Utang Baru Awal Tahun
A
A
A
MENGANTISIPASI defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 pemerintah telah melakukan penarikan utang sejak Januari lalu. Defisit anggaran tahun ini dipatok sekitar 2,41% terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sebesar Rp330,2 triliun.
Tercatat, sepanjang Januari 2017 pemerintah sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) sebanyak empat kali dengan perolehan dana sebesar Rp63,8 triliun yang sudah diamankan pada kas negara. Pemerintah menargetkan total utang baru yang akan ditarik sebesar Rp384,7 triliun sepanjang tahun ini.
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pemerintah tetap merasa percaya diri menambah utang dengan alasan klasik bahwa rasio utang terhadap PDB masih kecil, tak perlu dikhawatirkan sepanjang utang tersebut dialokasikan untuk sektor produktif.
Dari empat SUN yang diadakan awal tahun ini berdasarkan data terbaru publikasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan masing-masing diterbitkan pada 3 Januari dengan nominal penawaran masuk Rp36,9 triliun, namun yang diterima sekitar Rp15 triliun.
Lalu, surat berharga syariah negara (SBSN) pada 10 Januari dengan nilai penawaran masuk Rp24,01 triliun, tetapi yang diterima Rp6,5 triliun. Lagi, penerbitan SUN pada 17 Januari dengan nilai penawaran masuk sekitar Rp53,6 triliun, yang diterima Rp20,3 triliun. Pada 31 Januari dengan penawaran masuk Rp49,4 triliun, namun yang ditarik sekitar Rp22 triliun.
Sebelumnya, Desember tahun lalu, pemerintah sudah menerbitkan surat utang dalam mata uang dolar AS (global bond) senilai USD3,5 miliar.
Rupanya, niat pemerintah untuk menekan penarikan utang masih sulit untuk direalisasikan. Data menunjukkan jumlah utang pemerintah pusat menembus angka Rp3.466,96 triliun atau meningkat Rp301,83 triliun dibandingkan total utang pada 2015 yang tercetak Rp3.165,13 triliun.
Adapun pelunasan cicilan utang tahun lalu mencapai Rp505,379 triliun atau sekitar 105,22% dari yang dialokasikan dalam APBN. Terdiri atas pembayaran pokok utang sebesar Rp322,611 triliun, meliputi pokok pinjaman Rp69,007 triliun atau 99,68% dari pagu APBN, pembayaran pokok SBN Rp253,603 triliun atau 112,14% dari pagu APBN.
Adapun pembayaran bunga utang sebesar Rp182,768 triliun atau 98,83 dari pagu APBN, meliputi pembayaran bunga pinjaman sekitar Rp15,419 triliun atau 91.64% dari pagu APBN. Dan, pembayaran bunga SBN mencapai Rp167,35 triliun atau 99,54% dari pagu APBN.
Sementara itu, utang luar negeri pemerintah dalam kaitan bilateral maupun multilateral sedikit menurun menjadi Rp728,08 triliun pada tahun lalu dibandingkan pada 2015 yang masih bertengger pada angka Rp751,04 triliun.
Utang secara bilateral, Jepang sebagai pemberi utang menempati urutan pertama senilai Rp195,95 triliun atau 26,9% dari total pinjaman, disusul Jerman pada level kedua sebesar Rp24,72 triliun atau 3,3% dari total utang, dan Prancis pada tempat ketiga senilai Rp0,03 triliun atau 0,004% dari total utang.
Adapun pinjaman secara multilateral berasal dari Bank Dunia sebesar Rp232,26 triliun atau 31,9% dari total utang, Bank Pembangunan Asia sebesar Rp125,1 triliun atau 17,1% dari total utang, dan Bank Pembangunan Islam sekitar Rp9,42 triliun atau 1,2% dari total utang. Selain itu, juga sejumlah negara telah mengutangi Indonesia di antaranya China, Amerika Serikat, dan sejumlah negara lainnya.
Penumpukan utang pemerintah dari tahun ke tahun menimbulkan pertanyaan, bisakah pemerintah mengelola negeri ini tanpa menarik utang? Sepanjang penerimaan negara tidak memadai mendanai anggaran belanja, dibutuhkan dana tambahan salah satunya bersumber dari utang.
Ketika disoalkan utang yang terus menumpuk, pemerintah selalu menyodorkan jawaban bahwa pinjaman dialokasikan untuk sektor produktif, jadi tidak perlu dikhawatirkan karena tidak akan merugikan. Dan, alasan klasik yang menjadi “penjamin” pemerintah selalu menambah utang adalah rasio utang terhadap PDB masih aman.
Saat ini, berdasarkan versi Bank Indonesia, rasio utang terhadap PDB masih di bawah 30%. Dan, pemerintah semakin percaya diri berutang menyusul membaiknya peringkat utang yang diterbitkan Fich Rating, sebuah lembaga pemeringkat internasional. Meski demikian, sikap hati-hati berutang tetap harus dikedepankan sebelum menjadi beban berat di kemudian hari.
