Kesadaran Antropologis Pemimpin
A
A
A
BISA jadi minggu ini menjadi salah satu minggu yang memusingkan bagi tim sukses calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Setelah dibuat kerepotan dengan mengedepannya isu penistaan agama terkait pandangan Ahok tentang Surah Al-Maidah ayat 51 yang didakwahkan para ulama, aksi Ahok di ruang sidang kembali menimbulkan kehebohan.
Tentunya kondisi ini sangat merugikan bagi perjuangan Ahok dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta karena berbagai survei menunjukkan suaranya mulai rebound setelah kasus Al-Maidah. Ahok seperti seorang petenis yang melakukan unforced error dan seperti seorang pemain bola yang kerap melakukan blunder.
Mengapa disebut blunder? Karena Ahok melakukan berbagai kesalahan yang tak perlu, yang akhirnya merugikan dirinya sendiri.
Sementara calon lain seperti Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, disibukkan dengan melakukan berbagai terobosan. Ahok seperti membentangkan tali yang menyandung dirinya sendiri, alih-alih menjadi tali pegangan yang memperkuat posisinya.
Mungkin banyak yang mengkritik keramaian beberapa hari belakangan ini karena yang namanya eksaminasi di ruang sidang memang terkadang menegangkan bahkan bisa jadi intimidatif. Secara konseptual, ruang sidang harus dibuat bebas dari tekanan apa pun agar penggalian keadilan bisa dilakukan.
Namun, tentunya kesadaran bagaimana situasi mutakhir di masyarakat juga sangat diperlukan. Misalnya dalam sidang tersebut, KH Ma’ruf Amin sekalipun didudukkan di kursi saksi tetaplah tak terlepas dari posisinya di masyarakat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), serta berbagai posisi sosialnya yang lain.
Pandangan masyarakat yang tak suka ketika sosok yang dituakan dan ditinggikan oleh mereka disudutkan dan bahkan tidak dipercayai sedemikian rupa tak terhindarkan. Apalagi dengan kondisi teknologi informasi yang sudah sangat canggih, semua orang akhirnya merasa dekat dengan kejadian ini.
Mungkin akan ada yang kritis bertanya apakah ulama tidak bisa salah? Sudah barang tentu bisa, itu pula sebabnya para ulama selalu berkumpul untuk berbagi ilmu.
Kita harus memosisikan ini bukan sekadar masalah benar atau salah. Seorang pemimpin harus memiliki kacamata kesadaran antropologis yang tepat.
Sedari di sekolah dasar bahkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia selalu ditekankan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Yang benar itu belum tentu baik, selalu ada konteks yang melekat.
Sebagai analogi, jika orang tua kita salah, bisakah kita membentaknya atau menekannya untuk menunjukkan kesalahannya? Tentu bisa. Tapi apakah itu elok? Tentu tidak.
Sesalah apa pun orang tua tersebut, cara kasar yang kita lakukan akan jauh lebih salah. Kesadaran antropologis seperti inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Berbagai blunder politik yang terjadi belakangan ini harus menjadi pelajaran bagi semua pemimpin dan calon pemimpin di Indonesia. Berpolitik itu tidak hanya membangun bangunan sosial yang baik, tapi juga mengenai bagaimana membuat fondasi yang kukuh.
Semua bangunan kebijakan dalam politik pemerintahan selalu akan berjalan dengan baik jika masyarakat sebagai fondasi menyokong kebijakan sang pemimpin.
Pemimpin di Indonesia juga harus memiliki kesadaran antropologis bahwa politik adalah sebuah seni dalam membangun kekuasaan. Jangan memaksakan suatu pendekatan yang one sizes fits all.
Tiap kelompok masyarakat pasti ada pola pendekatan yang paling pas digunakan. Cara komunikasi yang sangat sukses diterapkan pada suatu kelompok masyarakat bisa jadi menjadi suatu kesalahan besar di kelompok masyarakat yang lain.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa sulit sekali bagi seorang pemimpin untuk berbuat baik? Memang menjadi pemimpin itu sulit.
