Memburu Emiten Baru
A
A
A
SEJUMLAH perusahaan besar yang meraih pendapatan di Indonesia belum mencatatkan saham (listing) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Celakanya, perusahaan tersebut justru terdaftar di bursa saham negara lain.
Manajemen BEI mendeteksi sedikitnya terdapat 52 perusahaan yang meliputi berbagai sektor, mulai dari properti, logistik, hingga tambang.
Dari 52 perusahaan tersebut, baru tiga yang memberi kabar gembira untuk dual listing tahun depan. Pihak BEI bertekad mengejar terus perusahaan yang dinilai tidak fair itu. Sejumlah strategi sudah disiapkan agar perusahaan yang sangat potensial meningkatkan likuiditas pasar saham itu mencatatkan saham.
Mengapa perusahaan yang menjadikan Indonesia sebagai sumber pendapatan itu tidak melirik pasar saham di dalam negeri? Meminjam istilah Direktur Utama (Dirut) BEI Tito Sulistio, perusahaan yang ”makan” di Indonesia, tetapi terdaftar di bursa saham negara lain sungguh tidak elok.
Apa yang diungkapkan petinggi bursa saham itu benar adanya. Tetapi, sejujurnya, pihak BEI juga harus introspeksi diri, jangan hanya terus mengejar perusahaan tersebut tanpa melihat ada persoalan apa di dalam bursa saham saat ini.
Apakah standar BEI masih ada yang kurang dibanding bursa di luar negeri misalnya soal kewajiban biaya setelah menjadi perusahaan terbuka yang dinilai terlalu besar?
Belakangan ini harus diakui bahwa upaya BEI untuk menarik perusahaan menjadi perusahaan terbuka sangat gencar. Berbagai sosialisasi digelar di antaranya mengundang para pelaku usaha terlibat dalam pembukaan perdagangan yang tak pernah dilakukan pengelola BEI sebelumnya, dan ribuan seminar seputar pasar saham sudah dilaksanakan di berbagai daerah. Toh, minat pengusaha meng-go public- an perusahaan belum kencang. Tengok saja, target BEI mengundang emiten (perusahaan terbuka) baru tetap selalu meleset.
Sepanjang tahun ini target emiten telah direvisi beberapa kali, awalnya sebanyak 35 lalu turun menjadi 32, kemudian 30 dan akhirnya dipatok sebanyak 25 emiten. Dari target emiten revisi terakhir itu telah terjaring sebanyak 15 perusahaan hingga awal Desember 2016.
Pihak Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) mengakui persoalan iuran atau pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) salah satu sumber masalahnya. Karena itu, wajar kalau Direktur AEI Isakayoga meminta pihak OJK untuk meninjau kembali tarif pungutan terhadap emiten.
Sejak tiga tahun lalu pihak OJK sudah mengenakan pungutan kepada industri jasa keuangan dan tak terkecuali pada emiten. Pungutan itu mengacu pada payung hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP)Nomor 11 Tahun 2014.
Intinya, pasar modal, perbankan, industri keuangan nonbank (IKNB) seperti perusahaan pembiayaan dan asuransi dikenakan pungutan dengan besaran yang beragam. Secara umum pungutan tersebut dikelompokkan dalam tiga kategori yang ternyata dinilai memberatkan.
Pertama, biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan. Kedua, biaya penelaahan rencana aksi korporasi. Ketiga, biaya tahunan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian. Peraturan pemerintah tersebut diteken pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Meski demikian, pihak BEI tidak mengenal kata menyerah dan terus menyosialisasikan pentingnya menjadi perusahaan terbuka. Belum lama ini BEI telah melaksanakan seminar sosialisasi initial public offering (IPO) dan corporate action yang dihadiri 146 perusahaan. Sebagian besar perusahaan tersebut telah menunjukkan minat go public.
Sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) juga berkomitmen mencatatkan saham di bursa saham secepatnya.
Dirut BEI Tito Sulistio optimistis bisa menggandeng sekurang-kurangnya 30 emiten tahun depan. Namun, Tito masih merahasiakan perusahaan apa saja yang bakal menjajal bursa saham pada 2017.
Selain sosialisasi kepada perusahaan, manajemen BEI juga harus menjadikan pemerintah daerah sebagai garapan serius mendorong perusahaan daerah go public. BEI harus memberi apresiasi khusus kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang begitu peduli terhadap pengembangan BEI.
Dalam berbagai kesempatan Ganjar Pranowo selalu menyarankan perusahaan di Jawa Tengah untuk IPO sebagai salah satu instrumen mencari modal ketimbang mengajukan kredit ke bank.
Setidaknya terdapat 31 perusahaan perikanan di Jawa Tengah yang berorientasi ekspor berpotensi besar menjadi perusahaan terbuka. Bisa dibayangkan bila setiap gubernur dari 34 provinsi di Indonesia ”menyumbangkan” dua emiten saja setahun, ada 68 emiten baru setiap tahun. Artinya, dua kali lebih dari target emiten BEI per tahun.
