Belajar dari Mantan Presiden
A
A
A
MENTERI Sekretaris Negara Pratikno mengatakan salah satu cara para mantan presiden untuk bertemu Presiden Jokowi adalah melalui surat permohonan atau telepon langsung kepada dirinya.
Menurut mantan Rektor Universitas Gadjah Mada itu, jika ada permohonan dari para mantan presiden untuk bertemu atau berdiskusi dengan Presiden Jokowi, akan segera ditindaklanjuti. Pernyataan Pratikno disampaikan seusai Presiden Jokowi menerima Presiden RI Ke-3 BJ Habibie dan Wapres RI Ke-6 Try Sutrisno.
Pertemuan antara Presiden Jokowi dan BJ Habibie di Istana Merdeka, Kamis 19 Januari 2017, bukan merupakan pertemuan pertama atau kedua, melainkan pertemuan kesekian kalinya. Keduanya memberikan contoh yang sangat baik bagi masyarakat sekaligus dunia politik.
Pertemuan sekalipun singkat akan tetap membawa kehangatan dan kesejukan. Rakyat pun akan sungkan untuk berselisih karena pemimpinnya memberikan contoh kedamaian.
Setiap pemilu dan pilpres rakyat akan secara langsung dihadap-hadapkan dan kerap memicu perselisihan. Semua itu karena rakyat yakin kepada calon pemimpin yang dijagokan.
Kondisi akan kembali tenang bila calon yang menang bisa melupakan perselisihan dan bersama mantan lawannya saling bergandengan tangan. Pertemuan yang menyejukkan itu telah diciptakan oleh Presiden Jokowi dengan Prabowo Subianto yang pernah menjadi pesaingnya di Pilpres 2014.
Sayangnya, hal itu tidak dilakukan Jokowi dengan para mantan presiden RI. Saat ini, selain BJ Habibie dan Megawati Soekarnoputri selaku presiden RI ke-5, Presiden Jokowi harus ingat masih ada Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hubungan Presiden Jokowi dengan Megawati tidak usah dipersoalkan karena keduanya tentu memiliki hubungan lebih istimewa. Jokowi menjadi presiden atas restu dan kehendak Megawati melalui kendaraan partainya, PDI Perjuangan.
Harus diingat, massa pendukung Megawati, SBY, dan Prabowo yang masing-masing partainya mengikuti pilpres memiliki pendukung yang tidak sedikit. Dari Sabang sampai Merauke, jutaan rakyat Indonesia memilih barisannya dalam mencari pemimpin.
Meski pemimpinnya tidak maju lagi dalam pilpres, sisa massa yang terkotak-kotak itu masih sangat lekat. Mereka menunggu siapa pun yang mendapat tongkat estafet dari pemimpin yang telah dikaguminya, untuk kemudian melanjutkan memberikan dukungan.
Inilah yang harus dijaga oleh pemimpin yang tengah berkuasa. Menjaga kerukunan, kesolidan, ketenangan, dan kepercayaan dari rakyat yang telah terkotak-kotak karena pilihan yang berbeda.
BJ Habibie menjabat sebagai presiden selama 17 bulan pasca-Soeharto dilengserkan. Meski memiliki masa jabatan yang singkat, Presiden Jokowi berulangkali berdiskusi mengenai kondisi di negeri ini hingga urusan teknologi.
Namun, dengan SBY, Presiden Jokowi tercatat baru satu kali menggelar silaturahmi pada 8 Desember 2014. Itu pun menerima SBY selaku ketua Global Green Growth Institute.
SBY adalah presiden pertama pascareformasi yang menjalankan dua kali pemerintahan secara berturut-turut atau 10 tahun menjabat. Tentu banyak persoalan bangsa yang dihadapi terutama dalam menjaga persatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terlepas dari kekurangan dan apa pun yang belum dicapai oleh pemerintahannya, SBY bisa menjaga masyarakat tidak terpecah seperti kondisi saat ini. Kecanggihan teknologi juga berperan menjadi motor yang dapat menggerakkan masyarakat mudah terpecah belah, saling hasut, memelihara hoax, dan intoleransi.
Semua itu tidak akan pernah terjadi bila pemimpin dan mantan para pemimpin memelihara komunikasi dan silaturahmi. Tidak perlu meninggikan ego dan gengsi karena risiko yang harus dibayar ke masyarakat adalah perpecahan.
Sebagai orang timur yang memiliki kesantunan, ada nasihat mengatakan, yang muda haruslah mendatangi yang tua dan yang tua membimbing yang muda. Maka itu, selaku pemimpin etika kesantunan harus digunakan untuk merekat persaudaraan.
Bila kesadaran beretika dijalankan, tidak perlu lagi seorang mantan presiden mengajukan surat permohonan untuk sebuah pertemuan. Presiden memiliki ajudan dan orang kepercayaan untuk menjadi utusan.
Terlepas dari sejarah buruknya komunikasi antarmantan presiden beberapa waktu lalu, sebaiknya tidak diikuti oleh para pemimpin saat ini. Kepala negara harus menjadi contoh rakyatnya dalam menjaga kerukunan dan persatuan. Tidak ada salahnya belajar dari sejarah yang telah menciptakan sejarah itu secara langsung, yaitu dari para mantan presiden.
