Pengamat: Negara Tidak Berdaya Hadapi Ahok
A
A
A
JAKARTA - Belum dinonaktifkannya Basuki Tjahaja Purnama dari jabatan Gubernur DKI Jakarta yang sudah berstatus terdakwa perkara penistaan agama dinilai sebagai preseden buruk.
Keputusan pemerintah yang justru mengaktifkan kembali Ahok menjadi gubernur setelah cuti kampanye menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada mantan Bupati Bangka Belitung itu.
Pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar menilai secara empiris, pemerintah telah menunjukkan keberpihakan kepada Ahok yang seharusnya diberhentikan sementara dari jabatan Gubernur DKI Jakarta karena sudah berstatus terdakwa.
"Saya kira secara empiris terbukti memang itu preseden buruk dalam arti negara menjadi alat bagi kekuasaan satu pihak kemudian menguntungkan pihak lain. Negara tidak berdaya (menghadapi) kuasa politik Ahok," tutur Idil saat dihubungi, Rabu 22 Januari 2017.
Idil juga mengatakan, persoalan ini berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menilai desakan kalangan anggota DPR agar pemerintah menonaktifkan Ahok ternyata tidak berpengaruh.
Hal tersebut memicu anggota DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki kebijakan pemerintah mengaktifkan kembali Ahok. "Makanya ada empat fraksi mengajukan hak angket," ucapnya saat dihubungi. (Baca Juga: Mendagri: Saya Bemperi Pak Jokowi, Bukan Ahok )
Menurut dia, langkah MA yang tidak mengeluarkan fatwa yang diminta Mendagri sudah benar.Sebab, kata dia, keputusan pemerintah tidak menonaktifkan Ahok mengada-ada.
"Para Hakim Agung tidak kalah pintar. Masalah ini dikembalikan kepada pemerintah. Sekarang pemerintah bingung menyikapinya, minta fatwa MA tetapi MA mengembalikan kepada pemerintah untuk memutuskan. Masalah ini masuk ranah politik. Karena dianggap rawan, MA tidak mau terlibat. Berkali-kali MA tidak mau seperti itu, seperti pilkada, MA maunya di MK," ungkapnya.
Dia juga mengatakan peristiwa ini merupakan preseden buruk bagi Indonesia karena dengan mudahnya aparatur negara atau pemerintah melanggar undang-undan hanya demi kepentingan seseorang.
"Tentunya akan timbul ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum kita," ucapnya.
Keputusan pemerintah yang justru mengaktifkan kembali Ahok menjadi gubernur setelah cuti kampanye menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada mantan Bupati Bangka Belitung itu.
Pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar menilai secara empiris, pemerintah telah menunjukkan keberpihakan kepada Ahok yang seharusnya diberhentikan sementara dari jabatan Gubernur DKI Jakarta karena sudah berstatus terdakwa.
"Saya kira secara empiris terbukti memang itu preseden buruk dalam arti negara menjadi alat bagi kekuasaan satu pihak kemudian menguntungkan pihak lain. Negara tidak berdaya (menghadapi) kuasa politik Ahok," tutur Idil saat dihubungi, Rabu 22 Januari 2017.
Idil juga mengatakan, persoalan ini berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menilai desakan kalangan anggota DPR agar pemerintah menonaktifkan Ahok ternyata tidak berpengaruh.
Hal tersebut memicu anggota DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki kebijakan pemerintah mengaktifkan kembali Ahok. "Makanya ada empat fraksi mengajukan hak angket," ucapnya saat dihubungi. (Baca Juga: Mendagri: Saya Bemperi Pak Jokowi, Bukan Ahok )
Menurut dia, langkah MA yang tidak mengeluarkan fatwa yang diminta Mendagri sudah benar.Sebab, kata dia, keputusan pemerintah tidak menonaktifkan Ahok mengada-ada.
"Para Hakim Agung tidak kalah pintar. Masalah ini dikembalikan kepada pemerintah. Sekarang pemerintah bingung menyikapinya, minta fatwa MA tetapi MA mengembalikan kepada pemerintah untuk memutuskan. Masalah ini masuk ranah politik. Karena dianggap rawan, MA tidak mau terlibat. Berkali-kali MA tidak mau seperti itu, seperti pilkada, MA maunya di MK," ungkapnya.
Dia juga mengatakan peristiwa ini merupakan preseden buruk bagi Indonesia karena dengan mudahnya aparatur negara atau pemerintah melanggar undang-undan hanya demi kepentingan seseorang.
"Tentunya akan timbul ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum kita," ucapnya.
(dam)