Ketua MK Dipanggil KPK
A
A
A
MOH MAHFUD MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN):
Ketua MK-RI 2008-2013
SALAH satu berita penting yang menyebar luas sehari setelah pilkada serentak, 16 Februari 2017 adalah berita, “Ketua MK Dipanggil KPK” terkait kasus Patrialis Akbar.
Sontak, pemanggilan Ketua MahkamahKonstitusi( MK) olehKomisiPemberantasan Korupsi (KPK) tersebut memancing banyak komentar terutama di media sosial. Sangat banyak netizen yang bukan hanya memberi mention, tetapi juga bertanya langsung ke alamat akun saya terkait dengan pemanggilan ketua MK tersebut.
Pertanyaannya beraneka ragam, tetapi sangat banyak yang menyatakan dan menanyakan kemungkinan Ketua MK Arief Hidayat terlibat dalam kasus korupsi penyuapan yang menimpa Patrialis Akbar. “Untuk apa dipanggil KPK kalau tidak terlibat? Vonis MK itu dibuat secara kolektif di antara para hakim, tak mungkin Patrialis bekerja sendiri, pasti memengaruhi hakim-hakim lain agar membuat vonis sesuai dengan keinginan Patrialis.
Lihatlah, hakim-hakim MK lainnya juga sudah dipanggil oleh KPK”. Demikian celotehan- celotehan netizen. Di kalangan masyarakat masih banyak kesalahpahaman atas istilahistilah standar di dalam hukum, sehingga kalau ada berita “dipanggil” oleh KPK, kemudian dianggap terlibat dalam satu kasus.
Padahal orang yang dipanggil ke KPK itu kemungkinannya ada dua yakni “diperiksa” atau “dimintai keterangan”. Meskipun secara teknis sama, kedua istilah terbut mempunyai latar belakang dan tujuan yang berbeda. Orang yang diperiksa biasanya didasarkan pada dugaan keterlibatan dalam kasus yang sedang ditangani oleh KPK, misalnya, diduga ikut serta melakukan, mendapat bagian, membiarkan suatu kejahatan.
Sementara orang yang dimintai keterangan biasanya hanya terkait dengan kelengkapan informasi yang dibutuhkan penyidik sesuai dengan posisi dan pengetahuan orang yang dimintai keterangan. Dalam hal pemanggilan Ketua MK Arief Hidayat oleh KPK tampak jelas bahwa yang bersangkutan dipanggil hanya untuk dimintai keterangan terkait dengan jabatannya.
Dia bukan diperiksa, tetapi dimintai keterangan. Dalam kasus Akil Mochtar saya pun pernah dipanggil oleh KPK untuk dimintai keterangan tetapi bukan diperiksa. Yang ditanyakan oleh KPK hanyalah apa kenal dengan tersangka, bagaimana cara pembagian tugas penanganan perkara, cara pengambilan putusan, siapa saja yang ikut dalam rapat permusyawaratan hakim, siapa yang membuat draf vonis serta bagaimana menyimpannya, dan sebagainya.
Di tengah-tengah masyarakat kerap muncul gosip yang berlebihan, kalau dipanggil KPK lantas diisukan terlibat korupsi. Ketika saya dimintai keterangan oleh KPK dalam kasus Akil Mochtar muncul semacam gosip. “Loh, kok Pak Mahfud selesai hanya 30 menit, sedangkan yang lain kalau diperiksa bisa lebih dari 7 jam? Janganjangan ini ada permainan,” demikian gosip yang ditiupkan.
Ya, iyalah, saya kan hanya ditanya cara menentukan penanganan perkara, cara memimpin sidang-sidang, dan cara menjaga kerahasiaan keputusan Rapat Permusyawaratan Hakim. Untuk apa berlama-lama? 30 menit itu pun sudah termasuk waktu mengoreksi hasil pengetikan berita acara oleh penyidik.
Saya juga pernah datang ke KPK atas inisiatif sendiri untuk minta diperiksa dalam satu isu, tetapi KPK menolak memeriksa saya karena kasus yang diisukan itu tidak pernah ada. Sebaliknya, saya pernah juga didatangi oleh petugas KPK ke kantor untuk dimintai keterangan terkait dengan kasus Nazaruddin yang pernah menghebohkan itu. Pemberitaan tentang hukum kerap menjadi runyam karena banyak wartawan yang ditugaskan di lembaga- lembaga penegak hukum tidak paham istilah-istilah standar dalam hukum.