Tercatat, sepanjang Januari 2017 pemerintah sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) sebanyak empat kali dengan perolehan dana sebesar Rp63,8 triliun yang sudah diamankan pada kas negara. Pemerintah menargetkan total utang baru yang akan ditarik sebesar Rp384,7 triliun sepanjang tahun ini.
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pemerintah tetap merasa percaya diri menambah utang dengan alasan klasik bahwa rasio utang terhadap PDB masih kecil, tak perlu dikhawatirkan sepanjang utang tersebut dialokasikan untuk sektor produktif.
Dari empat SUN yang diadakan awal tahun ini berdasarkan data terbaru publikasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan masing-masing diterbitkan pada 3 Januari dengan nominal penawaran masuk Rp36,9 triliun, namun yang diterima sekitar Rp15 triliun.
Lalu, surat berharga syariah negara (SBSN) pada 10 Januari dengan nilai penawaran masuk Rp24,01 triliun, tetapi yang diterima Rp6,5 triliun. Lagi, penerbitan SUN pada 17 Januari dengan nilai penawaran masuk sekitar Rp53,6 triliun, yang diterima Rp20,3 triliun. Pada 31 Januari dengan penawaran masuk Rp49,4 triliun, namun yang ditarik sekitar Rp22 triliun.
Sebelumnya, Desember tahun lalu, pemerintah sudah menerbitkan surat utang dalam mata uang dolar AS (global bond) senilai USD3,5 miliar.
Rupanya, niat pemerintah untuk menekan penarikan utang masih sulit untuk direalisasikan. Data menunjukkan jumlah utang pemerintah pusat menembus angka Rp3.466,96 triliun atau meningkat Rp301,83 triliun dibandingkan total utang pada 2015 yang tercetak Rp3.165,13 triliun.
Adapun pelunasan cicilan utang tahun lalu mencapai Rp505,379 triliun atau sekitar 105,22% dari yang dialokasikan dalam APBN. Terdiri atas pembayaran pokok utang sebesar Rp322,611 triliun, meliputi pokok pinjaman Rp69,007 triliun atau 99,68% dari pagu APBN, pembayaran pokok SBN Rp253,603 triliun atau 112,14% dari pagu APBN.
Adapun pembayaran bunga utang sebesar Rp182,768 triliun atau 98,83 dari pagu APBN, meliputi pembayaran bunga pinjaman sekitar Rp15,419 triliun atau 91.64% dari pagu APBN. Dan, pembayaran bunga SBN mencapai Rp167,35 triliun atau 99,54% dari pagu APBN.
Sementara itu, utang luar negeri pemerintah dalam kaitan bilateral maupun multilateral sedikit menurun menjadi Rp728,08 triliun pada tahun lalu dibandingkan pada 2015 yang masih bertengger pada angka Rp751,04 triliun.
Utang secara bilateral, Jepang sebagai pemberi utang menempati urutan pertama senilai Rp195,95 triliun atau 26,9% dari total pinjaman, disusul Jerman pada level kedua sebesar Rp24,72 triliun atau 3,3% dari total utang, dan Prancis pada tempat ketiga senilai Rp0,03 triliun atau 0,004% dari total utang.
Adapun pinjaman secara multilateral berasal dari Bank Dunia sebesar Rp232,26 triliun atau 31,9% dari total utang, Bank Pembangunan Asia sebesar Rp125,1 triliun atau 17,1% dari total utang, dan Bank Pembangunan Islam sekitar Rp9,42 triliun atau 1,2% dari total utang. Selain itu, juga sejumlah negara telah mengutangi Indonesia di antaranya China, Amerika Serikat, dan sejumlah negara lainnya.
Penumpukan utang pemerintah dari tahun ke tahun menimbulkan pertanyaan, bisakah pemerintah mengelola negeri ini tanpa menarik utang? Sepanjang penerimaan negara tidak memadai mendanai anggaran belanja, dibutuhkan dana tambahan salah satunya bersumber dari utang.
Ketika disoalkan utang yang terus menumpuk, pemerintah selalu menyodorkan jawaban bahwa pinjaman dialokasikan untuk sektor produktif, jadi tidak perlu dikhawatirkan karena tidak akan merugikan. Dan, alasan klasik yang menjadi “penjamin” pemerintah selalu menambah utang adalah rasio utang terhadap PDB masih aman.
Saat ini, berdasarkan versi Bank Indonesia, rasio utang terhadap PDB masih di bawah 30%. Dan, pemerintah semakin percaya diri berutang menyusul membaiknya peringkat utang yang diterbitkan Fich Rating, sebuah lembaga pemeringkat internasional. Meski demikian, sikap hati-hati berutang tetap harus dikedepankan sebelum menjadi beban berat di kemudian hari.
(poe)