Panggung dan Podium
A
A
A
PIDATO dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak. Arti lainnya adalah wacana yang disiapkan untuk diucapkan di depan khalayak.
Durasi atau lama waktu seseorang dalam berpidato biasanya tentatif, terkait dengan materi yang akan disampaikan. Apakah materi itu berupa pemaparan suatu proyek, rencana kerja, visi misi, pencapaian kinerja, program kementerian/lembaga dll, tentu semua itu sangat substantif.
Biasanya seseorang yang akan berpidato memiliki dua cara, yaitu membaca teks yang telah dipersiapkan atau berbicara lepas karena telah menguasai materi yang akan disampaikan dengan membuat catatan penting pada secarik kertas.
Seseorang yang menyiapkan teks pidato tentu akan memilih tema sesuai kegiatan acara yang berlangsung dan menyesuaikan isi pesan yang akan disampaikan kepada para audiens yang hadir. Siapa pun yang berdiri di belakang podium berupaya fokus pada materi yang disampaikan hingga mendapatkan perhatian pendengarnya.
Yang diharapkan tentu saja audiens menangkap pesan yang disampaikan dan bisa mengimplementasikan wejangan yang telah dipaparkan. Tentu semua kepuasan berpidato itu tidak terukur dalam waktu yang dibatasi karena semua terfokus pada isi materi.
Pidato pejabat negara menjadi kunci penting suksesnya pembangunan yang akan dijalankan dan menjadi pecut untuk bekerja sesuai rencana. Apalagi bila sambutan yang disampaikan menyangkut pembenahan mental pegawai, yang diikuti dengan pemberian penghargaan (reward) dan ganjaran (punishment).
Berapa waktu ideal yang harus digunakan? Tidak ada yang bisa merangkumnya dalam waktu singkat. Bila memang bisa dipersingkat, pidato yang menjadi kesempatan untuk membuat perubahan menjadi kehilangan marwahnya.
Kenyataan seperti itulah yang kini harus dihadapi jajaran Kabinet Kerja. Pembatasan waktu pidato itu tercantum dalam surat B750/Seskab/Polhukam/12/2016/mengenai Ketentuan Sambutan Menteri/Pimpinan Lembaga pada kegiatan yang dihadiri presiden.
Surat tersebut dikeluarkan pada 23 Desember 2016 dan ditandatangani Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Mengacu pada kegiatan presiden sebelumnya, setiap pejabat yang mengisi pidato atau sambutan sebelum presiden terlebih dulu harus menyerahkan materi pidato kepada pihak protokol. Hal itu untuk mengetahui apakah isi materi sesuai substansi dan sekaligus mengukur durasi.
Bila dalam pelaksanaannya pejabat terkait melebihi waktu yang disiapkan protokol, maka protokol dinas akan menegurnya secara halus melalui sebuah pesan seperti memberikan secarik kertas ke panggung atau memberikan sinyal dari sisi depan panggung yang bisa dilihat oleh pejabat tersebut bahwa waktu pidato telah berakhir.
Semua pidato dalam kegiatan yang dihadiri kepala negara menjadi kegiatan yang berkualitas dan dapat mengubah masa depan suatu bangsa. Acara yang akan dihadiri presiden secara selektif dipilih oleh orang-orang terdekat presiden, kemudian dilanjutkan proses pelaksanaannya oleh protokol.
Pada umumnya kegiatan yang dihadiri presiden menjadi sebuah panggung istimewa selama hampir satu jam. Selain pidato, acara juga diisi dengan pemberian penghargaan atau pertunjukan kesenian sekitar 10 menit.
Bila setiap menteri dan penyelenggara acara hanya diberi waktu tampil masing-masing 7 menit, itu berarti presiden memiliki waktu lebih 36 menit untuk menguasai podium.
Namun bila surat edaran diterbitkan untuk mempersingkat kegiatan dengan alasan keterbatasan waktu, apakah presiden memang tidak memiliki rundown yang jelas dalam menyusun acara harian? Karena semua kegiatan presiden tentu telah direncanakan dengan sangat cermat sehingga tidak membuat siapa pun yang akan bertemu harus menunggu.
Terbitnya surat edaran itu tetap menjadi sebuah keunikan dalam sejarah pemerintahan, terlepas dari apa pun yang melatari lahirnya pembatasan. Menjadi pertanyaan apakah Presiden merasa tidak nyaman melihat menterinya berlama-lama di podium atau memang Presiden yang ingin menguasai panggung? Mari kita lihat ke depan bagaimana implementasi kebijakan itu dijalankan dalam kegiatan pemerintahan.
