Menyikapi Trumponomics
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder Paramadina Graduate School of Diplomacy,
@dinnawisnu
MENJELANG akhir minggu ini, Amerika Serikat (AS) akan melantik presiden barunya, Donald Trump. Terlepas dari gaduhnya suasana di dalam negeri terkait gaya komunikasi Presiden Trump, termasuk yang baru-baru ini disampaikan oleh bintang film Hollywood Meryl Streep, kenyataan haruslah dihadapi publik bahwa AS sudah memilih prioritas tertentu dengan memilih Presiden Trump sebagai nakhodanya.
“Making America Great Again”, Membuat Amerika Besar Lagi. Demikian target Presiden Donald Trump. Dari gaya komunikasinya, Trump ingin melaju dengan agenda-agendanya dan mengesampingkan kritik segala pihak tentang caranya memimpin.
Meskipun teorinya sekarang adalah masih masa-masa bulan madu, kedalaman perbedaan pendapat antara kubu pendukung Trump dan kubu yang anti-Trump membutuhkan jembatan waktu yang lebih panjang. Tidak ada “bisnis seperti biasa” dalam politik luar negeri AS, khususnya terkait kebijakan ekonomi.
Masih sedikit hasil riset atau pendapat yang dapat secara pasti menjelaskan kebijakan ekonomi Donald Trump atau Trumponomics secara detail. Hal ini disebabkan dalam masa kampanye lalu, Donald Trump menyampaikan proposal kebijakan yang saling tidak konsisten demi merebut suara rakyat Amerika. Tiadanya konsistensi itu menyebabkan luasnya ruang untuk melalukan multiinterpretasi dan spekulasi tentang langkah nyata apa yang akhirnya akan diambil oleh Trump.
Meski demikian, hal-hal yang diucapkannya berulang kali secara konsisten adalah reformasi pajak, yaitu dengan mengurangi pajak perusahaan dan perorangan dan meningkatkan belanja fiskal di sektor infrastruktur. Trump juga akan mengurangi belanja sosial baik dengan mengurangi anggaran atau menyerahkannya kepada pihak swasta.
Hal yang juga menjadi kontroversi dalam minggu terakhir kampanye dan mendapat perlawanan dari Partai Demokrat adalah rencana untuk menghapuskan Obamacare yang selama ini telah memberikan kepastian jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin di AS. Apabila sesuai dengan janjinya di masa kampanye, kemungkinan jaminan kesehatan akan kembali dikelola oleh pihak swasta.
Kebijakan reformasi pajak Trump bila dilakukan sesuai janji kampanyenya sudah pasti akan menimbulkan defisit dalam anggaran belanja negara. Logika sederhananya, pendapatan negara dikurangi tetapi pembelanjaan, khususnya untuk infrastruktur, akan digenjot habis.
Pertanyaannya, dari mana uang untuk menutupi defisit belanja akan jadi menentukan kebijakan ekonomi AS baik di dalam dan luar negeri. Kebijakan ini juga akan merembet kepada kebijakan politik luar negeri terutama terkait dengan kerja sama antarnegara dan hal-hal lain yang tidak terkait dengan ekonomi secara langsung, seperti krisis di Timur Tengah, penguatan pengaruh AS di Asia-Pasifik atau juga Eropa.
Secara ekonomis, dana untuk menambal lubang defisit dapat diperoleh dengan menerbitkan surat utang negara atau obligasi. Surat utang tidak menarik kalau suku bunganya tidak kompetitif terutama dibandingkan dengan negara-negara emerging market termasuk Indonesia.
Momen kenaikan ini yang akan ditunggu-tunggu oleh para pengambil keputusan di negara-negara lain terutama negara emerging market di mana uang dari negara maju berkumpul. Apabila Bank Sentral AS menaikkan suku bunga yang dapat menarik uang dari negara emerging market, tentu ini akan menjadi masalah.
Walaupun akan kebanjiran investasi, nilai tukar dolar juga akan menguat secara perlahan-lahan. Keadaan itu juga akan menyulitkan Amerika sendiri karena akan membuat ekspornya menjadi tidak kompetitif. Dalam konteks dan dinamika ini, rencana detail Trumponomics sebagai langkah antisipasi menjadi penting untuk kita amati.
