Ekonomi Terancam SARA

Selasa, 31 Januari 2017 - 07:30 WIB
Ekonomi Terancam SARA
Ekonomi Terancam SARA
A A A
PETA perekonomian dunia bergeser pascapelantikan Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) ke-45. Pekan pertama sebagai orang nomor satu di Negeri Paman Sam, Donald Trump telah membubuhkan tanda tangan untuk sejumlah kebijakan yang dinilai kontroversial.

Sebut di antaranya kebijakan keluar secara resmi dari keanggotaan Trans Pacific Partnership (TPP). Padahal, Perjanjian Perdagangan dan Kemitraan Trans-Pasifik justru diprakarsai Presiden AS Barack Obama.

Trump juga sedang menyiapkan sejumlah kebijakan terkait proteksi perdagangan untuk kepentingan dalam negeri AS. Faktor lain menyangkut proses peralihan Inggris keluar dari Uni Eropa atau lebih akrab di telinga dengan istilah Brexit. Dan, China yang terus berusaha menstabilkan ekonomi dalam jangka panjang.

Kebijakan Donald Trump yang kontroversial terkait perdagangan, pemerintah Inggris yang berubah kebijakan karena Brexit, dan China yang terus berupaya menjaga kestabilan ekonomi membuat kebingungan sejumlah lembaga internasional yang selalu menerbitkan prediksi pertumbuhan ekonomi global, tak terkecuali World Bank (Bank Dunia) dan International Monetary Fund (IMF) setidaknya dalam enam bulan ke depan.

Berdasarkan riset yang dipublikasi awal tahun ini, Bank Dunia memprediksi perekonomian global tumbuh 2,7% atau sedikit lebih tinggi dari estimasi realisasi tahun lalu sekitar 2,3%. Dengan catatan asumsi pertumbuhan ekonomi AS sekitar 2,2%, Uni Eropa sebesar 1,5%, dan Jepang sekitar 0,9%, dan negara berkembang sebesar 4,2%.

Sedangkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2017 versi IMF yang dirilis akhir tahun lalu menyebut sekitar 3,4% atau naik sebesar 0,3% dari estimasi pertumbuhan ekonomi dunia tahun lalu. IMF juga memprediksi pertumbuhan ekonomi AS sekitar 2,3%, Uni Eropa sebesar 1,6%, Jepang sekitar 0,8%, dan negara berkembang sekitar 4,5%.

Bank Indonesia (BI) juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia sejalan dengan prediksi IMF sekitar 3,4%. Meminjam istilah Chatib Basri, mantan menteri keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), perekonomian dunia sedang dalam masalah besar.

Memang, prediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini sedikit lebih tinggi dibanding tahun lalu, namun Chatib mengingatkan di balik optimisme itu tetap harus diimbangi realitas yang terjadi saat ini.

Bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun ini? Pada umumnya optimistis perekonomian domestik lebih baik dari tahun lalu, demikian prediksi dari sejumlah lembaga internasional dan dalam negeri serta pemerintah sendiri.

Tengok saja hasil riset dari Standard Chartered Bank (SCB), memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5,3% sepanjang 2017, yang dirilis pekan lalu. Prediksi pertumbuhan ekonomi versi SCB lebih tinggi dari target yang dipatok pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Hasil riset SCB mengungkapkan pertumbuhan tersebut didukung oleh konsumsi rumah tangga dan mulai membaiknya harga komoditas sejak akhir tahun lalu.

Adapun prediksi BI untuk pertumbuhan ekonomi domestik berada di kisaran 5% hingga 5,4%. Pertumbuhan optimistis itu didasarkan pada investasi swasta dan kinerja ekspor yang diprediksi bakal lebih baik tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya.

Sedangkan Bank Dunia dan IMF sepakat mematok angka pertumbuhan pada level 5,3%. Meski prediksi SCB, BI, Bank Dunia, dan IMF cukup menggembirakan, pemerintah tetap berhati-hati menetapkan angka pertumbuhan ekonomi 2017. Dalam APBN 2017, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi hanya 5,1% sebab ketidakpastian perekonomian global masih menghantui.

Sayangnya, proyeksi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini yang optimistis lebih tinggi dari tahun sebelumnya bisa saja terganjal oleh persoalan di luar ekonomi yakni masalah isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sejak akhir tahun lalu hingga saat ini menjelang Pilkada DKI Jakarta, isu SARA yang dibumbui dengan berita bohong (hoax) terutama di media sosial (medsos) telah menyita perhatian investor asing yang berencana menanamkan modal di Indonesia.

Memang, isu SARA tersebut diakui bank sentral belum sampai mengganggu perekonomian nasional, namun sejumlah investor asing mulai bertanya-tanya. Karena itu, pemerintah jangan sampai salah langkah menangani isu SARA ini.

Tegakkan hukum seadil-adilnya dalam menindak penyebar berita bohong dan aksi-aksi demo yang anarkistis. Bila isu SARA dibiarkan berlarut-larut, risikonya terlalu besar, bukan hanya pada urusan perekonomian, tetapi segala aspek dalam kehidupan anak bangsa.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6953 seconds (0.1#10.140)