Jepang dan Indonesia di Asia
A
A
A
Prof Dr Tirta N Mursitama PhD
Ketua Departemen Hubungan Internasional BINUS University,
Alumnus Gakushuin University, Tokyo, Jepang
PERDANA Menteri Jepang Shinzo Abe melakukan lawatan ke Indonesia, 14–16 Januari 2016. Pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor layaknya kunjungan protokoler kenegaraan dua negara menghasilkan hal-hal yang positif. Bagaimana kita memaknai kunjungan Abe kali ini dalam konteks bilateral maupun regional?
Pada tataran global dan regional, tentu tak bisa dinafikan bahwa Abe berusaha menunjukkan peran Jepang yang lebih asertif sebagai jawaban dari sinyal Donald Trump, presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, dengan berbagai rencana kebijakan kontroversialnya di Asia.
AS “membiarkan” Jepang bertarung dengan China di Asia dan Korea Selatan yang kadang-kadang Negeri Ginseng ini menjadi duri dalam daging dalam konstelasi di Asia Timur.
Secara bilateral, kunjungan Abe bila ditinjau dari simbol-simbol diplomatik, menunjukkan kedekatan antara Jepang dan Indonesia. Paling tidak pertemuan ini adalah yang keenam selama keduanya dalam tampuk kepemimpinan atau keempat kali dalam dua tahun terakhir.
Namun, dalam hubungan internasional makna di balik simbol itu juga tidak kalah penting. Dari sisi ekonomi tak diragukan komitmen investasi Jepang ke Indonesia yang masih besar untuk industri automotif, elektronika, energi, dan belakangan di sektor infrastruktur dan pengembangan sektor maritim.
Evaluasi IJEPA
Di antara berbagai agenda yang dibahas dan kesepakatan yang dihasilkan dari pembicaraan Abe dan Jokowi, satu hal yang penting dan strategis adalah evaluasi terhadap Indonesia Japan Economic Partnership (IJEPA). Walau telah berlaku hampir 10 tahun, pelaksanaan IJEPA masih problematik.
Laporan dari kementerian terkait seperti perindustrian menyatakan bahwa pihak Indonesia dirugikan di seluruh sektor pada lima tahun pertama. Misalnya, Indonesia masih lebih banyak mengimpor dari Jepang dibandingkan ekspor ke Jepang.
Di sisi lain, sebuah studi tentang dampak penerapan IJEPA terhadap kinerja ekspor yang dilakukan Setiawan (2014) secara empiris terhadap data ekspor Indonesia ke Jepang dan ekspor Jepang ke Indonesia dengan data 2008-2011 menyimpulkan bahwa kedua negara mendapatkan keuntungan dengan penerapan tarif IJEPA dibandingkan tanpa pemberlakuan IJEPA. Kesimpulannya, ekspor Indonesia meningkat 5,23% per tahun, sedangkan ekspor Jepang hanya mengalami peningkatan yang sangat kecil yaitu 0,46% per tahun.
Namun, jantung dari IJEPA terletak pada penguatan daya saing industri nasional melalui Manufacturing Industrial Development Center (MIDEC). Dari reviu yang dilakukan Kementerian Perindustrian, MIDEC belum berjalan efektif. Sebanyak 13 sektor yang terdiri dari 6 cross sectors dan 7 specific sectors, hanya 5 yang berjalan dengan baik.
Sektor tersebut tiga di bagian cross sectors seperti pengelasan, pencetakan dan pemotongan logam, serta konservasi energi. Sedangkan dua lainnya yaitu elektronika dan otomotif yang termasuk specific sectors.
Dengan demikian, MIDEC yang diberlakukan 2008-2013 tidak menghasilkan prestasi pengembangan kapasitas (capacity building) yang mencolok. Untuk itu, Kementerian Perindustrian (2015) mengusulkan peningkatan infrastruktur manufaktur (improvement of manufacturing industry infrastructure) yang selama ini tidak pernah dipenuhi oleh Jepang padahal tercantum dalam IJEPA.
Selain faktor teknis di atas yang bersifat ilustratif, bila dilihat dari sisi diplomasi, IJEPA telah gagal bersaing dengan berbagai pengaturan institusional ekonomi seperti ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) di Asia Tenggara baik gaungnya maupun dampaknya.
Belum lagi bila dihadapkan dengan kebijakan China yang belakangan ini semakin gencar menawarkan dan melakukan One Belt One Road (OBOR) maupun Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) di level global.
Bagi sebuah negara sebesar Jepang yang ingin atau sedang berusaha memainkan peran yang lebih penting di kawasan dalam konteks geopolitik global dan regional Asia yang sedang tak menentu seperti saat ini, kemampuan memberikan tawaran wacana merupakan faktor kunci. Ide tersebut haruslah menarik, menguntungkan para pihak yang terlibat dan akhirnya diikuti oleh negara-negara di kawasan.
