Aku Punya Cinta
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
MANUSIA punya cinta. Mungkin ada cinta pertama. Orang bilang cinta pertama itu suci. Dia lahir dari hati nurani. Mungkin tempatnya di lubuk hati yang terdalam.
Mungkin lubuk hati itu sebuah dunia tersendiri, yang tak terselami oleh panjangnya akal. Juga tidak oleh banyaknya aneka ragam pengalaman. Apalagi pengalaman manusia yang hanya dangkal. Pengalaman terdalam pun tak sampai sedalam lubuk hati—kadang kita menyebutnya hati nurani—yang menyimpan cinta suci tadi.
Di dalam cinta suci tak terdapat kalkulasi. Karena kalkulasi itu bikinan akal, sedangkan cinta suci bikinan hati. Buah hati. Dambaan hati. Mungkin cinta—juga cinta suci tadi—erat hubungannya dengan tragedi. Kelihatannya itu tidak mustahil.
Sebelum tragedi terjadi, cinta—biarpun sesuci salju yang belum tersentuh setitik pun debu— bawaannya membikin resah. Begitulah para seniman besar melukiskannya dalam novel, dalam puisi, dan juga drama, maupun film.
Romeo dan Juliet mungkin contoh klasik dan abadi. Tapi di negeri kita sendiri kisah macam itu tak kurang-kurangnya. Soalnya kita juga punya cinta. Seniman— juga seniman kita— sering menampilkan tragedi cinta itu sedemikian ekstrem, bisa berlebihan, dan menguras air mata pembaca novel atau puisi, penonton drama atau film. Dalam derita menanggung rindu, ibaratnya ”air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam”.
Begitu idiom kita jika menyangkut urusan cinta. Bukan hanya itu pula. Tak jarang cinta juga membuat kita merasa begitu melankolis, seperti dalam puisi Chairil Anwar, Cintaku Jauh di Pulau: Cintaku jauh di pulau/Gadis manis sekarang iseng sendiri/. Chairil rindu di mata, rindu di hati. Tabiat orang rindu, membuat apa yang jauh di mata menjadi begitu dekat di hati.
Tapi kedekatan tak identik dengan rasa tenteram. Dekat di hati tapi gelisah juga tak mustahil. Dalam cinta, Chairil juga bicara tentang kematian: Mengapa ajal memanggil dulu/Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku/. Kemudian dia menutup puisinya dengan kelamnya kematian: Manisku jauh di pulau/ Kalau kumati, dia mati iseng sendiri/.
Orang bilang, cinta di dalam kategori ini umumnya lebih berarti pemilikan, bahkan penguasaan. Sumpah mengenai cinta sampai mati dan pesan untuk dikubur dalam satu liang buat dua jasad yang saling mencintai sebagaimana gambaran khas mengenai apa yang bisa disebut ”kisah kasih tak sampai” sangat digemari—dan menjadi sejenis mode—dalam ekspresi seni di kalangan kaum seniman zaman dulu.
Chairil Anwar tak termasuk kategori seniman zaman dulu. Maka kalau dia bicara perkara lain, dia begitu tegar: Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang/. Dan dia bukan hanya tak bicara tentang kematian. Sebaliknya, dia bahkan memproklamasikan: Kumau hidup seribu tahun lagi!
Dalam lagu cinta—gubahan Panbers—mungkin agak lain. Ada kesedihan, tapi tanpa kematian. Dia tegar: aku gagal kali ini/tanpa tangis dan duka/ hanya titik air mata dan senyum kehancuran/.
Kelihatannya ini hancur biasa, tapi sekali lagi, tak menyentuh kematian. Gagasan bahwa hidup ini layak—jauh lebih dari layak— untuk dipertahankan, tak pernah menghampiri kaum seniman klasik, yang jika cinta tak terwujud, hanya ada satu jalan pembebasan: mati.
Sangat remaja jiwanya. Rupanya, aku—manusia— punya cinta, tapi tak punya kebebasan. Cinta digambarkan bersebelahan dengan mati. Maka, bila terjadi kesalahan pada cinta tadi, bukan hidup dengan berbagai alternatif yang dimunculkan, melainkan kematian. Apakah cinta sejati yang tak sampai harus berujung kematian? Dalam kisah cinta yang lain, yang artinya pengabdian, atau penyerahan— dan bukan pemilikan atau penguasaan—cinta tampil dalam wajah yang begitu semringah. Hidup dipenuhi cinta. Kita tak memiliki.
Bahkan tak memiliki diri kita sendiri. Kita seperti tidak ada. Kita hanya ada untuk cinta. Kita tidur dalam alam cinta. Melek dalam dunia cinta. Duduk, berdiri, berjalan, berlari, tak pernah menawarkan makna lain selain bahwa kita duduk, berdiri, berjalan dan berlari dalam cinta yang diberkahi. Dan di sini tak disinggung apakah ini cinta pertama atau terakhir. Cinta ya cinta. Di dalamnya bukan hanya tak pernah ada kalkulasi, tapi ini lain: cinta berarti mengabdi.
