Teror Global dan Respons Indonesia
A
A
A
Broto Wardoyo
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia
ADA tiga temuan menarik dalam tren teror global yang dilaporkan oleh Global Terrorism Index (GTI) 2016, laporan yang mereviu aktivitas teror sepanjang 2015.
Pertama, terjadi peningkatan serangan yang dilakukan oleh kelompok atau individu yang berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), baik dalam skala serangan (dari 13 negara pada 2014 menjadi 28 negara pada 2015) ataupun jumlah korban di negara-negara maju (dari 18 korban pada 2014 menjadi 313 pada 2015).
Kedua, terjadi pergeseran pelaku teror dari kelompok terorganisasi ke sel-sel kecil atau individu yang mengklaim berafiliasi dengan ISIS. Ketiga, terdapat peningkatan aktivitas kelompok-kelompok teror, termasuk ISIS, di dunia maya, termasuk dalam proses perekrutan teroris baru.
Tren tersebut tampaknya terus bertahan sepanjang 2016 di mana serangkaian aksi teror yang berlangsung di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, diklaim dilakukan oleh ISIS dan kelompok atau individu yang berafiliasi dengan ISIS.
Metamorfosis jejaring teror ISIS memiliki beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan al-Qaeda. Pertama, penataan organisasional ISIS berbeda dengan al-Qaeda. Tidak seperti pendahulunya, ISIS memiliki kemandirian dalam mengumpulkan pendanaan bagi aktivitas terornya, sementara al-Qaeda mengandalkan para penyandang dana untuk menyuplai kebutuhan operasional mereka.
Aliran dana yang masuk ke al-Qaeda kemudian didistribusikan ke cabang-cabang mereka di berbagai tempat. Jaringan al-Qaeda sendiri dibangun oleh keberadaan mantan jihadis yang sebelumnya bergabung dengan kelompok tersebut.
Artinya, dibutuhkan level kepercayaan yang memadai bagi pembentukan cabang-cabang teror al-Qaeda. Meskipun cabang-cabang al-Qaeda tersebut mengikuti arahan dari kantor pusat, mereka juga dibekali dengan kemandirian dalam melakukan operasinya.
Dengan karakteristik tersebut, upaya untuk membongkar jejaring dan mematikan pergerakan al-Qaeda dilakukan dengan metode follow the person dan follow the money. Amerika Serikat dalam perang global melawan teror melakukan berbagai upaya untuk mencari tokoh-tokoh kunci al-Qaeda dan memotong kapasitas teror al-Qaeda dengan menghentikan aliran pendanaan mulai dari hulunya. Penggunaan sanksi ekonomi dengan pembekuan aset menjadi langkah yang paling jamak dilakukan.
Tidak seperti al-Qaeda, ISIS membangun jaringannya secara berbeda. ISIS tidak membangun waralaba. Apa yang dikenal sebagai cabang-cabang ISIS biasanya merupakan kelompok lokal, atau bahkan individu, yang menyatakan berafiliasi dengan ISIS.
Beberapa kelompok tersebut merupakan kelompok yang memiliki tatanan yang mapan, termasuk Boko Haram di Nigeria, namun beberapa yang lain cenderung tidak terorganisasi dengan baik. Keterikatan antara ISIS dan kelompok-kelompok, atau individu-individu, tersebut tidak harus ditandai dengan ada hubungan tertentu seperti keterlibatan jihadis atau aliran dana dan sumber daya lain.
Jaringan yang terbangun, dengan demikian, bersifat lebih longgar jika dibandingkan dengan jaringan yang dimiliki oleh al-Qaeda. Catatan GTI 2016 misalnya menunjukkan bahwa lebih dari setengah pelaku teror pada 2015 yang terkait ISIS pada dasarnya tidak memiliki hubungan langsung dengan ISIS.
Kedua, ISIS ada pada kemampuannya untuk meraup penghasilan secara mandiri dan tidak menggantungkan pendanaan kegiatannya dari sumber-sumber eksternal. ISIS terlibat dalam berbagai aktivitas ekonomi, termasuk berjualan minyak di pasar gelap, untuk mendanai kegiatannya. Selain itu, ISIS juga tidak sepenuhnya bergantung pada keberadaan para jihadis dari luar Irak dan Suriah.
Kajian RAND (2016) menunjukkan bahwa dari 900.000-an kombatan yang mereka miliki, jumlah kombatan asing yang dimiliki ISIS hanya berkisar 20.000 hingga 50.000 orang. Dengan karakter tersebut, ISIS lebih merupakan brand teror yang sifatnya terbuka dan bisa dimiliki oleh siapa pun tanpa merasa perlu membangun ikatan materialistik dengan kantor pusatnya.
