Jangan Biarkan Rakyat Terkotak-kotak
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
KEBEBASAN berserikat jangan sampai mendorong rakyat terkotak-kotak. Kini saatnya bagi negara bersikap tegas guna menghentikan kecenderungan pengotak-kotakan itu. Hak rakyat membentuk organisasi kemasyarakatan (ormas) harus tetap dihormati, namun semua instrumen negara di bidang penegakan hukum harus menjalankan fungsinya dengan efektif untuk mencegah tirani ormas.
Fakta-fakta yang mengemuka dalam beberapa pekan belakangan ini sangat memprihatinkan sebab kebebasan berserikat membentuk ormas telah mengarah ke jalan yang nyaris salah. Kesalahan itu memang belum terlalu parah karena hanya melibatkan sejumlah orang yang nyata-nyata tidak mencerminkan perilaku mayoritas rakyat Indonesia.
Namun, kesalahan yang relatif masih kecil itu harus segera diluruskan agar perilaku semua ormas di negara ini selalu berpijak pada hukum positif dan tidak mengingkari, apalagi menista keragaman akar budaya seluruh rakyat Indonesia.
Kesalahan-kesalahan kecil perilaku beberapa ormas sebenarnya sudah terlihat sejak lama, yang ditandai dengan memaksakan kebenaran menurut versi ormas tertentu. Namun, ekses dari rangkaian kesalahan kecil itu mulai menimbulkan rasa cemas berbagai elemen masyarakat ketika massa Front Pembela Islam (FPI) bentrok dengan massa ormas Gerakan Mahasiswa Bawah Indonesia (GMBI) di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, Kamis 12 Januari 2017.
Bentrok di Bandung itu berlanjut dengan perusakan dan pembakaran Sekretariat GMBI di Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jumat 13 Januari 2017 dini hari. Dalam kasus ini, polisi menangkap 20 orang terduga pelaku pembakaran. Namun, fakta yang sangat memprihatinkan adalah tujuh di antaranya anak di bawah umur.
Setelah dua peristiwa itu, arus tuntutan menolak ormas seperti FPI dan GMBI mulai disuarakan di sejumlah tempat. Ratusan warga Suku Dayak dari berbagai organisasi yang tergabung di Forum Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah (FMAD-KT) menggelar aksi turun ke jalan meminta FPI dibubarkan.
Di Garut, Jawa Barat, Himpunan Santri Garut atau Hisgar mendatangi Gedung DPRD Garut menuntut pembubaran GMBI. Sedangkan di Bangka Belitung, pengurus Gerakan Pemuda Ansor juga menolak FPI. GP Ansor Kepulauan Bangka Belitung mendesak gubernur dan penegak hukum tidak memberi ruang bagi ormas yang intoleran dan anti-Pancasila.
Tidak ada yang salah dengan prinsip kebebasan berserikat atau menjadi anggota ormas yang berbadan hukum. Namun, ormas akan dikecam jika perilakunya tidak sejalan dengan hukum positif, apalagi memaksakan kehendak atau sistem nilai lain yang bertentangan dengan hukum positif itu sendiri maupun dengan norma-norma positif di tengah masyarakat yang bersumber dari kearifan budaya masyarakat setempat.
Ormas tidak punya kompetensi untuk menyatakan suatu kebenaran sebagai hal yang mutlak dan harus diterima apa adanya oleh orang lain. Sebab, ormas hanya beranggotakan manusia-manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Ketika sebuah ormas sudah bertindak dan bersikap melampaui hak dan kewajibannya, dia akan kehilangan simpati dari mayoritas publik. Ketika ormas dengan perilaku demikian mendapatkan pembiaran, akan muncul atau dimunculkan ormas lain sebagai penangkal.
Menjadi masalah serius bagi negara dan pemerintah jika ormas-ormas yang saling bertentangan itu mendorong terjadi pengotak-kotakan masyarakat. Kelompok warga A sebagai simpatisan ormas tertentu, dan kelompok warga B sebagai simpatisan ormas lainnya. Ketika pengotak-kotakan yang demikian terjadi dan dibiarkan, itu benih konflik horizontal.
Bentrok FPI dan GMBI di Bandung patut dilihat sebagai benih konflik horizontal itu. Itulah sebabnya, sejumlah elemen masyarakat mencemaskan kecenderungan itu. Kebebasan berserikat atau membentuk ormas seharusnya tidak disalahgunakan atau disalahtafsirkan. Perilaku ormas pun tidak boleh mengarah pada sentimen memecah belah kerukunan dan kebersamaan masyarakat.