Meski demikian, dalam beberapa minggu setelah pengumuman kemenangannya ada beberapa komentar yang dapat menjadi bahan dalam menilai Trumponomics ke depan.
Pertama, terkait perdagangan. AS prinsipnya merasa harus mengakhiri defisit dalam neraca perdagangannya, terutama terhadap China. Sampai hari ini wacana yang berkembang di AS adalah agar AS membalikkan defisitnya. Yakni dengan mengadukan segala kecurangan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku pasar lain, khususnya model-model yang ditudingkan kepada China seperti overproduksi, mengendalikan nilai tukar mata uang, menerapkan hambatan non-tariff.
Tak heran Robert Lighthizer yang berpengalaman sebagai penasihat hukum bidang perdagangan dikabarkan akan ditunjuk sebagai Wakil AS untuk Perdagangan (US Trade Representative). Karena nasib Trans Pacific Partnership belum jelas, target Presiden Obama untuk menjadikan AS sebagai penentu aturan main perdagangan di tingkat global belum jelas juga.
Hal ini menarik untuk dicermati negara seperti kita karena dikotomi surplus dan defisit yang dianut oleh AS sangat dikaitkan dengan nilai ekspor impor barang dan jasa. Ada sisi yang kemungkinan akan diabaikan atau minimal tidak mendapat perhatian besar, yakni terkait pola konsumsi masyarakat AS.
Defisit dapat pula timbul karena masyarakat lebih senang membeli dari luar negeri atau membeli daripada memproduksi sendiri. Jadi, kita juga perlu jeli mengolah dan meningkatkan permintaan dari publik AS.
Hal ini dapat lebih menguntungkan daripada harus menghadapi tuntutan hukum urusan perdagangan dari para pengacara AS. Aksi hukum terkait upaya menurunkan defisit dapat teratasi jika konsumen mengutarakan pilihannya akan suatu produk atau jasa.
Hal lain yang juga menarik dicatat adalah dorongan untuk membalas hambatan non-tariff dengan hambatan yang sejenis atau membawanya ke meja pengadilan.
Dari sisi ini, setidaknya ada dua hal utama yang sebenarnya penting untuk dikembangkan, yakni inovasi yang mendukung peningkatan daya saing produk atau jasa dan keberpihakan negara pada riset yang akan menghasilkan produk dan jasa berdaya saing tinggi.
Aksi saling tuding terkait hambatan non-tariff dapat teratasi jika suatu negara lebih kompetitif di bidang inovasi dan riset. Sejumlah negara dari emerging market bergegas di bidang ini, antara lain India dan China.
Kedua, terkait daya tarik produksi. AS pada prinsipnya menginginkan lebih banyak perusahaan yang beroperasi dari AS. Cara yang digunakan adalah pemberian insentif pemotongan pajak bagi korporasi, dari 35% menjadi 15%.
Potongan pajak tersebut diklaim akan meningkatkan laba perusahaan hingga 20%; suatu skema yang seharusnya menarik bagi perusahaan-perusahaan. Untuk pajak pribadi, kabarnya akan ada penurunan tarif pajak bagi mereka yang berpenghasilan tinggi dan biasanya harus menanggung pajak 35–40%. Mereka ini dikabarkan hanya perlu membayar pajak 33% saja dari penghasilan bulanannya.
Karena parlemen di AS punya hak untuk memengaruhi kebijakan Presiden Trump terkait pemotongan pajak ini, program tersebut diprediksi tidak akan diterapkan sampai setidaknya menjelang akhir tahun. Kabarnya parlemen akan mengajukan pajak atas barang-barang impor, yang artinya konsumen di Amerika bisa jadi punya lebih sedikit pilihan belanja.
Memang tidak ada yang tahu persis apa saja komponen Trumponomics yang sesungguhnya akan berlaku. Namun, di Indonesia yang penting adalah membuka opsi-opsi lain agar apa pun pilihan Trump, perekonomian kita dapat terus tumbuh. Amerika Serikat butuh waktu selama setahun ini untuk melakukan penyesuaian di berbagai lini sampai program-program Trump bisa sungguh terlaksana.