Pengaruh tidak hanya timbul karena penguasaan aspek militer dan teknologi keamanan seperti kepemilikan persenjataan militer canggih dan pasukan yang berketerampilan tinggi, serta keunggulan ekonomi. Namun, sering kali pengaruh muncul dalam bentuk memberikan tawaran wacana (ide) bagaimana tata kelola dunia ini dilakukan.
China sedang kuat-kuatnya di aspek militer dan ekonomi sedangkan ironisnya Jepang tidak mampu melakukannya secara baik paling tidak dalam satu dekade terakhir.
Terobosan
Untuk itu perlu dicari terobosan dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jepang. Kata kuncinya adalah keberhasilan membangun hubungan dengan Indonesia yang sedang sangat dekat dengan China dan masih berpengaruh di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
Bila itu terpenuhi maka Jepang akan merasa lebih aman dan nyaman karena hubungan baik tersebut akan berdampak pada konstelasi regional Asia Tenggara dan Asia yang lebih berimbang.
Pilihannya saat ini ada di Jepang. Akankah Jepang melakukan janji-janji dalam IJEPA yang nanti akan disempurnakan dengan sepenuh hati atau tidak. Pertama, tidak ada cara lain selain mengembangkan kemampuan industri dan teknologi Indonesia untuk mengimbangi ekspansi China yang gencar.
Kekhawatiran perlu tidaknya alih teknologi harus dihentikan karena tidak diperlukan lagi. Yang harus dilakukan Jepang adalah melakukan alih teknologi tersebut dan Indonesia siap merebutnya dengan meningkatkan absorptive capacity-nya, mempersiapkan sistem inovasi nasional termasuk di dalamnya meningkatkan pengeluaran penelitian dan pengembangan (research and development) industri maupun pemerintah secara lebih signifikan.
Kedua, Jepang harus mengubah gaya diplomasinya dengan memanfaatkan para alumni Jepang yang duduk di pemerintahan, industri, komunitas epistemik di perguruan tinggi, maupun kelompok-kelompok masyarakat secara lebih efektif. Melakukan evaluasi atas langkah yang selama ini telah dilakukan dan melaksanakan perbaikan termasuk mencari saluran, jalan dan aktor baru yang mungkin belum mengemuka namun bermanfaat.
Ketua Departemen Hubungan Internasional BINUS University,
Alumnus Gakushuin University, Tokyo, Jepang
PERDANA Menteri Jepang Shinzo Abe melakukan lawatan ke Indonesia, 14–16 Januari 2016. Pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor layaknya kunjungan protokoler kenegaraan dua negara menghasilkan hal-hal yang positif. Bagaimana kita memaknai kunjungan Abe kali ini dalam konteks bilateral maupun regional?
Pada tataran global dan regional, tentu tak bisa dinafikan bahwa Abe berusaha menunjukkan peran Jepang yang lebih asertif sebagai jawaban dari sinyal Donald Trump, presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, dengan berbagai rencana kebijakan kontroversialnya di Asia.
AS “membiarkan” Jepang bertarung dengan China di Asia dan Korea Selatan yang kadang-kadang Negeri Ginseng ini menjadi duri dalam daging dalam konstelasi di Asia Timur.
Secara bilateral, kunjungan Abe bila ditinjau dari simbol-simbol diplomatik, menunjukkan kedekatan antara Jepang dan Indonesia. Paling tidak pertemuan ini adalah yang keenam selama keduanya dalam tampuk kepemimpinan atau keempat kali dalam dua tahun terakhir.
Namun, dalam hubungan internasional makna di balik simbol itu juga tidak kalah penting. Dari sisi ekonomi tak diragukan komitmen investasi Jepang ke Indonesia yang masih besar untuk industri automotif, elektronika, energi, dan belakangan di sektor infrastruktur dan pengembangan sektor maritim.
Evaluasi IJEPA
Di antara berbagai agenda yang dibahas dan kesepakatan yang dihasilkan dari pembicaraan Abe dan Jokowi, satu hal yang penting dan strategis adalah evaluasi terhadap Indonesia Japan Economic Partnership (IJEPA). Walau telah berlaku hampir 10 tahun, pelaksanaan IJEPA masih problematik.
Laporan dari kementerian terkait seperti perindustrian menyatakan bahwa pihak Indonesia dirugikan di seluruh sektor pada lima tahun pertama. Misalnya, Indonesia masih lebih banyak mengimpor dari Jepang dibandingkan ekspor ke Jepang.
