Merawat Asa Kejayaan Indonesia
A
A
A
PROF DR IR MOHAMMAD NUH DEA
Guru Besar ITS Surabaya
Menarik untuk disimak laporan Price Water Coopers(PwC) yang dipublikasikan Februari 2017 dengan judul The Long View: How Will The Global Economic Order Change By 2050.
Kalau kita baca dengan seksama, menjadikan kita semakin optimistis bahwa Indonesia akan menjadi bangsa dan negara besar, baik dalam perspektif ekonomi, demografi, demokrasi, sosial, maupun politik. Laporan serupa juga pernah disampaikan Mc Kinsey Global Institute 2012. Namun, yang menarik adalah jauh sebelumnya, yaitu pada 2007, Yayasan Indonesia Forum (YIF) yang dipimpin Chairul Tanjung, Si Anak Singkong, telah mengeluarkan laporan tentang Indonesia 2030.
Intinya sama, yaitu optimisme akan kejayaan Indonesia. Laporan YIF tersebut dipresentasikan di Istana Negara awal 2007, yang dihadiri para akademisi (rektor beberapa perguruan tinggi), para peneliti, praktisi industri, dan pebisnis. Waktu itu banyak kalangan akademisi yang skeptis (tidak percaya) terhadap studi masa depan Indonesia yang disampaikan YIF tersebut, termasuk saya (waktu itu sebagai rektor ITS) dan kawan saya, rektor ITB (Pak Djoko Santoso). Bukan tanpa alasan bagi mereka yang skeptis, tentu ada banyak alasan. Tahun 2007 masih merupakan tahun euforia setelah kita bisa mengatasi berbagai persoalan yang sangat rumit. Baru sepuluh tahun kita lalui lembaran hitam sejarah perjalanan Indonesia, peristiwa 1998-1999, yang dilanjutkan dengan konsolidasisosial, politik, dan demokrasi.
Bencana alam tsunami (2004), krisis global masih menghantuinya, dan yang sangat mengkhawatirkan adalah budaya keberlanjutan (sustainability culture) yang belum terbangun dengan baik. Alergi psikososial dan psikopolitik terhadap apa yang dilakukan pemerintahan sebelumnya masih menjadi bagian dari kebiasaan pemerintah baru. Di samping itu, seluruh estafet kepemimpinan nasional berada dalam suasana kegaduhan, tidak layaknya seperti lomba lari estafet. Keikhlasan dan kesadaran bahwa tongkat kepemimpinan harus diserahkan ke penerusnya yang ditandai dengan serah terima jabatan dan dalam suasana penuh keharmonisan dan kedewasaan belum pernah terjadi.
Namun, alhamdulillah, untuk pertama kalinya, pada 2014 estafet kepemimpinan nasional telah berlangsung dengan penuh keharmonisan dan kedewasaan. Sebuah tradisi baru yang harus dirawat dan dilanggengkan. Terhadap studi YIF dengan analisis yang sangat mendalam serta melakukan ekstrapolasi angka-angka sangat bisa dipahami tingkat kepastiannya. Namun, kemampuan mengelola ketidakpastian baik yang bermula dari kemampuan mengelola sistem kebangsaan dan kenegaraan dengan segala derivasinya dan pengaruh serta tekanan lingkungan global masih menjadi kendala tersendiri.
Itulah beberapa alasan mengapa muncul skeptis saat itu. Waktu terus berjalan, capaian demi capaian, akhirnya apa yang diproyeksikan oleh YIF bahwa Indonesia akan menjadi negara besar dan berkesejahteraan pada 2030, insya Allah, akan menjadi kenyataan. Tentu dengan syarat, yaitu berkemampuan dalam mengelola faktor ketidakpastian (uncertainty factors) dan tumbuhnya budaya keberlanjutan, terhindar dari alergi apa yang telah dilakukan pemerintahan sebelumnya. Dalam kaidah fikih yaitu mempertahankan apa yang sudah ada yang masih baik dan mencari yang baru yang lebih baik (al muhafadhotu al muhafadhotu ala alqodimi assholih wal akhdu bil jadidi al ashlah) yang dikenal sebagai prinsip keberlanjutan (sustainability) tetap dijadikan sebagai prinsip.
Kemunculan studi yang dilakukan oleh lembaga internasional seperti Mc Kinsey Global Institute (2012) dan PwC (2017), dan senantiasa memohon pertolongan Allah, semakin menambah kepercayaan dan optimisme akan kejayaan Indonesia. Kejayaan Indonesia bukanlah sebuah fatamorgana, tetapi cita mulia yang harus diperjuangkan.
Kesempatan sangat terbuka dan modal yang kita miliki juga luar biasa, terutama populasi usia produktif sumber daya manusia (bonus demografi). Semua telah memahami bahwa manusia bagi suatu bangsa merupakan kapital abadi di mana sikap (attitude), keterampilan (skills), dan pengetahuan (knowledge) yang melekat pada setiap individu memungkinkan untuk menghasilkan atau meningkatkan nilai ekonomi dan kualitas hidupnya.