Perbaiki Kesalahan
Upaya memecah belah itu mulai terlihat ketika kelompok tertentu didorong untuk menilai kelompok lain. Hal ini tentu akan membangkitkan semangat perlawanan dari pihak-pihak yang lain.
Peristiwa yang menggambarkan sikap penolakan puluhan warga Kalimantan Barat atas kedatangan seorang pejabat Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Bandara Susilo, Sintang, sungguh sangat memprihatinkan. Warga setempat menolak karena merasa pernah dilecehkan oleh yang bersangkutan.
Sedangkan di Jakarta dan Bandung, polisi harus menampung hujan laporan dari berbagai elemen masyarakat karena seorang pemuka agama dinilai melakukan penistaan. Sementara polisi masih memproses semua laporan itu, muncul lagi kasus baru tentang penodaan lambang negara. Seorang pemuda ditangkap karena membawa bendera RI bertuliskan Arab saat FPI melakukan demo.
Untuk rangkaian kasus itu, jangan dulu mempersoalkan siapa salah siapa benar. Faktor yang menjadi keprihatinan mayoritas masyarakat adalah kenyataan bahwa suasananya menjadi kurang kondusif akibat persoalan atau kesalahan kecil yang tak perlu. Ruang publik menjadi sarat dengan tindakan saling hujat dan pelampiasan kebencian.
Jika semua elemen masyarakat tidak bisa menahan diri, keadaan bisa menjadi sulit dikendalikan. Dalam suasana yang belum nyaman itu, masyarakat tiba-tiba disuguhi berita tentang pertemuan seorang anggota MUI dan rombongannya dengan Presiden Israel Reuven Rivlin.
Seperti diketahui, sebuah berita plus foto yang dilansir Kementerian Luar Negeri Israel memperlihatkan pertemuan Presiden Israel dengan anggota Komisi Pemberdayaan Perempuan, Remaja, dan Keluarga MUI, Istibsyaroh, dan rombongan yang dipimpinnya. Foto memperlihatkan Istibsyaroh duduk di samping Rivlin.
Publikasi berita dan foto tentang Istibsyaroh-Rivlin oleh Pemerintah Israel itu hendaknya tidak dilihat sebagai informasi belaka. Bukan tidak mungkin Israel punya tujuan lain.
Agen-agen Mossad di Asia tentu melihat dan mempelajari dinamika masyarakat Indonesia sejak Oktober 2016 hingga Januari 2017. Mungkin saja publikasi itu bertujuan mempermalukan masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai pendukung Palestina dan anti-Israel.
Kalau semua pihak tidak bisa menahan diri, MUI akan menjadi sasaran kecaman. Di mata publik, kredibilitas MUI akan runtuh.
Kasus ini bahkan bisa menambah rumit persoalan yang sedang berkembang hingga akhir-akhir ini. Beruntung bahwa masyarakat mau memahami pemberitaan tentang Istibsyaroh-Rivlin itu dengan pikiran jernih sehingga kesalahpahaman bisa dihindari.
Intinya, segala sesuatu yang mengemuka akhir-akhir ini sedikit-banyak disebabkan oleh kebebasan berserikat yang nyaris salah langkah. Kesalahan-kesalahan kecil itu harus segera diperbaiki melalui peraturan perundang-undangan.
Saat ini rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) sedang dibahas di DPR. RUU Ormas merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas.
Wajar jika revisi UU Ormas menimbulkan pro-kontra. Para penggiat HAM khawatir revisi itu akan membatasi hak warga negara untuk berserikat. Kekhawatiran seperti itu wajar saja. Namun, jangan lupa bahwa UUD 1945 memerintahkan penyelenggara negara untuk menjamin hak rakyat untuk kebebasan berserikat. Jadi, tidak mungkin UU bertentangan dengan UUD.
Revisi memuat sejumlah tujuan ideal. Ormas harus taat pada hukum positif. Hak warga bagi kebebasan berserikat dan berkumpul tidak boleh melanggar hak warga lain. Ketika ormas mulai memperlihatkan kecenderungan memaksakan pandangan atau sistem nilai tertentu, negara wajib hadir untuk mencegah tirani ormas.
