indonesia akhir-akhir ini.
Makna pesan ini tentu menjadi sangat istimewa dan strategis karena disuarakan oleh Raja Salman, sosok yang menjadi barometer bagi banyak masyarakat Indonesia, terlebih karena peran dan fungsinya sebagai penjaga dua kota suci, Mekkah dan Madinah.
Kepada masyarakat Indonesia, Raja Salman tak hanya berpesan melalui kata-kata, melainkan langsung membuktikannya dengan berbuat. Raja Salman menyediakan waktu sekitar satu jam untuk bertemu dengan 28 tokoh yang mewakili agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu.
Dia mendukung dialog berkelanjutan antarumat beragama demi memperkuat toleransi dan harmoni, sekaligus memerangi radikalisme dan ekstremisme. Tidak hanya pertemuan dengan tokoh lintas agama, Raja Salman dan delegasinya bahkan memilih berlibur di Bali, sebuah provinsi yang mayoritas warganya memeluk agama Hindu.
Pesan moral dan segala sesuatu yang diperbuat Raja Salman selama berada di Indonesia, cepat atau lambat, akan memperkecil ruang bagi tumbuh-kembang paham radikal dan kecenderungan ekstremisme atas nama apa pun, termasuk agama. Arab Saudi bahkan mengajak Indonesia bekerja sama untuk mencegah dan menghentikan radikalisme dan ekstremisme.
Ajakan itu tertuang dalam nota kesepahaman yang ditandatangani Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Kepala Kepolisian Kerajaan Arab Saudi Usman al Mughrij pada Rabu (1/3) di Istana Bogor, disaksikan langsung oleh Raja Salman dan Presiden Joko Widodo.
Kesepakatan kerja sama Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi itu mencakup belasan area dalam lingkung kejahatan lintas negara.
Antara lain kesepakatan bersinergi di bidang penanggulangan terorisme dan pendanaannya, pemberantasan narkoba, pemalsuan uang, pencurian dan penyelundupan senjata, amunisi, bahan peledak dan perdagangan gelapnya, penyerangan terhadap orang, kehormatan dan harga benda, pencucian uang, kejahatan terhadap negara, kejahatan terorganisasi, korupsi, pencurian bahan radioaktif, perdagangan orang, penyelundupan migran, hingga kejahatan siber.
Pengakuan dan Penghargaan
Khusus tentang kesepakatan penanggulangan terorisme dan pendanaannya, bisa disimpulkan bahwa Arab Saudi secara tidak langsung mengajak dan mengingatkan Indonesia tentang betapa seriusnya ancaman terorisme masa kini.
Kerja sama itu bahkan diyakini sebagai pilihan dan kehendak Raja Salman. Sebelum kesepakatan itu ditandatangani, Raja Salman juga telah mengutus Usman al Mughrij menemui Jenderal Tito di Jakarta pada Selasa 28 Februari 2017. Keduanya membahas strategi menangkal potensi ancaman terorisme.
Dari pertemuan itu, Indonesia dan Arab Saudi sepakat memerangi kejahatan lintas negara. Tetapi, prioritasnya adalah merespons terorisme masa kini.
Seperti dikemukakan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Osama Mohammad Abdullah Alshuaibi, yang terpenting adalah kesepakatan memerangi ISIS. Karena itu, Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi merumuskan strategi memerangi terorisme dan pendanaannya.
Pilihan Arab Saudi untuk menjadikan Polri sebagai mitra mencerminkan kepercayaan dan pengakuan akan kompetensi dan kualifikasi Polri memerangi terorisme.
Kerja sama Polri-Kepolisian Kerajaan Arab Saudi tampak jelas masuk dalam prioritas Raja Salman karena dokumen nota kesepahaman kepolisian dua negara itu termasuk dalam 11 nota kesepahaman yang sudah disiapkan untuk ditandatangani para pejabat dua negara.
Kesepakatan itu sangat penting dan strategis bagi dua negara sebab Indonesia terus dibayangi ancaman terorisme. Sedangkan Arab Saudi juga pernah menjadi target serangan teroris sebagaimana tercermin dari peristiwa tiga serangan bom bunuh diri pada Juli 2016. Salah satunya terjadi di dekat Masjid Nabawi, Madinah.
Alasan serta pertimbangan di balik kesepakatan Polri dan Kepolisian Kerajaan Arab Saudi ini diharapkan bisa menginspirasi DPR dalam merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebab Arab Saudi telah mengingatkan betapa seriusnya ancaman terorisme masa kini.
Selain itu, dengan menjadikan Polri sebagai mitra, Arab Saudi juga ingin menegaskan bahwa komunitas internasional sangat mengharapkan peran signifikan Indonesia dalam merespons jaringan ISIS. Alasan utamanya, Polri memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk pekerjaan itu.
Dengan begitu, cukup alasan jika revisi UU pemberantasan terorisme memberi akses bagi perluasan wewenang dan keleluasaan negara menindak siapa saja yang terindikasi sebagai teroris. Negara butuh wewenang besar dan keleluasaan karena ancaman terorisme akan selalu ada untuk rentang waktu yang sulit diprediksi.
Lagi pula, teroris masa kini terus mengembangkan kemampuan sejalan dengan perkembangan teknologi modern serta mampu membentuk sindikasi melalui bentang jaringan di berbagai negara. Untuk mengantisipasi masa depan ancaman terorisme itu, Indonesia harus terus memperkuat unit-unit antiteror seperti Densus 88.
Ada catatan penting yang patut digarisbawahi pemerintah, DPR, dan semua komponen masyarakat. Pertama, sangat jelas bahwa Arab Saudi memperhatikan dengan seksama langkah-langkah Indonesia dalam merespons ancaman terorisme.
Hal ini tercermin dari pernyataan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Alshuaibi. Dalam wawancara dengan sebuah kantor berita, Dubes Alshuaibi mengatakan, "Kami tahu, Indonesia telah menderita akibat pengeboman dan terorisme di sini."
Alshuaibi tentu saja mengacu pada rentetan serangan teroris sejak ledakan bom di Bali pada 2002 hingga ledakan bom di Sarinah, Jakarta, Januari 2016. Alshuaibi kemudian mengisyaratkan urgensi kerja sama RI dan Arab Saudi. "Kami akan bekerja sama dengan Indonesia dalam bidang ini. Kita bisa bertukar data dan bertukar pengalaman dan kita bisa mengalahkan orang-orang ini (ISIS)," kata dia.
Catatan kedua adalah kearifan Raja Salman yang sangat khusus, yakni bagi keluarga dan orang tua dari anggota Densus 88 Antiteror Mabes Polri yang terluka atau gugur saat bertugas. Kepada mereka, Raja Salman memberi penghargaan berupa naik haji gratis.
Bagi anggota Densus 88 yang meninggal, penghargaan dari Raja Salman itu akan diberikan kepada ahli waris, orang tua, atau keluarganya. Dalam program ini, sudah disepakati bahwa per tahun akan diberangkatkan lima orang untuk naik haji. Menurut catatan Polri, anggota Densus 88 yang terluka dan meninggal saat menjalankan tugas sekitar 70 orang.
Jadi, bukan hanya kepercayaan dan pengakuan akan kompetensi Polri dalam memerani terorisme, Arab Saudi bahkan memberi penghargaan kepada prajurit Polri atas keberanian dan pengorbanan mereka dalam perang melawan terorisme.
(poe)