Human capital bukan semata untuk ihwal yang terkait produktivitas yang bernilai ekonomi, tetapi juga untuk meningkatkan fungsi sosial, politik, dan institusi kemasyarakatan (civic institutions). Jadi, pembangunan yang berorientasi pada manusia menjadi keniscayaan dan prioritas. Potret kualitas sumber daya manusia salah satunya disajikan dalam bentuk human capital index (HCI) yang memiliki korelasi positif dengan human development index (HDI), pendapatan GDP per kapita, dan global competitiveness index.
HCI memiliki parameter lebih lengkap dibanding HDI. Setiap tahun World Economic Forum (WEF) mengeluarkan laporan tentang HCI berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam HCI, indeksnya dibuat dalam rentang usia: di bawah 15 tahun, antara 15-24 tahun, 25- 54 tahun, 55-64 tahun, dan usia di atas 65 tahun. Peringkat indeks kumulatif 2016 mengalami penurunan yaitu dari 66 dengan nilai 66.99 (2015) turun menjadi 72 dengan nilai 67.61 (2016). Memang, nilai nominal mengalami kenaikan, namun peringkatnya justru mengalami penurunan. Artinya, negara-negara lain memiliki perbaikan lebih cepat.
Sebagai pembanding, Malaysia di peringkat ke-42 dan Filipina ke-49. Meski demikian, keasaan untuk menjadikan kejayaan Indonesia 2045 (seratus tahun Indonesia merdeka) harus tetap kita jaga. Berhemat energi kebangsaan dan fokus pada cita-cita pendiri bangsa. Musuh utama dan musuh bersama kita adalah kemiskinan, ketidaktahuan (kebodohan), keterbelakangan peradaban, dan ketidakadilan. Kita masih punya kesempatan dan punya modal, khususnya human capital untuk rentang usia di bawah 15 tahun yang memiliki indeks 84.04 (2016), di atas rata-rata dunia dan jumlahnya hampir 30% dari jumlah penduduk Indonesia.
Bangsa yang bermasa depan cerah, sepanjang kita tidak salah urus, terutama generasi berusia di bawah 15 tahun. Pendidikan dan kesehatan yang inklusif, berkeadilan, dan berkualitas menjadi kata kunci dalam mengantarkan kejayaan Indonesia 2045. Insya Allah.
Guru Besar ITS Surabaya
Menarik untuk disimak laporan Price Water Coopers(PwC) yang dipublikasikan Februari 2017 dengan judul The Long View: How Will The Global Economic Order Change By 2050.
Kalau kita baca dengan seksama, menjadikan kita semakin optimistis bahwa Indonesia akan menjadi bangsa dan negara besar, baik dalam perspektif ekonomi, demografi, demokrasi, sosial, maupun politik. Laporan serupa juga pernah disampaikan Mc Kinsey Global Institute 2012. Namun, yang menarik adalah jauh sebelumnya, yaitu pada 2007, Yayasan Indonesia Forum (YIF) yang dipimpin Chairul Tanjung, Si Anak Singkong, telah mengeluarkan laporan tentang Indonesia 2030.
Intinya sama, yaitu optimisme akan kejayaan Indonesia. Laporan YIF tersebut dipresentasikan di Istana Negara awal 2007, yang dihadiri para akademisi (rektor beberapa perguruan tinggi), para peneliti, praktisi industri, dan pebisnis. Waktu itu banyak kalangan akademisi yang skeptis (tidak percaya) terhadap studi masa depan Indonesia yang disampaikan YIF tersebut, termasuk saya (waktu itu sebagai rektor ITS) dan kawan saya, rektor ITB (Pak Djoko Santoso). Bukan tanpa alasan bagi mereka yang skeptis, tentu ada banyak alasan. Tahun 2007 masih merupakan tahun euforia setelah kita bisa mengatasi berbagai persoalan yang sangat rumit. Baru sepuluh tahun kita lalui lembaran hitam sejarah perjalanan Indonesia, peristiwa 1998-1999, yang dilanjutkan dengan konsolidasisosial, politik, dan demokrasi.
Bencana alam tsunami (2004), krisis global masih menghantuinya, dan yang sangat mengkhawatirkan adalah budaya keberlanjutan (sustainability culture) yang belum terbangun dengan baik. Alergi psikososial dan psikopolitik terhadap apa yang dilakukan pemerintahan sebelumnya masih menjadi bagian dari kebiasaan pemerintah baru. Di samping itu, seluruh estafet kepemimpinan nasional berada dalam suasana kegaduhan, tidak layaknya seperti lomba lari estafet. Keikhlasan dan kesadaran bahwa tongkat kepemimpinan harus diserahkan ke penerusnya yang ditandai dengan serah terima jabatan dan dalam suasana penuh keharmonisan dan kedewasaan belum pernah terjadi.