Ketua Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
KEBEBASAN berserikat jangan sampai mendorong rakyat terkotak-kotak. Kini saatnya bagi negara bersikap tegas guna menghentikan kecenderungan pengotak-kotakan itu. Hak rakyat membentuk organisasi kemasyarakatan (ormas) harus tetap dihormati, namun semua instrumen negara di bidang penegakan hukum harus menjalankan fungsinya dengan efektif untuk mencegah tirani ormas.
Fakta-fakta yang mengemuka dalam beberapa pekan belakangan ini sangat memprihatinkan sebab kebebasan berserikat membentuk ormas telah mengarah ke jalan yang nyaris salah. Kesalahan itu memang belum terlalu parah karena hanya melibatkan sejumlah orang yang nyata-nyata tidak mencerminkan perilaku mayoritas rakyat Indonesia.
Namun, kesalahan yang relatif masih kecil itu harus segera diluruskan agar perilaku semua ormas di negara ini selalu berpijak pada hukum positif dan tidak mengingkari, apalagi menista keragaman akar budaya seluruh rakyat Indonesia.
Kesalahan-kesalahan kecil perilaku beberapa ormas sebenarnya sudah terlihat sejak lama, yang ditandai dengan memaksakan kebenaran menurut versi ormas tertentu. Namun, ekses dari rangkaian kesalahan kecil itu mulai menimbulkan rasa cemas berbagai elemen masyarakat ketika massa Front Pembela Islam (FPI) bentrok dengan massa ormas Gerakan Mahasiswa Bawah Indonesia (GMBI) di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, Kamis 12 Januari 2017.
Bentrok di Bandung itu berlanjut dengan perusakan dan pembakaran Sekretariat GMBI di Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jumat 13 Januari 2017 dini hari. Dalam kasus ini, polisi menangkap 20 orang terduga pelaku pembakaran. Namun, fakta yang sangat memprihatinkan adalah tujuh di antaranya anak di bawah umur.
Setelah dua peristiwa itu, arus tuntutan menolak ormas seperti FPI dan GMBI mulai disuarakan di sejumlah tempat. Ratusan warga Suku Dayak dari berbagai organisasi yang tergabung di Forum Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah (FMAD-KT) menggelar aksi turun ke jalan meminta FPI dibubarkan.
Di Garut, Jawa Barat, Himpunan Santri Garut atau Hisgar mendatangi Gedung DPRD Garut menuntut pembubaran GMBI. Sedangkan di Bangka Belitung, pengurus Gerakan Pemuda Ansor juga menolak FPI. GP Ansor Kepulauan Bangka Belitung mendesak gubernur dan penegak hukum tidak memberi ruang bagi ormas yang intoleran dan anti-Pancasila.
Tidak ada yang salah dengan prinsip kebebasan berserikat atau menjadi anggota ormas yang berbadan hukum. Namun, ormas akan dikecam jika perilakunya tidak sejalan dengan hukum positif, apalagi memaksakan kehendak atau sistem nilai lain yang bertentangan dengan hukum positif itu sendiri maupun dengan norma-norma positif di tengah masyarakat yang bersumber dari kearifan budaya masyarakat setempat.
Ormas tidak punya kompetensi untuk menyatakan suatu kebenaran sebagai hal yang mutlak dan harus diterima apa adanya oleh orang lain. Sebab, ormas hanya beranggotakan manusia-manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Ketika sebuah ormas sudah bertindak dan bersikap melampaui hak dan kewajibannya, dia akan kehilangan simpati dari mayoritas publik. Ketika ormas dengan perilaku demikian mendapatkan pembiaran, akan muncul atau dimunculkan ormas lain sebagai penangkal.
Menjadi masalah serius bagi negara dan pemerintah jika ormas-ormas yang saling bertentangan itu mendorong terjadi pengotak-kotakan masyarakat. Kelompok warga A sebagai simpatisan ormas tertentu, dan kelompok warga B sebagai simpatisan ormas lainnya. Ketika pengotak-kotakan yang demikian terjadi dan dibiarkan, itu benih konflik horizontal.
Bentrok FPI dan GMBI di Bandung patut dilihat sebagai benih konflik horizontal itu. Itulah sebabnya, sejumlah elemen masyarakat mencemaskan kecenderungan itu. Kebebasan berserikat atau membentuk ormas seharusnya tidak disalahgunakan atau disalahtafsirkan. Perilaku ormas pun tidak boleh mengarah pada sentimen memecah belah kerukunan dan kebersamaan masyarakat.