Sebagai sebuah brand, ISIS memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh al-Qaeda. Kelompok ini telah mampu mewujudkan keberadaan “negara Islam” di Irak dan Suriah. Dengan penguasaan wilayah di dua negara tersebut, ISIS, dengan demikian, pada dasarnya merupakan kombinasi antara kelompok teror dan kelompok insurgensi.
Ketiga, bukan hanya jaringannya yang unik, pola kerja ISIS pun berbeda dari kelompok-kelompok yang ada sebelumnya. Sistem sel menjadi fondasi utama al-Qaeda dalam melakukan aktivitasnya. Masing-masing sel bekerja secara mandiri dan memiliki personel dengan fungsi dan tugas yang berbeda.
Peran ideolog berbeda dengan perencana dan pelaku serangan. Pola kerja ISIS lebih beragam jika dibandingkan dengan al-Qaeda.
Kantor pusat ISIS lebih mirip seperti kelompok insurgen. Beberapa kelompok yang lebih mapan yang berafiliasi dengan ISIS menggunakan model sel, dan beberapa yang lain beroperasi dengan jauh lebih sederhana.
Seorang senior di Kajian Keamanan Indonesia menyebut pola terakhir ini sebagai sistem atom dan bukan lagi sel. ISIS memperkenalkan “atomisasi teror” di mana pelaku teror tidak lagi membutuhkan pembagian peran dalam melakukan serangan. Pelaku bisa menjadi suporter, ideolog, perencana, dan martir secara sekaligus. Model semacam ini semakin mempersulit upaya untuk memerangi ISIS.
Atomisasi teror ini dekat dengan konsep lone-wolf dalam Kajian Keamanan Internasional. GTI 2015 mencatat ada peningkatan jumlah serangan oleh para lone-wolf, namun para pelaku teror individual ini melakukan aksinya dengan basis politik, dan bukan teroris berbasis ideologis-religius.
Meski demikian, terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam teroris lone-wolf dalam kategori kedua, dengan teroris yang menyatakan afiliasi dengan ISIS menjadi bagian terbesarnya. Permasalahan yang paling mendasar dalam mengatasi lone-wolf adalah kesulitan untuk melakukan langkah preventif.
Satu lagi catatan yang juga patut menjadi perhatian dalam GTI 2016 dan GTI 2015 adalah ada pergeseran target serangan teror dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2013 kombinasi antara aparat keamanan (polisi dan militer) serta aparat pemerintahan tetap menjadi target utama serangan teror.
Namun, setahun kemudian, sasaran sipil jauh lebih dominan jika dibandingkan aparat keamanan dan pemerintahan. Sejak 2013 hingga 2014 tercatat 172% peningkatan serangan teror terhadap sasaran sipil. Sementara pada 2015 satu dari tiga serangan teror dilakukan terhadap target sipil. ISIS juga mengikuti tren yang sama sejak 2013 hingga 2014 terjadi peningkatan 225% serangan terhadap sasaran sipil.
Kombinasi antara atomisasi teror dan pergeseran target tersebut memunculkan kekhawatiran akan semakin merebaknya aksi serangan, apalagi manakala upaya untuk melemahkan jantung ISIS masih belum bisa dilakukan. Dengan semakin merebaknya teror gaya baru ala ISIS ke luar wilayah Timur Tengah, tidak ada jaminan bahwa aksi-aksi kelompok/individu yang berafiliasi dengan ISIS tidak akan absen di Indonesia.
Salah satu strategi yang dipilih masyarakat internasional untuk melemahkan ISIS adalah menghancurkan kantor pusatnya di Irak dan Suriah. Hanya, upaya untuk meniadakan keberadaan “negara Islam” tersebut berkelindan dengan karut-marut kepentingan berbagai pihak di dua negara tersebut. Apalagi, ISIS bukanlah satu-satunya kelompok radikal yang perlu mendapat perhatian di dua negara tersebut.
Teror ala ISIS tersebut perlu mendapat perhatian khusus di Indonesia. Ketidaksepahaman mengenai langkah kontrateror seperti apa yang perlu dikembangkan di Indonesia harus segera diakhiri. Sama halnya dengan kebutuhan untuk segera menyelesaikan perdebatan mengenai UU Terorisme seperti apa yang harus dibangun, mengingat inspirasi ISIS sudah di depan pintu.