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder Paramadina Graduate School of Diplomacy,
@dinnawisnu
MENJELANG akhir minggu ini, Amerika Serikat (AS) akan melantik presiden barunya, Donald Trump. Terlepas dari gaduhnya suasana di dalam negeri terkait gaya komunikasi Presiden Trump, termasuk yang baru-baru ini disampaikan oleh bintang film Hollywood Meryl Streep, kenyataan haruslah dihadapi publik bahwa AS sudah memilih prioritas tertentu dengan memilih Presiden Trump sebagai nakhodanya.
“Making America Great Again”, Membuat Amerika Besar Lagi. Demikian target Presiden Donald Trump. Dari gaya komunikasinya, Trump ingin melaju dengan agenda-agendanya dan mengesampingkan kritik segala pihak tentang caranya memimpin.
Meskipun teorinya sekarang adalah masih masa-masa bulan madu, kedalaman perbedaan pendapat antara kubu pendukung Trump dan kubu yang anti-Trump membutuhkan jembatan waktu yang lebih panjang. Tidak ada “bisnis seperti biasa” dalam politik luar negeri AS, khususnya terkait kebijakan ekonomi.
Masih sedikit hasil riset atau pendapat yang dapat secara pasti menjelaskan kebijakan ekonomi Donald Trump atau Trumponomics secara detail. Hal ini disebabkan dalam masa kampanye lalu, Donald Trump menyampaikan proposal kebijakan yang saling tidak konsisten demi merebut suara rakyat Amerika. Tiadanya konsistensi itu menyebabkan luasnya ruang untuk melalukan multiinterpretasi dan spekulasi tentang langkah nyata apa yang akhirnya akan diambil oleh Trump.
Meski demikian, hal-hal yang diucapkannya berulang kali secara konsisten adalah reformasi pajak, yaitu dengan mengurangi pajak perusahaan dan perorangan dan meningkatkan belanja fiskal di sektor infrastruktur. Trump juga akan mengurangi belanja sosial baik dengan mengurangi anggaran atau menyerahkannya kepada pihak swasta.
Hal yang juga menjadi kontroversi dalam minggu terakhir kampanye dan mendapat perlawanan dari Partai Demokrat adalah rencana untuk menghapuskan Obamacare yang selama ini telah memberikan kepastian jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin di AS. Apabila sesuai dengan janjinya di masa kampanye, kemungkinan jaminan kesehatan akan kembali dikelola oleh pihak swasta.
Kebijakan reformasi pajak Trump bila dilakukan sesuai janji kampanyenya sudah pasti akan menimbulkan defisit dalam anggaran belanja negara. Logika sederhananya, pendapatan negara dikurangi tetapi pembelanjaan, khususnya untuk infrastruktur, akan digenjot habis.
Pertanyaannya, dari mana uang untuk menutupi defisit belanja akan jadi menentukan kebijakan ekonomi AS baik di dalam dan luar negeri. Kebijakan ini juga akan merembet kepada kebijakan politik luar negeri terutama terkait dengan kerja sama antarnegara dan hal-hal lain yang tidak terkait dengan ekonomi secara langsung, seperti krisis di Timur Tengah, penguatan pengaruh AS di Asia-Pasifik atau juga Eropa.
Secara ekonomis, dana untuk menambal lubang defisit dapat diperoleh dengan menerbitkan surat utang negara atau obligasi. Surat utang tidak menarik kalau suku bunganya tidak kompetitif terutama dibandingkan dengan negara-negara emerging market termasuk Indonesia.
Momen kenaikan ini yang akan ditunggu-tunggu oleh para pengambil keputusan di negara-negara lain terutama negara emerging market di mana uang dari negara maju berkumpul. Apabila Bank Sentral AS menaikkan suku bunga yang dapat menarik uang dari negara emerging market, tentu ini akan menjadi masalah.
Walaupun akan kebanjiran investasi, nilai tukar dolar juga akan menguat secara perlahan-lahan. Keadaan itu juga akan menyulitkan Amerika sendiri karena akan membuat ekspornya menjadi tidak kompetitif. Dalam konteks dan dinamika ini, rencana detail Trumponomics sebagai langkah antisipasi menjadi penting untuk kita amati.