Perbaiki Kesalahan
Upaya memecah belah itu mulai terlihat ketika kelompok tertentu didorong untuk menilai kelompok lain. Hal ini tentu akan membangkitkan semangat perlawanan dari pihak-pihak yang lain.
Peristiwa yang menggambarkan sikap penolakan puluhan warga Kalimantan Barat atas kedatangan seorang pejabat Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Bandara Susilo, Sintang, sungguh sangat memprihatinkan. Warga setempat menolak karena merasa pernah dilecehkan oleh yang bersangkutan.
Sedangkan di Jakarta dan Bandung, polisi harus menampung hujan laporan dari berbagai elemen masyarakat karena seorang pemuka agama dinilai melakukan penistaan. Sementara polisi masih memproses semua laporan itu, muncul lagi kasus baru tentang penodaan lambang negara. Seorang pemuda ditangkap karena membawa bendera RI bertuliskan Arab saat FPI melakukan demo.
Untuk rangkaian kasus itu, jangan dulu mempersoalkan siapa salah siapa benar. Faktor yang menjadi keprihatinan mayoritas masyarakat adalah kenyataan bahwa suasananya menjadi kurang kondusif akibat persoalan atau kesalahan kecil yang tak perlu. Ruang publik menjadi sarat dengan tindakan saling hujat dan pelampiasan kebencian.
Jika semua elemen masyarakat tidak bisa menahan diri, keadaan bisa menjadi sulit dikendalikan. Dalam suasana yang belum nyaman itu, masyarakat tiba-tiba disuguhi berita tentang pertemuan seorang anggota MUI dan rombongannya dengan Presiden Israel Reuven Rivlin.
Seperti diketahui, sebuah berita plus foto yang dilansir Kementerian Luar Negeri Israel memperlihatkan pertemuan Presiden Israel dengan anggota Komisi Pemberdayaan Perempuan, Remaja, dan Keluarga MUI, Istibsyaroh, dan rombongan yang dipimpinnya. Foto memperlihatkan Istibsyaroh duduk di samping Rivlin.
Publikasi berita dan foto tentang Istibsyaroh-Rivlin oleh Pemerintah Israel itu hendaknya tidak dilihat sebagai informasi belaka. Bukan tidak mungkin Israel punya tujuan lain.
Agen-agen Mossad di Asia tentu melihat dan mempelajari dinamika masyarakat Indonesia sejak Oktober 2016 hingga Januari 2017. Mungkin saja publikasi itu bertujuan mempermalukan masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai pendukung Palestina dan anti-Israel.
Kalau semua pihak tidak bisa menahan diri, MUI akan menjadi sasaran kecaman. Di mata publik, kredibilitas MUI akan runtuh.
Kasus ini bahkan bisa menambah rumit persoalan yang sedang berkembang hingga akhir-akhir ini. Beruntung bahwa masyarakat mau memahami pemberitaan tentang Istibsyaroh-Rivlin itu dengan pikiran jernih sehingga kesalahpahaman bisa dihindari.
Intinya, segala sesuatu yang mengemuka akhir-akhir ini sedikit-banyak disebabkan oleh kebebasan berserikat yang nyaris salah langkah. Kesalahan-kesalahan kecil itu harus segera diperbaiki melalui peraturan perundang-undangan.
Saat ini rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) sedang dibahas di DPR. RUU Ormas merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas.
Wajar jika revisi UU Ormas menimbulkan pro-kontra. Para penggiat HAM khawatir revisi itu akan membatasi hak warga negara untuk berserikat. Kekhawatiran seperti itu wajar saja. Namun, jangan lupa bahwa UUD 1945 memerintahkan penyelenggara negara untuk menjamin hak rakyat untuk kebebasan berserikat. Jadi, tidak mungkin UU bertentangan dengan UUD.
Revisi memuat sejumlah tujuan ideal. Ormas harus taat pada hukum positif. Hak warga bagi kebebasan berserikat dan berkumpul tidak boleh melanggar hak warga lain. Ketika ormas mulai memperlihatkan kecenderungan memaksakan pandangan atau sistem nilai tertentu, negara wajib hadir untuk mencegah tirani ormas.
(poe)