Mereka, misalnya, tak paham perbedaan antara ditolak dan tidak dapat diterima, antara batal dan dibatalkan, diterima dan dikabulkan, dan sebagainya. Terkait kasus Patrialis Akbar (PA), ada juga yang menyebarkan isu bahwa PA pasti tidak bermain sendirian, tetapi pasti bekerja sama dengan hakimhakim lain sehingga vonis MK bisa terjadi karena pengaruh PA terhadap hakim-hakim lain.
Ini pun merupakan kesimpulan yang tidak serta-merta benar, bahkan lebih cenderung salah. Memang benar putusan MK dibuat secara kolektif, tetapi sangat mungkin, dalam kasus PA, hakim-hakim tidak ada yang dipengaruhi secara kolutif. Ada beberapa kemungkinan dalam hal ini.
Pertama, putusan kolektif sudah disepakati dan PA (tanpa mengajak hakimhakim lain) “menjualnya” kepada yang berkepentingan. Ini mungkin terjadi sebab setelah ada kesepakatan di antara para hakim dalam Rapat Permusyawaratan Hakim vonis tidak langsung dibacakan, tetapi juga harus dibuat draf dulu dan setelah itu dikoreksi oleh para hakim bersama-sama melalui beberapa kali sidang yang bisa makan waktu sampai satu bulan.
Kedua, setelah draf putusan jadi, yang bersangkutan menjual kasus dengan cara mengambil copy dan menunjukkan kepada yang berkepentingan untuk menyuap. Yang kedua ini dikenal dengan teori menembak dari atas kuda. Mungkin juga yang bersangkutan memang memengaruhi hakim-hakim lain, tetapi tidak dalam konteks kolusi melainkan dalam konteks adu pendapat di antara para hakim.
Dalam hal ini, yang bersangkutan berhasil meyakinkan secara logis karena perkara yang ditangani memang gampang ditebak arah putusannya dan para hakim memang menggunakan logika dan argumen yang sama. Ketiga, memang, secara teoretis, ada juga kemungkinan PA memengaruhi hakim lain secara kolutif melalui pendekatan- pendekatan personal dan penyuapan.
Namun, hal ini sangatlah kecil kemungkinannya jika dilihat dari fakta-fakta yang sudah ditunjukkan oleh KPK. Untuk kasus PA ini, berdasar fakta-fakta yang sudah ditunjukkan oleh KPK lebih mungkin modus operandi adalah yang pertama dan kedua. Kita tunggu saja!
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN):
Ketua MK-RI 2008-2013
SALAH satu berita penting yang menyebar luas sehari setelah pilkada serentak, 16 Februari 2017 adalah berita, “Ketua MK Dipanggil KPK” terkait kasus Patrialis Akbar.
Sontak, pemanggilan Ketua MahkamahKonstitusi( MK) olehKomisiPemberantasan Korupsi (KPK) tersebut memancing banyak komentar terutama di media sosial. Sangat banyak netizen yang bukan hanya memberi mention, tetapi juga bertanya langsung ke alamat akun saya terkait dengan pemanggilan ketua MK tersebut.
Pertanyaannya beraneka ragam, tetapi sangat banyak yang menyatakan dan menanyakan kemungkinan Ketua MK Arief Hidayat terlibat dalam kasus korupsi penyuapan yang menimpa Patrialis Akbar. “Untuk apa dipanggil KPK kalau tidak terlibat? Vonis MK itu dibuat secara kolektif di antara para hakim, tak mungkin Patrialis bekerja sendiri, pasti memengaruhi hakim-hakim lain agar membuat vonis sesuai dengan keinginan Patrialis.
Lihatlah, hakim-hakim MK lainnya juga sudah dipanggil oleh KPK”. Demikian celotehan- celotehan netizen. Di kalangan masyarakat masih banyak kesalahpahaman atas istilahistilah standar di dalam hukum, sehingga kalau ada berita “dipanggil” oleh KPK, kemudian dianggap terlibat dalam satu kasus.
Padahal orang yang dipanggil ke KPK itu kemungkinannya ada dua yakni “diperiksa” atau “dimintai keterangan”. Meskipun secara teknis sama, kedua istilah terbut mempunyai latar belakang dan tujuan yang berbeda. Orang yang diperiksa biasanya didasarkan pada dugaan keterlibatan dalam kasus yang sedang ditangani oleh KPK, misalnya, diduga ikut serta melakukan, mendapat bagian, membiarkan suatu kejahatan.
Sementara orang yang dimintai keterangan biasanya hanya terkait dengan kelengkapan informasi yang dibutuhkan penyidik sesuai dengan posisi dan pengetahuan orang yang dimintai keterangan. Dalam hal pemanggilan Ketua MK Arief Hidayat oleh KPK tampak jelas bahwa yang bersangkutan dipanggil hanya untuk dimintai keterangan terkait dengan jabatannya.