Meski demikian, dalam beberapa minggu setelah pengumuman kemenangannya ada beberapa komentar yang dapat menjadi bahan dalam menilai Trumponomics ke depan.
Pertama, terkait perdagangan. AS prinsipnya merasa harus mengakhiri defisit dalam neraca perdagangannya, terutama terhadap China. Sampai hari ini wacana yang berkembang di AS adalah agar AS membalikkan defisitnya. Yakni dengan mengadukan segala kecurangan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku pasar lain, khususnya model-model yang ditudingkan kepada China seperti overproduksi, mengendalikan nilai tukar mata uang, menerapkan hambatan non-tariff.
Tak heran Robert Lighthizer yang berpengalaman sebagai penasihat hukum bidang perdagangan dikabarkan akan ditunjuk sebagai Wakil AS untuk Perdagangan (US Trade Representative). Karena nasib Trans Pacific Partnership belum jelas, target Presiden Obama untuk menjadikan AS sebagai penentu aturan main perdagangan di tingkat global belum jelas juga.
Hal ini menarik untuk dicermati negara seperti kita karena dikotomi surplus dan defisit yang dianut oleh AS sangat dikaitkan dengan nilai ekspor impor barang dan jasa. Ada sisi yang kemungkinan akan diabaikan atau minimal tidak mendapat perhatian besar, yakni terkait pola konsumsi masyarakat AS.
Defisit dapat pula timbul karena masyarakat lebih senang membeli dari luar negeri atau membeli daripada memproduksi sendiri. Jadi, kita juga perlu jeli mengolah dan meningkatkan permintaan dari publik AS.
Hal ini dapat lebih menguntungkan daripada harus menghadapi tuntutan hukum urusan perdagangan dari para pengacara AS. Aksi hukum terkait upaya menurunkan defisit dapat teratasi jika konsumen mengutarakan pilihannya akan suatu produk atau jasa.
Hal lain yang juga menarik dicatat adalah dorongan untuk membalas hambatan non-tariff dengan hambatan yang sejenis atau membawanya ke meja pengadilan.
Dari sisi ini, setidaknya ada dua hal utama yang sebenarnya penting untuk dikembangkan, yakni inovasi yang mendukung peningkatan daya saing produk atau jasa dan keberpihakan negara pada riset yang akan menghasilkan produk dan jasa berdaya saing tinggi.
Aksi saling tuding terkait hambatan non-tariff dapat teratasi jika suatu negara lebih kompetitif di bidang inovasi dan riset. Sejumlah negara dari emerging market bergegas di bidang ini, antara lain India dan China.
Kedua, terkait daya tarik produksi. AS pada prinsipnya menginginkan lebih banyak perusahaan yang beroperasi dari AS. Cara yang digunakan adalah pemberian insentif pemotongan pajak bagi korporasi, dari 35% menjadi 15%.
Potongan pajak tersebut diklaim akan meningkatkan laba perusahaan hingga 20%; suatu skema yang seharusnya menarik bagi perusahaan-perusahaan. Untuk pajak pribadi, kabarnya akan ada penurunan tarif pajak bagi mereka yang berpenghasilan tinggi dan biasanya harus menanggung pajak 35–40%. Mereka ini dikabarkan hanya perlu membayar pajak 33% saja dari penghasilan bulanannya.
Karena parlemen di AS punya hak untuk memengaruhi kebijakan Presiden Trump terkait pemotongan pajak ini, program tersebut diprediksi tidak akan diterapkan sampai setidaknya menjelang akhir tahun. Kabarnya parlemen akan mengajukan pajak atas barang-barang impor, yang artinya konsumen di Amerika bisa jadi punya lebih sedikit pilihan belanja.
Memang tidak ada yang tahu persis apa saja komponen Trumponomics yang sesungguhnya akan berlaku. Namun, di Indonesia yang penting adalah membuka opsi-opsi lain agar apa pun pilihan Trump, perekonomian kita dapat terus tumbuh. Amerika Serikat butuh waktu selama setahun ini untuk melakukan penyesuaian di berbagai lini sampai program-program Trump bisa sungguh terlaksana.
(poe)