Namun, alhamdulillah, untuk pertama kalinya, pada 2014 estafet kepemimpinan nasional telah berlangsung dengan penuh keharmonisan dan kedewasaan. Sebuah tradisi baru yang harus dirawat dan dilanggengkan. Terhadap studi YIF dengan analisis yang sangat mendalam serta melakukan ekstrapolasi angka-angka sangat bisa dipahami tingkat kepastiannya. Namun, kemampuan mengelola ketidakpastian baik yang bermula dari kemampuan mengelola sistem kebangsaan dan kenegaraan dengan segala derivasinya dan pengaruh serta tekanan lingkungan global masih menjadi kendala tersendiri.
Itulah beberapa alasan mengapa muncul skeptis saat itu. Waktu terus berjalan, capaian demi capaian, akhirnya apa yang diproyeksikan oleh YIF bahwa Indonesia akan menjadi negara besar dan berkesejahteraan pada 2030, insya Allah, akan menjadi kenyataan. Tentu dengan syarat, yaitu berkemampuan dalam mengelola faktor ketidakpastian (uncertainty factors) dan tumbuhnya budaya keberlanjutan, terhindar dari alergi apa yang telah dilakukan pemerintahan sebelumnya. Dalam kaidah fikih yaitu mempertahankan apa yang sudah ada yang masih baik dan mencari yang baru yang lebih baik (al muhafadhotu al muhafadhotu ala alqodimi assholih wal akhdu bil jadidi al ashlah) yang dikenal sebagai prinsip keberlanjutan (sustainability) tetap dijadikan sebagai prinsip.
Kemunculan studi yang dilakukan oleh lembaga internasional seperti Mc Kinsey Global Institute (2012) dan PwC (2017), dan senantiasa memohon pertolongan Allah, semakin menambah kepercayaan dan optimisme akan kejayaan Indonesia. Kejayaan Indonesia bukanlah sebuah fatamorgana, tetapi cita mulia yang harus diperjuangkan.
Kesempatan sangat terbuka dan modal yang kita miliki juga luar biasa, terutama populasi usia produktif sumber daya manusia (bonus demografi). Semua telah memahami bahwa manusia bagi suatu bangsa merupakan kapital abadi di mana sikap (attitude), keterampilan (skills), dan pengetahuan (knowledge) yang melekat pada setiap individu memungkinkan untuk menghasilkan atau meningkatkan nilai ekonomi dan kualitas hidupnya.
Human capital bukan semata untuk ihwal yang terkait produktivitas yang bernilai ekonomi, tetapi juga untuk meningkatkan fungsi sosial, politik, dan institusi kemasyarakatan (civic institutions). Jadi, pembangunan yang berorientasi pada manusia menjadi keniscayaan dan prioritas. Potret kualitas sumber daya manusia salah satunya disajikan dalam bentuk human capital index (HCI) yang memiliki korelasi positif dengan human development index (HDI), pendapatan GDP per kapita, dan global competitiveness index.
HCI memiliki parameter lebih lengkap dibanding HDI. Setiap tahun World Economic Forum (WEF) mengeluarkan laporan tentang HCI berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam HCI, indeksnya dibuat dalam rentang usia: di bawah 15 tahun, antara 15-24 tahun, 25- 54 tahun, 55-64 tahun, dan usia di atas 65 tahun. Peringkat indeks kumulatif 2016 mengalami penurunan yaitu dari 66 dengan nilai 66.99 (2015) turun menjadi 72 dengan nilai 67.61 (2016). Memang, nilai nominal mengalami kenaikan, namun peringkatnya justru mengalami penurunan. Artinya, negara-negara lain memiliki perbaikan lebih cepat.
Sebagai pembanding, Malaysia di peringkat ke-42 dan Filipina ke-49. Meski demikian, keasaan untuk menjadikan kejayaan Indonesia 2045 (seratus tahun Indonesia merdeka) harus tetap kita jaga. Berhemat energi kebangsaan dan fokus pada cita-cita pendiri bangsa. Musuh utama dan musuh bersama kita adalah kemiskinan, ketidaktahuan (kebodohan), keterbelakangan peradaban, dan ketidakadilan. Kita masih punya kesempatan dan punya modal, khususnya human capital untuk rentang usia di bawah 15 tahun yang memiliki indeks 84.04 (2016), di atas rata-rata dunia dan jumlahnya hampir 30% dari jumlah penduduk Indonesia.
Bangsa yang bermasa depan cerah, sepanjang kita tidak salah urus, terutama generasi berusia di bawah 15 tahun. Pendidikan dan kesehatan yang inklusif, berkeadilan, dan berkualitas menjadi kata kunci dalam mengantarkan kejayaan Indonesia 2045. Insya Allah.
(zik)