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia
ADA tiga temuan menarik dalam tren teror global yang dilaporkan oleh Global Terrorism Index (GTI) 2016, laporan yang mereviu aktivitas teror sepanjang 2015.
Pertama, terjadi peningkatan serangan yang dilakukan oleh kelompok atau individu yang berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), baik dalam skala serangan (dari 13 negara pada 2014 menjadi 28 negara pada 2015) ataupun jumlah korban di negara-negara maju (dari 18 korban pada 2014 menjadi 313 pada 2015).
Kedua, terjadi pergeseran pelaku teror dari kelompok terorganisasi ke sel-sel kecil atau individu yang mengklaim berafiliasi dengan ISIS. Ketiga, terdapat peningkatan aktivitas kelompok-kelompok teror, termasuk ISIS, di dunia maya, termasuk dalam proses perekrutan teroris baru.
Tren tersebut tampaknya terus bertahan sepanjang 2016 di mana serangkaian aksi teror yang berlangsung di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, diklaim dilakukan oleh ISIS dan kelompok atau individu yang berafiliasi dengan ISIS.
Metamorfosis jejaring teror ISIS memiliki beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan al-Qaeda. Pertama, penataan organisasional ISIS berbeda dengan al-Qaeda. Tidak seperti pendahulunya, ISIS memiliki kemandirian dalam mengumpulkan pendanaan bagi aktivitas terornya, sementara al-Qaeda mengandalkan para penyandang dana untuk menyuplai kebutuhan operasional mereka.
Aliran dana yang masuk ke al-Qaeda kemudian didistribusikan ke cabang-cabang mereka di berbagai tempat. Jaringan al-Qaeda sendiri dibangun oleh keberadaan mantan jihadis yang sebelumnya bergabung dengan kelompok tersebut.
Artinya, dibutuhkan level kepercayaan yang memadai bagi pembentukan cabang-cabang teror al-Qaeda. Meskipun cabang-cabang al-Qaeda tersebut mengikuti arahan dari kantor pusat, mereka juga dibekali dengan kemandirian dalam melakukan operasinya.
Dengan karakteristik tersebut, upaya untuk membongkar jejaring dan mematikan pergerakan al-Qaeda dilakukan dengan metode follow the person dan follow the money. Amerika Serikat dalam perang global melawan teror melakukan berbagai upaya untuk mencari tokoh-tokoh kunci al-Qaeda dan memotong kapasitas teror al-Qaeda dengan menghentikan aliran pendanaan mulai dari hulunya. Penggunaan sanksi ekonomi dengan pembekuan aset menjadi langkah yang paling jamak dilakukan.
Tidak seperti al-Qaeda, ISIS membangun jaringannya secara berbeda. ISIS tidak membangun waralaba. Apa yang dikenal sebagai cabang-cabang ISIS biasanya merupakan kelompok lokal, atau bahkan individu, yang menyatakan berafiliasi dengan ISIS.
Beberapa kelompok tersebut merupakan kelompok yang memiliki tatanan yang mapan, termasuk Boko Haram di Nigeria, namun beberapa yang lain cenderung tidak terorganisasi dengan baik. Keterikatan antara ISIS dan kelompok-kelompok, atau individu-individu, tersebut tidak harus ditandai dengan ada hubungan tertentu seperti keterlibatan jihadis atau aliran dana dan sumber daya lain.
Jaringan yang terbangun, dengan demikian, bersifat lebih longgar jika dibandingkan dengan jaringan yang dimiliki oleh al-Qaeda. Catatan GTI 2016 misalnya menunjukkan bahwa lebih dari setengah pelaku teror pada 2015 yang terkait ISIS pada dasarnya tidak memiliki hubungan langsung dengan ISIS.
Kedua, ISIS ada pada kemampuannya untuk meraup penghasilan secara mandiri dan tidak menggantungkan pendanaan kegiatannya dari sumber-sumber eksternal. ISIS terlibat dalam berbagai aktivitas ekonomi, termasuk berjualan minyak di pasar gelap, untuk mendanai kegiatannya. Selain itu, ISIS juga tidak sepenuhnya bergantung pada keberadaan para jihadis dari luar Irak dan Suriah.
Kajian RAND (2016) menunjukkan bahwa dari 900.000-an kombatan yang mereka miliki, jumlah kombatan asing yang dimiliki ISIS hanya berkisar 20.000 hingga 50.000 orang. Dengan karakter tersebut, ISIS lebih merupakan brand teror yang sifatnya terbuka dan bisa dimiliki oleh siapa pun tanpa merasa perlu membangun ikatan materialistik dengan kantor pusatnya.