Dia bukan diperiksa, tetapi dimintai keterangan. Dalam kasus Akil Mochtar saya pun pernah dipanggil oleh KPK untuk dimintai keterangan tetapi bukan diperiksa. Yang ditanyakan oleh KPK hanyalah apa kenal dengan tersangka, bagaimana cara pembagian tugas penanganan perkara, cara pengambilan putusan, siapa saja yang ikut dalam rapat permusyawaratan hakim, siapa yang membuat draf vonis serta bagaimana menyimpannya, dan sebagainya.
Di tengah-tengah masyarakat kerap muncul gosip yang berlebihan, kalau dipanggil KPK lantas diisukan terlibat korupsi. Ketika saya dimintai keterangan oleh KPK dalam kasus Akil Mochtar muncul semacam gosip. “Loh, kok Pak Mahfud selesai hanya 30 menit, sedangkan yang lain kalau diperiksa bisa lebih dari 7 jam? Janganjangan ini ada permainan,” demikian gosip yang ditiupkan.
Ya, iyalah, saya kan hanya ditanya cara menentukan penanganan perkara, cara memimpin sidang-sidang, dan cara menjaga kerahasiaan keputusan Rapat Permusyawaratan Hakim. Untuk apa berlama-lama? 30 menit itu pun sudah termasuk waktu mengoreksi hasil pengetikan berita acara oleh penyidik.
Saya juga pernah datang ke KPK atas inisiatif sendiri untuk minta diperiksa dalam satu isu, tetapi KPK menolak memeriksa saya karena kasus yang diisukan itu tidak pernah ada. Sebaliknya, saya pernah juga didatangi oleh petugas KPK ke kantor untuk dimintai keterangan terkait dengan kasus Nazaruddin yang pernah menghebohkan itu. Pemberitaan tentang hukum kerap menjadi runyam karena banyak wartawan yang ditugaskan di lembaga- lembaga penegak hukum tidak paham istilah-istilah standar dalam hukum.
Mereka, misalnya, tak paham perbedaan antara ditolak dan tidak dapat diterima, antara batal dan dibatalkan, diterima dan dikabulkan, dan sebagainya. Terkait kasus Patrialis Akbar (PA), ada juga yang menyebarkan isu bahwa PA pasti tidak bermain sendirian, tetapi pasti bekerja sama dengan hakimhakim lain sehingga vonis MK bisa terjadi karena pengaruh PA terhadap hakim-hakim lain.
Ini pun merupakan kesimpulan yang tidak serta-merta benar, bahkan lebih cenderung salah. Memang benar putusan MK dibuat secara kolektif, tetapi sangat mungkin, dalam kasus PA, hakim-hakim tidak ada yang dipengaruhi secara kolutif. Ada beberapa kemungkinan dalam hal ini.
Pertama, putusan kolektif sudah disepakati dan PA (tanpa mengajak hakimhakim lain) “menjualnya” kepada yang berkepentingan. Ini mungkin terjadi sebab setelah ada kesepakatan di antara para hakim dalam Rapat Permusyawaratan Hakim vonis tidak langsung dibacakan, tetapi juga harus dibuat draf dulu dan setelah itu dikoreksi oleh para hakim bersama-sama melalui beberapa kali sidang yang bisa makan waktu sampai satu bulan.
Kedua, setelah draf putusan jadi, yang bersangkutan menjual kasus dengan cara mengambil copy dan menunjukkan kepada yang berkepentingan untuk menyuap. Yang kedua ini dikenal dengan teori menembak dari atas kuda. Mungkin juga yang bersangkutan memang memengaruhi hakim-hakim lain, tetapi tidak dalam konteks kolusi melainkan dalam konteks adu pendapat di antara para hakim.
Dalam hal ini, yang bersangkutan berhasil meyakinkan secara logis karena perkara yang ditangani memang gampang ditebak arah putusannya dan para hakim memang menggunakan logika dan argumen yang sama. Ketiga, memang, secara teoretis, ada juga kemungkinan PA memengaruhi hakim lain secara kolutif melalui pendekatan- pendekatan personal dan penyuapan.
Namun, hal ini sangatlah kecil kemungkinannya jika dilihat dari fakta-fakta yang sudah ditunjukkan oleh KPK. Untuk kasus PA ini, berdasar fakta-fakta yang sudah ditunjukkan oleh KPK lebih mungkin modus operandi adalah yang pertama dan kedua. Kita tunggu saja!
(wib)