Durasi atau lama waktu seseorang dalam berpidato biasanya tentatif, terkait dengan materi yang akan disampaikan. Apakah materi itu berupa pemaparan suatu proyek, rencana kerja, visi misi, pencapaian kinerja, program kementerian/lembaga dll, tentu semua itu sangat substantif.
Biasanya seseorang yang akan berpidato memiliki dua cara, yaitu membaca teks yang telah dipersiapkan atau berbicara lepas karena telah menguasai materi yang akan disampaikan dengan membuat catatan penting pada secarik kertas.
Seseorang yang menyiapkan teks pidato tentu akan memilih tema sesuai kegiatan acara yang berlangsung dan menyesuaikan isi pesan yang akan disampaikan kepada para audiens yang hadir. Siapa pun yang berdiri di belakang podium berupaya fokus pada materi yang disampaikan hingga mendapatkan perhatian pendengarnya.
Yang diharapkan tentu saja audiens menangkap pesan yang disampaikan dan bisa mengimplementasikan wejangan yang telah dipaparkan. Tentu semua kepuasan berpidato itu tidak terukur dalam waktu yang dibatasi karena semua terfokus pada isi materi.
Pidato pejabat negara menjadi kunci penting suksesnya pembangunan yang akan dijalankan dan menjadi pecut untuk bekerja sesuai rencana. Apalagi bila sambutan yang disampaikan menyangkut pembenahan mental pegawai, yang diikuti dengan pemberian penghargaan (reward) dan ganjaran (punishment).
Berapa waktu ideal yang harus digunakan? Tidak ada yang bisa merangkumnya dalam waktu singkat. Bila memang bisa dipersingkat, pidato yang menjadi kesempatan untuk membuat perubahan menjadi kehilangan marwahnya.
Kenyataan seperti itulah yang kini harus dihadapi jajaran Kabinet Kerja. Pembatasan waktu pidato itu tercantum dalam surat B750/Seskab/Polhukam/12/2016/mengenai Ketentuan Sambutan Menteri/Pimpinan Lembaga pada kegiatan yang dihadiri presiden.
Surat tersebut dikeluarkan pada 23 Desember 2016 dan ditandatangani Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Mengacu pada kegiatan presiden sebelumnya, setiap pejabat yang mengisi pidato atau sambutan sebelum presiden terlebih dulu harus menyerahkan materi pidato kepada pihak protokol. Hal itu untuk mengetahui apakah isi materi sesuai substansi dan sekaligus mengukur durasi.
Bila dalam pelaksanaannya pejabat terkait melebihi waktu yang disiapkan protokol, maka protokol dinas akan menegurnya secara halus melalui sebuah pesan seperti memberikan secarik kertas ke panggung atau memberikan sinyal dari sisi depan panggung yang bisa dilihat oleh pejabat tersebut bahwa waktu pidato telah berakhir.
Semua pidato dalam kegiatan yang dihadiri kepala negara menjadi kegiatan yang berkualitas dan dapat mengubah masa depan suatu bangsa. Acara yang akan dihadiri presiden secara selektif dipilih oleh orang-orang terdekat presiden, kemudian dilanjutkan proses pelaksanaannya oleh protokol.
Pada umumnya kegiatan yang dihadiri presiden menjadi sebuah panggung istimewa selama hampir satu jam. Selain pidato, acara juga diisi dengan pemberian penghargaan atau pertunjukan kesenian sekitar 10 menit.
Bila setiap menteri dan penyelenggara acara hanya diberi waktu tampil masing-masing 7 menit, itu berarti presiden memiliki waktu lebih 36 menit untuk menguasai podium.
Namun bila surat edaran diterbitkan untuk mempersingkat kegiatan dengan alasan keterbatasan waktu, apakah presiden memang tidak memiliki rundown yang jelas dalam menyusun acara harian? Karena semua kegiatan presiden tentu telah direncanakan dengan sangat cermat sehingga tidak membuat siapa pun yang akan bertemu harus menunggu.
Terbitnya surat edaran itu tetap menjadi sebuah keunikan dalam sejarah pemerintahan, terlepas dari apa pun yang melatari lahirnya pembatasan. Menjadi pertanyaan apakah Presiden merasa tidak nyaman melihat menterinya berlama-lama di podium atau memang Presiden yang ingin menguasai panggung? Mari kita lihat ke depan bagaimana implementasi kebijakan itu dijalankan dalam kegiatan pemerintahan.
(poe)