Merasa Dirugikan, Said Aqil Laporkan Media ke Dewan Pers
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj bersama para Advokat dan Konsultan Hukum pada Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU), melaporkan sebuah media cetak dan online ke Dewan Pers.
Ada beberapa poin yang menjadi dasar pelaporan Said Aqil terhadap media tersebut ke Dewan Pers. Pertama pada 1 Agustus 2015, Said Aqil, diberitakan terlibat penjualan tanah untuk gedung seminar di Malang.
"Berita ini didasarkan pada wawancara dengan narasumber Ketua Forum Independen Masyarakat Malang (FIMM), Subaryo. Pemuatan berita dilakukan tanpa lebih dahulu konfirmasi, klarifikasi, atau cross check ke KH Said Aqil Siroj," kata Tim Kuasa Hukum Robikin Emhas, Selasa (17/1/2017).
Kemudian pada 23 Juli 2016 Subaryo membuat surat bantahan yang menyatakan dia tidak pernah membuat pernyataan itu dan tidak pernah diwawancarai oleh media tersebut.
Pada 26-27 Desember 2016 media ini menurunkan berita bahwa keluarga korban penjualan tanah tersebut merasa ditipu oleh Said Aqil Siroj, dengan narasumber Lutfi Abdul Hadi. Salah satu pernyataan narasumber yang dikutip adalah bahwa Said Aqil kejam.
Pemuatan berita ini pun tanpa ada konfirmasi dan cross check kepada Said Aqil. Pada 29 Desember 2016 terdapat klarifikasi yang dilakukan oleh pembeli tanah yang bersangkutan, Denny Syaifullah, sebagaimana tertuang dalam surat pernyataan bertanggal 29 Desember 2016.
"Yang menyatakan bahwa Said Aqil tidak ada kaitan dengan proses jual beli tanah dimaksud," ucap Robikin.
Pada 13 Januari 2017, Lutfi Abdul Hadi yang merupakan narasumber pemberitaan di media tersebut dan Imam Muslimin, membuat pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa apa yang disampaikan mengenai Said Aqil, adalah berdasarkan testimoni yang tidak benar.
Bahwa terkait dengan pemberitaan terhadap Said Aqil Siroj, sejak awal kemunculan berita, yaitu pada 1 Agustus 2015, tidak pernah dilakukan klarifikasi kepada Said Aqil.
Sumber (narasumber) berita media tersebut bukan merupakan sumber primer, karena bukan pembeli dan penjual tanah yang dijadikan narasumber, namun orang lain yang tidak ada kaitan langsung dengan proses jual beli tanah.
Tim kuasa hukum Said Aqil menegaskan, tindakan media tersebut jelas menyalahi prinsip jurnalistik. Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menegaskan, bahwa Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
"Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan," tutur Robikin.
Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Bahwa pemberitaan Said Aqil dilakukan tanpa pengujian, tidak ada proses check and recheck tentang kebenaran informasi. Media tersebut tidak menelusuri berita sampai ke sumber primer, yaitu penjual dan pembeli tanah.
"Klarifikasi yang dilakukan oleh Subaryo, penjual dan pembeli tanah menunjukan bahwa berita-berita tersebut tidak diuji terlebih dahulu sebelum dimuat menjadi berita," tegas Robikin.
Seiring dengan itu, hal ini juga menunjukkan bahwa pemberitaan media tersebut tidak berimbang, tidak cover both side, atau pemberitaan hanya dilakukan berdasarkan informasi sepihak yang kemudian dibungkus dalam opini interpretatif yang cenderung menghakimi dan melanggar prinsip praduga tak bersalah.
Bahwa dengan adanya klarifikasi oleh Subaryo, dan pembeli tanah (Denny Syaifullah) yang yang pada pokoknya membantah kebenaran pemberitaan di media tersebut, serta pernyataan Lutfi Abdul Hadi maupun Imam Muslimin, maka pemberitaan itu dapat dikualifikasi sebagai berita bohong dan fitnah.
"Hal mana bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik, di mana Wartawan Indonesia dilarang membuat berita bohong dan fitnah," tegasnya.
Selain itu, pemberitaan yang dilakukan terhadap Said Aqil, sesungguhnya bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 KEJ, yang menegaskan bahwa Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Tidak beriktikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
"Bahwa Pemberitaan terhadap Said Aqil dilakukan secara tidak akurat, tidak obyektif, tidak berimbang dan merugikan Said Aqil, membuktikan adanya iktikad buruk dengan sengaja menimbulkan kerugian di pihak Said Aqil," ungkapnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kami mohon kepada Dewan Pers untuk memeriksa aduan laporan ini dan menyatakan media tersebut telah melanggar KEJ.
