Gaduh Nasional

Senin, 06 Februari 2017 - 07:37 WIB
Gaduh Nasional
Gaduh Nasional
A A A
RABU (1/2/2017) malam tiga orang pejabat pemerintah mendatangi kediaman ulama ternama, KH Ma'ruf Amin, di wilayah Koja, Jakarta Utara. Mereka yang malam itu mendadak sowan adalah Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal M Iriawan, dan Pangdam Jaya Mayjen Teddhy Lhaksmana. Ketiganya kompak mengaku datang bukan karena menjadi utusan dari sang atasan.

Mereka datang tentu bukan tanpa alasan. Setelah Ma'ruf menjadi saksi dalam sidang kedelapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Selasa (31/1/2017), kegaduhan kembali terjadi. Kali ini kegaduhan berawal dari ucapan Ahok yang akan memerkarakan kesaksian ahli fikih tersebut.

Meski kurang dari 48 jam Ahok meminta maaf secara tertulis dan melalui video yang viral di YouTube, hal itu tidak meredakan emosi masyarakat yang telanjur tersinggung. Padahal, setelah Aksi Bela Islam III pada 2 Desember lalu, suasana sudah mulai berangsur tenang.

Tensi politik menjelang pilkada memang tak bisa dianggap hal yang remeh. Terutama Pilkada DKI Jakarta yang menjadi episentrum peta politik secara nasional. Pilkada di Ibu Kota menjadi cermin pelaksanaan Pilpres 2019.

Semua peta politik sudah tergambar dalam pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta. Siapa yang sudah menyiapkan mitra koalisi, partai apa yang mengusung calon sendiri, hingga konsolidasi lintas partai telah tergambar jelas saat ini. Mereka telah menyiapkan semua skenario 2019 dengan memulainya dari pertarungan Pilkada DKI Jakarta.

Kasus Ahok yang dianggap menistakan agama menjadi inti polemik di masyarakat dan hingga kini sulit untuk benar-benar diredakan. Lambatnya pemerintah meredakan emosi masyarakat membuat polemik singkat menjadi tak berkesudahan.

Tidak ada konsolidasi lintas masyarakat, lintas umat, dan lintas golongan yang dilakukan bersama-sama oleh pemerintah. Yang ada selama ini hanya mediasi secara langsung kepada satu golongan dan dilakukan secara sepihak, tanpa dihadiri oleh si “pembuat masalah”. Ahok yang dianggap kerap membuat pernyataan menyinggung umat tidak dihadirkan dalam silaturahmi yang dijalin oleh pemerintah pusat.

Pemerintah boleh saja mengaku tidak memberikan dukungan kepada salah satu calon dan mengatakan netral. Tetapi, hubungan antara Ahok dan pemerintah saat ini dan hubungan Ahok dan partai pengusung tidak bisa diabaikan begitu saja.

Masyarakat di kota hingga desa sangat memahami hubungan Ahok dan mantan atasannya, Jokowi, yang pernah menjabat sebagai gubernur DKI. Karena itu, tidak ada salahnya dan tidak perlu malu untuk mengajak Ahok turut serta dalam silaturahmi yang dilakukan para petinggi negeri.

Kegaduhan yang diciptakan Ahok telah menjadi kegaduhan nasional dan perlu “pemadam kebakaran” berskala besar. Meski KH Ma'ruf Amin telah memberikan maaf kepada Ahok, kalangan Nahdliyin dan umat lain yang telanjur tersinggung belum bisa begitu saja berpaling muka dan meniru sikap mulia sang ulama.

Mereka tetap menyimpan dendam yang tidak bisa diungkapkan hingga akhirnya seperti api dalam sekam. Kasus sepele atau yang remeh-temeh akan mudah memicu kebangkitan dendam bila pemerintah tidak berupaya memadamkan secepatnya.

Presiden juga seharusnya tidak perlu tutup mata dan telinga seolah tidak terjadi apa-apa karena massa dari beberapa golongan yang berbeda mulai menampakkan jati dirinya. Mereka membutuhkan keteduhan dari sikap bijak pemimpinnya untuk meredam kegaduhan.

Kegaduhan yang tercitpa saat ini sangat menyentuh dasar kehidupan bernegara, yaitu keutuhan kesatuan dan persatuan. Kasus yang diciptakan Ahok menyentuh empat hal yaitu suku, agama, ras, dan golongan yang menjadi landasan kebinekaan.

Bila ada yang mengatakan hanya sebagian masyarakat yang merasa terluka dengan kasus Ahok, tetap jangan meremehkan mereka. Karena, yang dianggap hanya “sebagian” itu juga warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk dilindungi.

Setelah pilkada usai, suasana akan berangsur kembali damai. Namun, suasana itu tak akan berlangsung lama karena Pilpres 2019 sudah di depan mata.

Pada 2018 situasi politik akan kembali ramai dan mereka yang memendam dendam akan kembali bertikai. Luka lama akan terbuka dan menjadi senjata utama untuk saling mencaci dan mengungkapkan rasa kecewa.

Meski wujud pembangunan infrastruktur dipromosikan sebagai penawar luka, krisis ideologi menjadi alasan utama bagi mereka yang telanjur kecewa. Saat ini masih ada waktu bagi pemerintah untuk mengobati luka sebagian rakyatnya dan terhindar dari perang terbuka. Bagaimanapun Pilpres 2019 akan lebih gaduh dari Pilkada DKI Jakarta sehingga merugikan bangsa dan negara.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5930 seconds (0.1#10.140)