Terfragmentasi di Pilkada, Bersatu Pascapilkada
A
A
A
SUDAH banyak rakyat Indonesia yang bertanya-tanya kapan keramaian pilkada ini akan usai. Tensi yang tinggi dari ke hari membuat banyak orang jenuh.
Jangankan masyarakat yang relatif sekenanya memperhatikan politik, bahkan tipikal yang memberikan perhatian lebih pada politik pun sudah mulai jenuh. Pilkada sudah menguras energi bangsa ini sedemikian rupa.
Berbagai perdebatan terjadi saat tatap muka ataupun di jalur maya lewat media sosial atau layanan pesan instan. Perdebatan yang terjadi pun dari level yang sangat penting hingga yang tak penting-penting betul, sekadar bicara dukungan yang dilandasi pola pikir ”pokoknya”.
Ketika pola pikir ”pokoknya” saling beradu, sudah bisa dibayangkan, yang terjadi bukan lagi diskusi, tapi debat kusir tak berkesudahan. Ujungnya biasanya adalah hubungan bertetangga, pertemanan, bahkan hubungan persaudaraan yang mengendur.
Tak jarang yang seperti ini bahkan pascapilkada pun api amarah masih ada, minimal labeling tetap terjadi yang membuat hubungan berjarak. Padahal kita semua tahu, kebersatuan dan kerja sama yang baik tanpa pretensi atau bahkan praduga yang tergambar dalam konsep gotong royong adalah fondasi dasar pembangunan bangsa ini.
Tak ada salahnya untuk mengingat, bahwa politik itu lentur. Kelenturannya tak terbayangkan bahkan oleh akal yang paling nyeleneh sekalipun.
Bayangkan, misalnya ada tiga kandidat di Pilkada DKI Jakarta dengan partai-partai pendukung di belakangnya. Dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta kesemua partai saling bertarung sengit, bahkan tak jarang seperti musuh bebuyutan.
Padahal kalau kita melirik 100 pilkada lain yang dilakukan 15 Februari nanti, partai yang berseberangan di Jakarta, ada yang maju bersama di pilkada lain. Itulah kelenturan politik dan para politisinya. Dalam politik itu, tak ada kawan dan lawan abadi.
Lalu pertanyaan yang patut kita ajukan ke diri sendiri, mengapa kita harus sedemikian kaku dalam menyikapi perbedaan pilihan politik? Pascapilkada, tetangga kita tetaplah akan menjadi tetangga, teman pun akan tetap dibutuhkan, apalagi saudara sampai kapan pun tetap akan jadi saudara. Apa untungnya bagi kita sampai harus mengendurkan, bahkan tak jarang memutuskan hubungan yang baik karena beda pilihan politik?
Sudah seharusnya kita lebih rileks menghadapi gelaran politik ini. Mari pahami bahwa aktivitas politik seperti pilkada adalah aktivitas yang memengaruhi kehidupan kita sehari-hari.
Maka itu, kita sudah sepatutnya berpartisipasi. Kita berpartisipasi untuk ikut menentukan arah bangsa ini. Namun, tentunya kita sebaiknya rileks ketika menghadapi perbedaan pendapat, karena beda sudut pandang hal yang biasa.
Misalnya ada beberapa kandidat dalam pilkada yang punya arah masing-masing, tentunya para pendukung dan pemilihnya adalah orang yang berbagi visi yang sama. Ini adalah kewajaran yang harus kita hadapi dalam demokrasi.
Sekarang, pilkada serentak di 101 daerah tinggal dua hari lagi. Pada 15 Februari, seluruh masyarakat di 101 daerah ini akan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menentukan siapa yang akan memimpin daerahnya. Ini adalah kesempatan yang harus dan tidak selayaknya disia-siakan dengan tidak memilih dan berbangga menjadi golongan putih (golput).
Hingga 15 Februari lusa, masih wajar kita terfragmentasi sesuai pilihan kita masing-masing. Namun, fragmentasi tersebut janganlah sampai pada titik yang tidak bisa disatukan kembali. Jangan sampai ada permusuhan.
Perbedaan pendapat itu wajar. Bahkan, perbedaan pendapatlah motor peradaban, yaitu perbedaan pendapat yang dicarikan titik temunya untuk kemajuan.