Sebagai sebuah brand, ISIS memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh al-Qaeda. Kelompok ini telah mampu mewujudkan keberadaan “negara Islam” di Irak dan Suriah. Dengan penguasaan wilayah di dua negara tersebut, ISIS, dengan demikian, pada dasarnya merupakan kombinasi antara kelompok teror dan kelompok insurgensi.
Ketiga, bukan hanya jaringannya yang unik, pola kerja ISIS pun berbeda dari kelompok-kelompok yang ada sebelumnya. Sistem sel menjadi fondasi utama al-Qaeda dalam melakukan aktivitasnya. Masing-masing sel bekerja secara mandiri dan memiliki personel dengan fungsi dan tugas yang berbeda.
Peran ideolog berbeda dengan perencana dan pelaku serangan. Pola kerja ISIS lebih beragam jika dibandingkan dengan al-Qaeda.
Kantor pusat ISIS lebih mirip seperti kelompok insurgen. Beberapa kelompok yang lebih mapan yang berafiliasi dengan ISIS menggunakan model sel, dan beberapa yang lain beroperasi dengan jauh lebih sederhana.
Seorang senior di Kajian Keamanan Indonesia menyebut pola terakhir ini sebagai sistem atom dan bukan lagi sel. ISIS memperkenalkan “atomisasi teror” di mana pelaku teror tidak lagi membutuhkan pembagian peran dalam melakukan serangan. Pelaku bisa menjadi suporter, ideolog, perencana, dan martir secara sekaligus. Model semacam ini semakin mempersulit upaya untuk memerangi ISIS.
Atomisasi teror ini dekat dengan konsep lone-wolf dalam Kajian Keamanan Internasional. GTI 2015 mencatat ada peningkatan jumlah serangan oleh para lone-wolf, namun para pelaku teror individual ini melakukan aksinya dengan basis politik, dan bukan teroris berbasis ideologis-religius.
Meski demikian, terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam teroris lone-wolf dalam kategori kedua, dengan teroris yang menyatakan afiliasi dengan ISIS menjadi bagian terbesarnya. Permasalahan yang paling mendasar dalam mengatasi lone-wolf adalah kesulitan untuk melakukan langkah preventif.
Satu lagi catatan yang juga patut menjadi perhatian dalam GTI 2016 dan GTI 2015 adalah ada pergeseran target serangan teror dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2013 kombinasi antara aparat keamanan (polisi dan militer) serta aparat pemerintahan tetap menjadi target utama serangan teror.
Namun, setahun kemudian, sasaran sipil jauh lebih dominan jika dibandingkan aparat keamanan dan pemerintahan. Sejak 2013 hingga 2014 tercatat 172% peningkatan serangan teror terhadap sasaran sipil. Sementara pada 2015 satu dari tiga serangan teror dilakukan terhadap target sipil. ISIS juga mengikuti tren yang sama sejak 2013 hingga 2014 terjadi peningkatan 225% serangan terhadap sasaran sipil.
Kombinasi antara atomisasi teror dan pergeseran target tersebut memunculkan kekhawatiran akan semakin merebaknya aksi serangan, apalagi manakala upaya untuk melemahkan jantung ISIS masih belum bisa dilakukan. Dengan semakin merebaknya teror gaya baru ala ISIS ke luar wilayah Timur Tengah, tidak ada jaminan bahwa aksi-aksi kelompok/individu yang berafiliasi dengan ISIS tidak akan absen di Indonesia.
Salah satu strategi yang dipilih masyarakat internasional untuk melemahkan ISIS adalah menghancurkan kantor pusatnya di Irak dan Suriah. Hanya, upaya untuk meniadakan keberadaan “negara Islam” tersebut berkelindan dengan karut-marut kepentingan berbagai pihak di dua negara tersebut. Apalagi, ISIS bukanlah satu-satunya kelompok radikal yang perlu mendapat perhatian di dua negara tersebut.
Teror ala ISIS tersebut perlu mendapat perhatian khusus di Indonesia. Ketidaksepahaman mengenai langkah kontrateror seperti apa yang perlu dikembangkan di Indonesia harus segera diakhiri. Sama halnya dengan kebutuhan untuk segera menyelesaikan perdebatan mengenai UU Terorisme seperti apa yang harus dibangun, mengingat inspirasi ISIS sudah di depan pintu.
(poe)