Di sisi lain, sebuah studi tentang dampak penerapan IJEPA terhadap kinerja ekspor yang dilakukan Setiawan (2014) secara empiris terhadap data ekspor Indonesia ke Jepang dan ekspor Jepang ke Indonesia dengan data 2008-2011 menyimpulkan bahwa kedua negara mendapatkan keuntungan dengan penerapan tarif IJEPA dibandingkan tanpa pemberlakuan IJEPA. Kesimpulannya, ekspor Indonesia meningkat 5,23% per tahun, sedangkan ekspor Jepang hanya mengalami peningkatan yang sangat kecil yaitu 0,46% per tahun.
Namun, jantung dari IJEPA terletak pada penguatan daya saing industri nasional melalui Manufacturing Industrial Development Center (MIDEC). Dari reviu yang dilakukan Kementerian Perindustrian, MIDEC belum berjalan efektif. Sebanyak 13 sektor yang terdiri dari 6 cross sectors dan 7 specific sectors, hanya 5 yang berjalan dengan baik.
Sektor tersebut tiga di bagian cross sectors seperti pengelasan, pencetakan dan pemotongan logam, serta konservasi energi. Sedangkan dua lainnya yaitu elektronika dan otomotif yang termasuk specific sectors.
Dengan demikian, MIDEC yang diberlakukan 2008-2013 tidak menghasilkan prestasi pengembangan kapasitas (capacity building) yang mencolok. Untuk itu, Kementerian Perindustrian (2015) mengusulkan peningkatan infrastruktur manufaktur (improvement of manufacturing industry infrastructure) yang selama ini tidak pernah dipenuhi oleh Jepang padahal tercantum dalam IJEPA.
Selain faktor teknis di atas yang bersifat ilustratif, bila dilihat dari sisi diplomasi, IJEPA telah gagal bersaing dengan berbagai pengaturan institusional ekonomi seperti ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) di Asia Tenggara baik gaungnya maupun dampaknya.
Belum lagi bila dihadapkan dengan kebijakan China yang belakangan ini semakin gencar menawarkan dan melakukan One Belt One Road (OBOR) maupun Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) di level global.
Bagi sebuah negara sebesar Jepang yang ingin atau sedang berusaha memainkan peran yang lebih penting di kawasan dalam konteks geopolitik global dan regional Asia yang sedang tak menentu seperti saat ini, kemampuan memberikan tawaran wacana merupakan faktor kunci. Ide tersebut haruslah menarik, menguntungkan para pihak yang terlibat dan akhirnya diikuti oleh negara-negara di kawasan.
Pengaruh tidak hanya timbul karena penguasaan aspek militer dan teknologi keamanan seperti kepemilikan persenjataan militer canggih dan pasukan yang berketerampilan tinggi, serta keunggulan ekonomi. Namun, sering kali pengaruh muncul dalam bentuk memberikan tawaran wacana (ide) bagaimana tata kelola dunia ini dilakukan.
China sedang kuat-kuatnya di aspek militer dan ekonomi sedangkan ironisnya Jepang tidak mampu melakukannya secara baik paling tidak dalam satu dekade terakhir.
Terobosan
Untuk itu perlu dicari terobosan dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jepang. Kata kuncinya adalah keberhasilan membangun hubungan dengan Indonesia yang sedang sangat dekat dengan China dan masih berpengaruh di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
Bila itu terpenuhi maka Jepang akan merasa lebih aman dan nyaman karena hubungan baik tersebut akan berdampak pada konstelasi regional Asia Tenggara dan Asia yang lebih berimbang.
Pilihannya saat ini ada di Jepang. Akankah Jepang melakukan janji-janji dalam IJEPA yang nanti akan disempurnakan dengan sepenuh hati atau tidak. Pertama, tidak ada cara lain selain mengembangkan kemampuan industri dan teknologi Indonesia untuk mengimbangi ekspansi China yang gencar.
Kekhawatiran perlu tidaknya alih teknologi harus dihentikan karena tidak diperlukan lagi. Yang harus dilakukan Jepang adalah melakukan alih teknologi tersebut dan Indonesia siap merebutnya dengan meningkatkan absorptive capacity-nya, mempersiapkan sistem inovasi nasional termasuk di dalamnya meningkatkan pengeluaran penelitian dan pengembangan (research and development) industri maupun pemerintah secara lebih signifikan.
Kedua, Jepang harus mengubah gaya diplomasinya dengan memanfaatkan para alumni Jepang yang duduk di pemerintahan, industri, komunitas epistemik di perguruan tinggi, maupun kelompok-kelompok masyarakat secara lebih efektif. Melakukan evaluasi atas langkah yang selama ini telah dilakukan dan melaksanakan perbaikan termasuk mencari saluran, jalan dan aktor baru yang mungkin belum mengemuka namun bermanfaat.
(poe)