Matahari Birokrasi

Sabtu, 24 Desember 2016 - 10:00 WIB
Matahari Birokrasi
Matahari Birokrasi
A A A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen llmu Administrasi Publik FISIP Unpad

KETIKA Isaac (1972) meneorikan bahwa organisasi bersiklus mulai birth sampai death, pencarian pemimpinnya dianggap penting agar posisi maturity bisa terjaga. Reformasi birokrasi bisa tidak berdaya tanpa kehadiran figur yang mampu memutarkan rodanya.

Keinginan keras untuk merampingkan birokrasi dari kegemukan yang memperlambat kinerja menjadi penting. Untuk mencapainya, tidak semudah yang dibayangkan karena para lemak birokrasi akan memberikan perlawanan agar tidak diberangus.

Tidak heran bila dalam setiap pemilu beragam kepentingan turut bermain. Posisi presiden ataupun kepala daerah dianggap penting mengingat kemampuan memegang dirinya dianggap bisa menjadi media untuk menggelindingkan kepentingan yang dibawanya.

Tidak heran bila pemilukada pun bisa dianggap pertarungan kepentingan lima tahun ke depan untuk dipertontonkan kepada publik dengan birokrasi yang menjadi energy superbody-nya. Pantas jika Edward III (1980) maupun Meter (1975) menempatkan sikap pelaksana di dalamnya harus terintegrasi melalui kemampuan mengelola pucuk pimpinannya.

Pembonekaan
Tidak mudah mempertahankan kematangan di atas. Jenei (2000) memandang tiga hal patut dipertimbangkan. Pertama, modernisasi birokrasi yang mengganti tumpuan dari orang ke teknologi sistem.

Pergantian orang bisa terjadi kapan pun tanpa merusak pola hubungan kokoh yang dibuat secara sistemis. Dengan cara itu, pergantian pemain tidak boleh menyebabkan perubahan kebijakan dan perjalanan kegiatan yang sedang dijalankan. Bahkan bisa jadi orang semakin dikurangi sejalan dengan perkembangan teknologi yang justru semakin mengukuhkan sistem yang ada.

Kedua, adaptasi terhadap sistem demokrasi yang bertumpukan pada kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, kepentingan rakyat menjadi panglima yang tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan elite tertentu sehingga bancakan kekuasaan terjadi dengan mengorbankan kepentingan rakyat.

Untuk itu, kemampuan mencermati kepentingan tersebut tidak dapat dilakukan secara remote sensing, namun menuntut kedekatan batin agar birokrasi diputarkan secara jernih. Dengan upaya ini, pemanfaatan agama ataupun kekuasaan bisa dicermati kritis agar tidak bergeser dari pemuliaan kepentingan rakyatnya.

Adaptasi yang baik dapat menjadikan rakyat lebih berdaya dan perkasa untuk melakukan aktivitas ekonomi dan politiknya sehingga pemasangan bendera asing seperti terjadi di Maluku (Sindo, 28 November 2016) bukan hanya dapat dideteksi namun juga ditanggulangi bersama secara cepat.

Ketiga, adaptasi terhadap kebijakan multinasional. Kecermatan atas kebijakan tersebut perlu diikat dengan tujuan yang ingin dicapai birokrasi. Dengan demikian, tujuan tidak dialihfungsikan untuk menyesuaikan dengan kebijakan yang diatur pihak lain yang ada di luar, termasuk negara besar.

Dengan kemampuan ini, birokrasi tidak larut secara membabi buta atau menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing, namun dalam kerangka percepatan pencapaian kepentingan rakyat yang dilayaninya. Dengan demikian, kemampuan memilih dan memilah atas sejumlah kepentingan yang ditawarkan menjadi prinsip agar rakyat tidak menjadi korban kepentingan di luarnya.