Setelah 15 Februari, kita harus kembali lagi bersatu sebagai warga masing-masing daerah yang melaksanakan pilkada dan sebagai rakyat Indonesia. Pilkada boleh memfragmentasi pilihan kita, tapi kita tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Jangankan masyarakat yang relatif sekenanya memperhatikan politik, bahkan tipikal yang memberikan perhatian lebih pada politik pun sudah mulai jenuh. Pilkada sudah menguras energi bangsa ini sedemikian rupa.
Berbagai perdebatan terjadi saat tatap muka ataupun di jalur maya lewat media sosial atau layanan pesan instan. Perdebatan yang terjadi pun dari level yang sangat penting hingga yang tak penting-penting betul, sekadar bicara dukungan yang dilandasi pola pikir ”pokoknya”.
Ketika pola pikir ”pokoknya” saling beradu, sudah bisa dibayangkan, yang terjadi bukan lagi diskusi, tapi debat kusir tak berkesudahan. Ujungnya biasanya adalah hubungan bertetangga, pertemanan, bahkan hubungan persaudaraan yang mengendur.
Tak jarang yang seperti ini bahkan pascapilkada pun api amarah masih ada, minimal labeling tetap terjadi yang membuat hubungan berjarak. Padahal kita semua tahu, kebersatuan dan kerja sama yang baik tanpa pretensi atau bahkan praduga yang tergambar dalam konsep gotong royong adalah fondasi dasar pembangunan bangsa ini.
Tak ada salahnya untuk mengingat, bahwa politik itu lentur. Kelenturannya tak terbayangkan bahkan oleh akal yang paling nyeleneh sekalipun.
Bayangkan, misalnya ada tiga kandidat di Pilkada DKI Jakarta dengan partai-partai pendukung di belakangnya. Dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta kesemua partai saling bertarung sengit, bahkan tak jarang seperti musuh bebuyutan.
Padahal kalau kita melirik 100 pilkada lain yang dilakukan 15 Februari nanti, partai yang berseberangan di Jakarta, ada yang maju bersama di pilkada lain. Itulah kelenturan politik dan para politisinya. Dalam politik itu, tak ada kawan dan lawan abadi.
Lalu pertanyaan yang patut kita ajukan ke diri sendiri, mengapa kita harus sedemikian kaku dalam menyikapi perbedaan pilihan politik? Pascapilkada, tetangga kita tetaplah akan menjadi tetangga, teman pun akan tetap dibutuhkan, apalagi saudara sampai kapan pun tetap akan jadi saudara. Apa untungnya bagi kita sampai harus mengendurkan, bahkan tak jarang memutuskan hubungan yang baik karena beda pilihan politik?
Sudah seharusnya kita lebih rileks menghadapi gelaran politik ini. Mari pahami bahwa aktivitas politik seperti pilkada adalah aktivitas yang memengaruhi kehidupan kita sehari-hari.
Maka itu, kita sudah sepatutnya berpartisipasi. Kita berpartisipasi untuk ikut menentukan arah bangsa ini. Namun, tentunya kita sebaiknya rileks ketika menghadapi perbedaan pendapat, karena beda sudut pandang hal yang biasa.
Misalnya ada beberapa kandidat dalam pilkada yang punya arah masing-masing, tentunya para pendukung dan pemilihnya adalah orang yang berbagi visi yang sama. Ini adalah kewajaran yang harus kita hadapi dalam demokrasi.
Sekarang, pilkada serentak di 101 daerah tinggal dua hari lagi. Pada 15 Februari, seluruh masyarakat di 101 daerah ini akan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menentukan siapa yang akan memimpin daerahnya. Ini adalah kesempatan yang harus dan tidak selayaknya disia-siakan dengan tidak memilih dan berbangga menjadi golongan putih (golput).
Hingga 15 Februari lusa, masih wajar kita terfragmentasi sesuai pilihan kita masing-masing. Namun, fragmentasi tersebut janganlah sampai pada titik yang tidak bisa disatukan kembali. Jangan sampai ada permusuhan.
Perbedaan pendapat itu wajar. Bahkan, perbedaan pendapatlah motor peradaban, yaitu perbedaan pendapat yang dicarikan titik temunya untuk kemajuan.
Setelah 15 Februari, kita harus kembali lagi bersatu sebagai warga masing-masing daerah yang melaksanakan pilkada dan sebagai rakyat Indonesia. Pilkada boleh memfragmentasi pilihan kita, tapi kita tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(poe)