Menurut mantan Rektor Universitas Gadjah Mada itu, jika ada permohonan dari para mantan presiden untuk bertemu atau berdiskusi dengan Presiden Jokowi, akan segera ditindaklanjuti. Pernyataan Pratikno disampaikan seusai Presiden Jokowi menerima Presiden RI Ke-3 BJ Habibie dan Wapres RI Ke-6 Try Sutrisno.
Pertemuan antara Presiden Jokowi dan BJ Habibie di Istana Merdeka, Kamis 19 Januari 2017, bukan merupakan pertemuan pertama atau kedua, melainkan pertemuan kesekian kalinya. Keduanya memberikan contoh yang sangat baik bagi masyarakat sekaligus dunia politik.
Pertemuan sekalipun singkat akan tetap membawa kehangatan dan kesejukan. Rakyat pun akan sungkan untuk berselisih karena pemimpinnya memberikan contoh kedamaian.
Setiap pemilu dan pilpres rakyat akan secara langsung dihadap-hadapkan dan kerap memicu perselisihan. Semua itu karena rakyat yakin kepada calon pemimpin yang dijagokan.
Kondisi akan kembali tenang bila calon yang menang bisa melupakan perselisihan dan bersama mantan lawannya saling bergandengan tangan. Pertemuan yang menyejukkan itu telah diciptakan oleh Presiden Jokowi dengan Prabowo Subianto yang pernah menjadi pesaingnya di Pilpres 2014.
Sayangnya, hal itu tidak dilakukan Jokowi dengan para mantan presiden RI. Saat ini, selain BJ Habibie dan Megawati Soekarnoputri selaku presiden RI ke-5, Presiden Jokowi harus ingat masih ada Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hubungan Presiden Jokowi dengan Megawati tidak usah dipersoalkan karena keduanya tentu memiliki hubungan lebih istimewa. Jokowi menjadi presiden atas restu dan kehendak Megawati melalui kendaraan partainya, PDI Perjuangan.
Harus diingat, massa pendukung Megawati, SBY, dan Prabowo yang masing-masing partainya mengikuti pilpres memiliki pendukung yang tidak sedikit. Dari Sabang sampai Merauke, jutaan rakyat Indonesia memilih barisannya dalam mencari pemimpin.
Meski pemimpinnya tidak maju lagi dalam pilpres, sisa massa yang terkotak-kotak itu masih sangat lekat. Mereka menunggu siapa pun yang mendapat tongkat estafet dari pemimpin yang telah dikaguminya, untuk kemudian melanjutkan memberikan dukungan.
Inilah yang harus dijaga oleh pemimpin yang tengah berkuasa. Menjaga kerukunan, kesolidan, ketenangan, dan kepercayaan dari rakyat yang telah terkotak-kotak karena pilihan yang berbeda.
BJ Habibie menjabat sebagai presiden selama 17 bulan pasca-Soeharto dilengserkan. Meski memiliki masa jabatan yang singkat, Presiden Jokowi berulangkali berdiskusi mengenai kondisi di negeri ini hingga urusan teknologi.
Namun, dengan SBY, Presiden Jokowi tercatat baru satu kali menggelar silaturahmi pada 8 Desember 2014. Itu pun menerima SBY selaku ketua Global Green Growth Institute.
SBY adalah presiden pertama pascareformasi yang menjalankan dua kali pemerintahan secara berturut-turut atau 10 tahun menjabat. Tentu banyak persoalan bangsa yang dihadapi terutama dalam menjaga persatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terlepas dari kekurangan dan apa pun yang belum dicapai oleh pemerintahannya, SBY bisa menjaga masyarakat tidak terpecah seperti kondisi saat ini. Kecanggihan teknologi juga berperan menjadi motor yang dapat menggerakkan masyarakat mudah terpecah belah, saling hasut, memelihara hoax, dan intoleransi.
Semua itu tidak akan pernah terjadi bila pemimpin dan mantan para pemimpin memelihara komunikasi dan silaturahmi. Tidak perlu meninggikan ego dan gengsi karena risiko yang harus dibayar ke masyarakat adalah perpecahan.
Sebagai orang timur yang memiliki kesantunan, ada nasihat mengatakan, yang muda haruslah mendatangi yang tua dan yang tua membimbing yang muda. Maka itu, selaku pemimpin etika kesantunan harus digunakan untuk merekat persaudaraan.
Bila kesadaran beretika dijalankan, tidak perlu lagi seorang mantan presiden mengajukan surat permohonan untuk sebuah pertemuan. Presiden memiliki ajudan dan orang kepercayaan untuk menjadi utusan.
Terlepas dari sejarah buruknya komunikasi antarmantan presiden beberapa waktu lalu, sebaiknya tidak diikuti oleh para pemimpin saat ini. Kepala negara harus menjadi contoh rakyatnya dalam menjaga kerukunan dan persatuan. Tidak ada salahnya belajar dari sejarah yang telah menciptakan sejarah itu secara langsung, yaitu dari para mantan presiden.
(poe)