Boleh jadi penyusupan sejumlah tenaga kerja asing bukan mustahil tanpa sepengetahuan birokrasi, namun kemampuan membela kepentingan negeri jauh lebih rendah ketimbang membela kepentingan lain di luar itu.

Tidak heran bila pandangan Bowman (2010) masih relevan. Kompetensi birokrat secara berjenjang patut diperhatikan. Tidak hanya kompetensi teknis yang melekat dengan bidang pekerjaan dan keilmuannya, namun juga etika dan leadership-nya.

Agaknya kelemahan terletak pada persoalan etika yang berujung pada pembonekaan sejumlah oknum elite oleh pihak lain sehingga mudah dipermainkan kepentingan yang jauh dari tuntutan dan kebutuhan rakyat. Dampaknya, leadership-nya tidak mampu dipancarkan untuk membela rakyat karena keteguhan hatinya tidak didapat.

Latah
Boleh jadi integritas birokrat menjadi genting untuk dievaluasi. Kepemilikan integritas publik seperti Sutor (1999) tuliskan menguatkan semangat pelayanan dan percepatan pewujudan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Buruh pun tidak usah menuntut dengan bergerombol untuk menuntut perbaikan upahnya, umat beragama pun tidak usah berdemo untuk menuntut penista agama dihukum. Birokrasi dengan tangkas merekam gejolak yang berkembang dengan menegakkan hukum, merespons dinamika kebutuhan rakyatnya serta membela bangsa dan negara kendati dirinya menjadi tumbal untuk itu.

Ketika reinventing digelorakan Osborne (1992), maka mengarahkan menjadi alternatif ketimbang mengayuh dengan bertumpu pada pemikiran bahwa pemerintahan milik rakyatnya.

Melalui upaya tersebut semangat kompetisi dapat disuntikkan agar unit kerja yang ada dapat bersaing dalam memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat. Kreativitas dalam memberikan pelayanan seperti itu dapat mengurangi rekayasa kegiatan yang berbasiskan pungli ataupun korupsi.

Dengan jiwa integritas kepada bangsanya, konsepsi tersebut tidak digunakan hanya sekedar latah, namun menjadi perjuangan untuk lebih memajukan rakyatnya ketimbang diri dan kelompoknya.

Untuk mewujudkan hal di atas, elite birokrasi mulai dari presiden, gubernur, bupati/wali kota haruslah menjadi mataharinya yang mampu mendongkrak kepatuhan birokrat di organisasi yang dipimpinnya serta diarahkan untuk melayani rakyat lebih efektif dan efisien.

Kesatupaduan persepsi, tekad, dan tindakan seluruh jajaran yang dipanasi mataharinya harus dapat dididihkan sehingga gelora pengabdian jajarannya semakin bergolak. Sebagai matahari dirinya disegani juga secara eksternal agar tidak ada yang bisa mendikte negeri ataupun daerah kekuasaannya.

Pantas jika memilih pemimpin birokrasi bukan urusan popularitas, tajir dan terpelajar karena yang penting justru kemampuan menggerakkan birokrasinya untuk menjadi alat melayani rakyat lebih cerdas.

Dengan kewibawaannya, tidak ada lagi yang berani menjadi bobotoh yang hanya mendorong dan bertepuk meriah ketika sukses dan tampil mengaku turut menyukseskan. Namun tatkala gagal, dirinya ditimpuki dan diumpat habis dengan cacian untuk kemudian ditinggalkan.

Sebagai matahari dalam birokrasi kepala birokrasi bukan hanya mampu menumbuhkan semangat anak buah, namun juga menyurutkan syahwat serakah diri dan kelompok dekatnya, menegakkan hukum, meneladani berkreasi demi negerinya serta menanggalkan pamrihnya atas pengabdian terhadap bangsa seperti halnya matahari tidak pernah meminta balas jasa atas kesetiaan menerangi bumi. Bila tidak, birokrasi akan mengalami declane dan bahkan death seperti Isaac utarakan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7699 seconds (0.1#10.140)