Tak pernah ada pamrih. Tak pernah ada ”klaim” ini dan itu. Cinta ya cinta, seperti disebut tadi. Hidup untuk cinta. Jika ada balasan? Kita tak berharap. Kita di sini mewakili tokoh perempuan di dunia sufi: Rabiyah Al-Adawiyah. Dia memiliki ungkapan cinta yang dalam dan menggetarkan jiwa, ”Aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka-Mu. Aku menyembah-Mu juga bukan karena berharap akan surga-Mu. Tapi aku menyembah-Mu karena aku memang harus menyembah-Mu.”
Mungkin inilah cinta yang memiliki semangat pembebasan. Cinta yang sama sekali tak terikat. Dan di dunia ini memang tak ada kekuatan yang mengikatnya. Surga-neraka bukan apa-apa, karena talinya tak bisa mengikat jiwa perempuan suci ini. ”Kalau Kau ingin memberiku tempat di neraka, berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Kalau surga yang hendak Kau berikan padaku, berikan saja pada sahabat-sahabat-Mu. Dan aku? Engkau cukup bagiku.”
Bagaimana kita sekarang beragama? Mengapa kita tak meneladani kemuliaan cinta tokoh sufi ini? Mengapa ketika kita bersumpah dalam doa: kepada-Mu aku menyembah, tetapi sebenarnya kita menyembah politik dan segenap kepentingan politik kita?
Mengapa ketika kita bersumpah hanya kepada-Mu aku mohon pertolongan, tapi kita mohon pertolongan pada orang, sesama manusia, yang bisa menjanjikan posisi yang serba enak dan nyaman? Mengapa cinta kita tiba-tiba terasa begitu murah?
Mengapa kita bercinta sambil sekaligus mendengki? Mengapa kita bicara gerakan damai tapi di balik gerakan yang kasat mata ada agenda tersembunyi yang sama sekali tak berhubungan dengan cinta? Kita, tiap orang, bicara ”aku punya cinta”, tapi apa sebabnya hidup kita begitu gersang, penuh agenda kedengkian, penuh rencana mencelakai pihak lain?
Mengapa kita menutup akhir tahun bukan dengan cinta, bukan dengan keindahan yang bisa kita sebarkan pada sesama, dengan cara orang yang betulbetul punya cinta, melainkan sebaliknya: mengapa kita menghidupkan kedengkian? ”Aku punya cinta” seharusnya tak berarti lain, selain ”aku punya cinta” sebagaimana rasa dalam jiwa kita.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
MANUSIA punya cinta. Mungkin ada cinta pertama. Orang bilang cinta pertama itu suci. Dia lahir dari hati nurani. Mungkin tempatnya di lubuk hati yang terdalam.
Mungkin lubuk hati itu sebuah dunia tersendiri, yang tak terselami oleh panjangnya akal. Juga tidak oleh banyaknya aneka ragam pengalaman. Apalagi pengalaman manusia yang hanya dangkal. Pengalaman terdalam pun tak sampai sedalam lubuk hati—kadang kita menyebutnya hati nurani—yang menyimpan cinta suci tadi.
Di dalam cinta suci tak terdapat kalkulasi. Karena kalkulasi itu bikinan akal, sedangkan cinta suci bikinan hati. Buah hati. Dambaan hati. Mungkin cinta—juga cinta suci tadi—erat hubungannya dengan tragedi. Kelihatannya itu tidak mustahil.
Sebelum tragedi terjadi, cinta—biarpun sesuci salju yang belum tersentuh setitik pun debu— bawaannya membikin resah. Begitulah para seniman besar melukiskannya dalam novel, dalam puisi, dan juga drama, maupun film.
Romeo dan Juliet mungkin contoh klasik dan abadi. Tapi di negeri kita sendiri kisah macam itu tak kurang-kurangnya. Soalnya kita juga punya cinta. Seniman— juga seniman kita— sering menampilkan tragedi cinta itu sedemikian ekstrem, bisa berlebihan, dan menguras air mata pembaca novel atau puisi, penonton drama atau film. Dalam derita menanggung rindu, ibaratnya ”air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam”.
Begitu idiom kita jika menyangkut urusan cinta. Bukan hanya itu pula. Tak jarang cinta juga membuat kita merasa begitu melankolis, seperti dalam puisi Chairil Anwar, Cintaku Jauh di Pulau: Cintaku jauh di pulau/Gadis manis sekarang iseng sendiri/. Chairil rindu di mata, rindu di hati. Tabiat orang rindu, membuat apa yang jauh di mata menjadi begitu dekat di hati.
Tapi kedekatan tak identik dengan rasa tenteram. Dekat di hati tapi gelisah juga tak mustahil. Dalam cinta, Chairil juga bicara tentang kematian: Mengapa ajal memanggil dulu/Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku/. Kemudian dia menutup puisinya dengan kelamnya kematian: Manisku jauh di pulau/ Kalau kumati, dia mati iseng sendiri/.