Ada beberapa poin yang menjadi dasar pelaporan Said Aqil terhadap media tersebut ke Dewan Pers. Pertama pada 1 Agustus 2015, Said Aqil, diberitakan terlibat penjualan tanah untuk gedung seminar di Malang.
"Berita ini didasarkan pada wawancara dengan narasumber Ketua Forum Independen Masyarakat Malang (FIMM), Subaryo. Pemuatan berita dilakukan tanpa lebih dahulu konfirmasi, klarifikasi, atau cross check ke KH Said Aqil Siroj," kata Tim Kuasa Hukum Robikin Emhas, Selasa (17/1/2017).
Kemudian pada 23 Juli 2016 Subaryo membuat surat bantahan yang menyatakan dia tidak pernah membuat pernyataan itu dan tidak pernah diwawancarai oleh media tersebut.
Pada 26-27 Desember 2016 media ini menurunkan berita bahwa keluarga korban penjualan tanah tersebut merasa ditipu oleh Said Aqil Siroj, dengan narasumber Lutfi Abdul Hadi. Salah satu pernyataan narasumber yang dikutip adalah bahwa Said Aqil kejam.
Pemuatan berita ini pun tanpa ada konfirmasi dan cross check kepada Said Aqil. Pada 29 Desember 2016 terdapat klarifikasi yang dilakukan oleh pembeli tanah yang bersangkutan, Denny Syaifullah, sebagaimana tertuang dalam surat pernyataan bertanggal 29 Desember 2016.
"Yang menyatakan bahwa Said Aqil tidak ada kaitan dengan proses jual beli tanah dimaksud," ucap Robikin.
Pada 13 Januari 2017, Lutfi Abdul Hadi yang merupakan narasumber pemberitaan di media tersebut dan Imam Muslimin, membuat pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa apa yang disampaikan mengenai Said Aqil, adalah berdasarkan testimoni yang tidak benar.
Bahwa terkait dengan pemberitaan terhadap Said Aqil Siroj, sejak awal kemunculan berita, yaitu pada 1 Agustus 2015, tidak pernah dilakukan klarifikasi kepada Said Aqil.
Sumber (narasumber) berita media tersebut bukan merupakan sumber primer, karena bukan pembeli dan penjual tanah yang dijadikan narasumber, namun orang lain yang tidak ada kaitan langsung dengan proses jual beli tanah.
Tim kuasa hukum Said Aqil menegaskan, tindakan media tersebut jelas menyalahi prinsip jurnalistik. Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menegaskan, bahwa Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
"Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan," tutur Robikin.
Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Bahwa pemberitaan Said Aqil dilakukan tanpa pengujian, tidak ada proses check and recheck tentang kebenaran informasi. Media tersebut tidak menelusuri berita sampai ke sumber primer, yaitu penjual dan pembeli tanah.
"Klarifikasi yang dilakukan oleh Subaryo, penjual dan pembeli tanah menunjukan bahwa berita-berita tersebut tidak diuji terlebih dahulu sebelum dimuat menjadi berita," tegas Robikin.
Seiring dengan itu, hal ini juga menunjukkan bahwa pemberitaan media tersebut tidak berimbang, tidak cover both side, atau pemberitaan hanya dilakukan berdasarkan informasi sepihak yang kemudian dibungkus dalam opini interpretatif yang cenderung menghakimi dan melanggar prinsip praduga tak bersalah.
Bahwa dengan adanya klarifikasi oleh Subaryo, dan pembeli tanah (Denny Syaifullah) yang yang pada pokoknya membantah kebenaran pemberitaan di media tersebut, serta pernyataan Lutfi Abdul Hadi maupun Imam Muslimin, maka pemberitaan itu dapat dikualifikasi sebagai berita bohong dan fitnah.
"Hal mana bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik, di mana Wartawan Indonesia dilarang membuat berita bohong dan fitnah," tegasnya.
Selain itu, pemberitaan yang dilakukan terhadap Said Aqil, sesungguhnya bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 KEJ, yang menegaskan bahwa Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Tidak beriktikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
"Bahwa Pemberitaan terhadap Said Aqil dilakukan secara tidak akurat, tidak obyektif, tidak berimbang dan merugikan Said Aqil, membuktikan adanya iktikad buruk dengan sengaja menimbulkan kerugian di pihak Said Aqil," ungkapnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kami mohon kepada Dewan Pers untuk memeriksa aduan laporan ini dan menyatakan media tersebut telah melanggar KEJ.
(maf)