Manajemen BEI mendeteksi sedikitnya terdapat 52 perusahaan yang meliputi berbagai sektor, mulai dari properti, logistik, hingga tambang.
Dari 52 perusahaan tersebut, baru tiga yang memberi kabar gembira untuk dual listing tahun depan. Pihak BEI bertekad mengejar terus perusahaan yang dinilai tidak fair itu. Sejumlah strategi sudah disiapkan agar perusahaan yang sangat potensial meningkatkan likuiditas pasar saham itu mencatatkan saham.
Mengapa perusahaan yang menjadikan Indonesia sebagai sumber pendapatan itu tidak melirik pasar saham di dalam negeri? Meminjam istilah Direktur Utama (Dirut) BEI Tito Sulistio, perusahaan yang ”makan” di Indonesia, tetapi terdaftar di bursa saham negara lain sungguh tidak elok.
Apa yang diungkapkan petinggi bursa saham itu benar adanya. Tetapi, sejujurnya, pihak BEI juga harus introspeksi diri, jangan hanya terus mengejar perusahaan tersebut tanpa melihat ada persoalan apa di dalam bursa saham saat ini.
Apakah standar BEI masih ada yang kurang dibanding bursa di luar negeri misalnya soal kewajiban biaya setelah menjadi perusahaan terbuka yang dinilai terlalu besar?
Belakangan ini harus diakui bahwa upaya BEI untuk menarik perusahaan menjadi perusahaan terbuka sangat gencar. Berbagai sosialisasi digelar di antaranya mengundang para pelaku usaha terlibat dalam pembukaan perdagangan yang tak pernah dilakukan pengelola BEI sebelumnya, dan ribuan seminar seputar pasar saham sudah dilaksanakan di berbagai daerah. Toh, minat pengusaha meng-go public- an perusahaan belum kencang. Tengok saja, target BEI mengundang emiten (perusahaan terbuka) baru tetap selalu meleset.
Sepanjang tahun ini target emiten telah direvisi beberapa kali, awalnya sebanyak 35 lalu turun menjadi 32, kemudian 30 dan akhirnya dipatok sebanyak 25 emiten. Dari target emiten revisi terakhir itu telah terjaring sebanyak 15 perusahaan hingga awal Desember 2016.
Pihak Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) mengakui persoalan iuran atau pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) salah satu sumber masalahnya. Karena itu, wajar kalau Direktur AEI Isakayoga meminta pihak OJK untuk meninjau kembali tarif pungutan terhadap emiten.
Sejak tiga tahun lalu pihak OJK sudah mengenakan pungutan kepada industri jasa keuangan dan tak terkecuali pada emiten. Pungutan itu mengacu pada payung hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP)Nomor 11 Tahun 2014.
Intinya, pasar modal, perbankan, industri keuangan nonbank (IKNB) seperti perusahaan pembiayaan dan asuransi dikenakan pungutan dengan besaran yang beragam. Secara umum pungutan tersebut dikelompokkan dalam tiga kategori yang ternyata dinilai memberatkan.
Pertama, biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan. Kedua, biaya penelaahan rencana aksi korporasi. Ketiga, biaya tahunan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian. Peraturan pemerintah tersebut diteken pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Meski demikian, pihak BEI tidak mengenal kata menyerah dan terus menyosialisasikan pentingnya menjadi perusahaan terbuka. Belum lama ini BEI telah melaksanakan seminar sosialisasi initial public offering (IPO) dan corporate action yang dihadiri 146 perusahaan. Sebagian besar perusahaan tersebut telah menunjukkan minat go public.
Sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) juga berkomitmen mencatatkan saham di bursa saham secepatnya.
Dirut BEI Tito Sulistio optimistis bisa menggandeng sekurang-kurangnya 30 emiten tahun depan. Namun, Tito masih merahasiakan perusahaan apa saja yang bakal menjajal bursa saham pada 2017.
Selain sosialisasi kepada perusahaan, manajemen BEI juga harus menjadikan pemerintah daerah sebagai garapan serius mendorong perusahaan daerah go public. BEI harus memberi apresiasi khusus kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang begitu peduli terhadap pengembangan BEI.
Dalam berbagai kesempatan Ganjar Pranowo selalu menyarankan perusahaan di Jawa Tengah untuk IPO sebagai salah satu instrumen mencari modal ketimbang mengajukan kredit ke bank.
Setidaknya terdapat 31 perusahaan perikanan di Jawa Tengah yang berorientasi ekspor berpotensi besar menjadi perusahaan terbuka. Bisa dibayangkan bila setiap gubernur dari 34 provinsi di Indonesia ”menyumbangkan” dua emiten saja setahun, ada 68 emiten baru setiap tahun. Artinya, dua kali lebih dari target emiten BEI per tahun.
(dam)