Bahkan, filosof termasyhur Plato mengatakan bahwa pemimpin itu harus seorang philosopher king yang sudah ditempa ilmu sedemikian rupa dengan jenjang yang melelahkan. Pemimpin itu harus sangat tegas, namun juga memiliki kesabaran yang luar biasa.
Tentunya kondisi ini sangat merugikan bagi perjuangan Ahok dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta karena berbagai survei menunjukkan suaranya mulai rebound setelah kasus Al-Maidah. Ahok seperti seorang petenis yang melakukan unforced error dan seperti seorang pemain bola yang kerap melakukan blunder.
Mengapa disebut blunder? Karena Ahok melakukan berbagai kesalahan yang tak perlu, yang akhirnya merugikan dirinya sendiri.
Sementara calon lain seperti Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, disibukkan dengan melakukan berbagai terobosan. Ahok seperti membentangkan tali yang menyandung dirinya sendiri, alih-alih menjadi tali pegangan yang memperkuat posisinya.
Mungkin banyak yang mengkritik keramaian beberapa hari belakangan ini karena yang namanya eksaminasi di ruang sidang memang terkadang menegangkan bahkan bisa jadi intimidatif. Secara konseptual, ruang sidang harus dibuat bebas dari tekanan apa pun agar penggalian keadilan bisa dilakukan.
Namun, tentunya kesadaran bagaimana situasi mutakhir di masyarakat juga sangat diperlukan. Misalnya dalam sidang tersebut, KH Ma’ruf Amin sekalipun didudukkan di kursi saksi tetaplah tak terlepas dari posisinya di masyarakat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), serta berbagai posisi sosialnya yang lain.
Pandangan masyarakat yang tak suka ketika sosok yang dituakan dan ditinggikan oleh mereka disudutkan dan bahkan tidak dipercayai sedemikian rupa tak terhindarkan. Apalagi dengan kondisi teknologi informasi yang sudah sangat canggih, semua orang akhirnya merasa dekat dengan kejadian ini.
Mungkin akan ada yang kritis bertanya apakah ulama tidak bisa salah? Sudah barang tentu bisa, itu pula sebabnya para ulama selalu berkumpul untuk berbagi ilmu.
Kita harus memosisikan ini bukan sekadar masalah benar atau salah. Seorang pemimpin harus memiliki kacamata kesadaran antropologis yang tepat.
Sedari di sekolah dasar bahkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia selalu ditekankan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Yang benar itu belum tentu baik, selalu ada konteks yang melekat.
Sebagai analogi, jika orang tua kita salah, bisakah kita membentaknya atau menekannya untuk menunjukkan kesalahannya? Tentu bisa. Tapi apakah itu elok? Tentu tidak.
Sesalah apa pun orang tua tersebut, cara kasar yang kita lakukan akan jauh lebih salah. Kesadaran antropologis seperti inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Berbagai blunder politik yang terjadi belakangan ini harus menjadi pelajaran bagi semua pemimpin dan calon pemimpin di Indonesia. Berpolitik itu tidak hanya membangun bangunan sosial yang baik, tapi juga mengenai bagaimana membuat fondasi yang kukuh.
Semua bangunan kebijakan dalam politik pemerintahan selalu akan berjalan dengan baik jika masyarakat sebagai fondasi menyokong kebijakan sang pemimpin.
Pemimpin di Indonesia juga harus memiliki kesadaran antropologis bahwa politik adalah sebuah seni dalam membangun kekuasaan. Jangan memaksakan suatu pendekatan yang one sizes fits all.
Tiap kelompok masyarakat pasti ada pola pendekatan yang paling pas digunakan. Cara komunikasi yang sangat sukses diterapkan pada suatu kelompok masyarakat bisa jadi menjadi suatu kesalahan besar di kelompok masyarakat yang lain.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa sulit sekali bagi seorang pemimpin untuk berbuat baik? Memang menjadi pemimpin itu sulit.
Bahkan, filosof termasyhur Plato mengatakan bahwa pemimpin itu harus seorang philosopher king yang sudah ditempa ilmu sedemikian rupa dengan jenjang yang melelahkan. Pemimpin itu harus sangat tegas, namun juga memiliki kesabaran yang luar biasa.
(poe)