Orang bilang, cinta di dalam kategori ini umumnya lebih berarti pemilikan, bahkan penguasaan. Sumpah mengenai cinta sampai mati dan pesan untuk dikubur dalam satu liang buat dua jasad yang saling mencintai sebagaimana gambaran khas mengenai apa yang bisa disebut ”kisah kasih tak sampai” sangat digemari—dan menjadi sejenis mode—dalam ekspresi seni di kalangan kaum seniman zaman dulu.
Chairil Anwar tak termasuk kategori seniman zaman dulu. Maka kalau dia bicara perkara lain, dia begitu tegar: Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang/. Dan dia bukan hanya tak bicara tentang kematian. Sebaliknya, dia bahkan memproklamasikan: Kumau hidup seribu tahun lagi!
Dalam lagu cinta—gubahan Panbers—mungkin agak lain. Ada kesedihan, tapi tanpa kematian. Dia tegar: aku gagal kali ini/tanpa tangis dan duka/ hanya titik air mata dan senyum kehancuran/.
Kelihatannya ini hancur biasa, tapi sekali lagi, tak menyentuh kematian. Gagasan bahwa hidup ini layak—jauh lebih dari layak— untuk dipertahankan, tak pernah menghampiri kaum seniman klasik, yang jika cinta tak terwujud, hanya ada satu jalan pembebasan: mati.
Sangat remaja jiwanya. Rupanya, aku—manusia— punya cinta, tapi tak punya kebebasan. Cinta digambarkan bersebelahan dengan mati. Maka, bila terjadi kesalahan pada cinta tadi, bukan hidup dengan berbagai alternatif yang dimunculkan, melainkan kematian. Apakah cinta sejati yang tak sampai harus berujung kematian? Dalam kisah cinta yang lain, yang artinya pengabdian, atau penyerahan— dan bukan pemilikan atau penguasaan—cinta tampil dalam wajah yang begitu semringah. Hidup dipenuhi cinta. Kita tak memiliki.
Bahkan tak memiliki diri kita sendiri. Kita seperti tidak ada. Kita hanya ada untuk cinta. Kita tidur dalam alam cinta. Melek dalam dunia cinta. Duduk, berdiri, berjalan, berlari, tak pernah menawarkan makna lain selain bahwa kita duduk, berdiri, berjalan dan berlari dalam cinta yang diberkahi. Dan di sini tak disinggung apakah ini cinta pertama atau terakhir. Cinta ya cinta. Di dalamnya bukan hanya tak pernah ada kalkulasi, tapi ini lain: cinta berarti mengabdi.
Tak pernah ada pamrih. Tak pernah ada ”klaim” ini dan itu. Cinta ya cinta, seperti disebut tadi. Hidup untuk cinta. Jika ada balasan? Kita tak berharap. Kita di sini mewakili tokoh perempuan di dunia sufi: Rabiyah Al-Adawiyah. Dia memiliki ungkapan cinta yang dalam dan menggetarkan jiwa, ”Aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka-Mu. Aku menyembah-Mu juga bukan karena berharap akan surga-Mu. Tapi aku menyembah-Mu karena aku memang harus menyembah-Mu.”
Mungkin inilah cinta yang memiliki semangat pembebasan. Cinta yang sama sekali tak terikat. Dan di dunia ini memang tak ada kekuatan yang mengikatnya. Surga-neraka bukan apa-apa, karena talinya tak bisa mengikat jiwa perempuan suci ini. ”Kalau Kau ingin memberiku tempat di neraka, berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Kalau surga yang hendak Kau berikan padaku, berikan saja pada sahabat-sahabat-Mu. Dan aku? Engkau cukup bagiku.”
Bagaimana kita sekarang beragama? Mengapa kita tak meneladani kemuliaan cinta tokoh sufi ini? Mengapa ketika kita bersumpah dalam doa: kepada-Mu aku menyembah, tetapi sebenarnya kita menyembah politik dan segenap kepentingan politik kita?
Mengapa ketika kita bersumpah hanya kepada-Mu aku mohon pertolongan, tapi kita mohon pertolongan pada orang, sesama manusia, yang bisa menjanjikan posisi yang serba enak dan nyaman? Mengapa cinta kita tiba-tiba terasa begitu murah?
Mengapa kita bercinta sambil sekaligus mendengki? Mengapa kita bicara gerakan damai tapi di balik gerakan yang kasat mata ada agenda tersembunyi yang sama sekali tak berhubungan dengan cinta? Kita, tiap orang, bicara ”aku punya cinta”, tapi apa sebabnya hidup kita begitu gersang, penuh agenda kedengkian, penuh rencana mencelakai pihak lain?
Mengapa kita menutup akhir tahun bukan dengan cinta, bukan dengan keindahan yang bisa kita sebarkan pada sesama, dengan cara orang yang betulbetul punya cinta, melainkan sebaliknya: mengapa kita menghidupkan kedengkian? ”Aku punya cinta” seharusnya tak berarti lain, selain ”aku punya cinta” sebagaimana rasa dalam jiwa kita.
(poe)