Agenda Pemberantasan Korupsi

Senin, 19 Desember 2016 - 16:09 WIB
Agenda Pemberantasan...
Agenda Pemberantasan Korupsi
A A A
Dr Vishnu Juwono
Dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.

PADA tanggal 9 Desember 2016 lalu kita memperingati hari antikorupsi dunia. Tentu saja hal tersebut merupakan momentum yang tepat untuk melakukan refleksi, terutama mengenai perkembangan insiatif antikorupsi di Indonesia.

Seperti kita ketahui, isu korupsi menggerogoti kredibilitas lebih dari 1 dekade masa akhir pemerintahan Orde Baru, hingga menjadi salah satu faktor utama penyebab presiden Soeharto terpaksa mengundurkan diri pada bulan Mei 1998.

Pada masa tersebut, sebagian besar masyarakat kecewa terhadap Soeharto yang terlalu memberikan keuntungan ekonomi serta politik, terutama kepada anak kandungnya. Sehingga kekuatan oposisi dan masyarakat sipil pada saat itu terus memberikan tekanan kepada pemerintah dengan sangat efektif melalui isu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Korupsi di Indonesia
Dalam literatur akademik tentu saja terdapat berbagai macam definisi dari korupsi. Penulis tidak memfokuskan pada petty corruption atau korupsi skala kecil, namun lebih diutamakan pada korupsi skala besar atau grand corruption.

Menurut UNDP (2008), grand corruption adalah korupsi yang melibatkan dana dalam jumlah yang sangat besar dan biasa melibatkan pejabat tinggi negara yang berkolusi untuk menerima suap. Sebab melalui korupsi skala besar biasanya dapat mempengaruhi kebijakan publik nasional.

Kembali lagi pada konteks Indonesia, studi mengenai korupsi sudah berlangsung lama. Semenjak jaman kolonial VOC (Crouch, 1986) hingga masa Demokrasi terpimpin Presiden Soekarno (Mackie, 1971 dan King, 2000).

Yang menjadi banyak perhatian akademisi dan akhirnya berkembang menjadi wacana publik adalah isu korupsi di masa Soeharto. Pada masa tersebut terdapat dua perkembangan sosial serta global yang tidak dapat diantiisipasi oleh Soeharto.

Terkait dengan jatuhnya Uni Soviet dan sekutu negara-negara komunis pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, Soeharto tidak mendapat dukungan tak terbatas dari negara barat seperti saat era perang dingin. Sehingga Amerika Serikat dan sekutu negara barat mulai mengkritisi berbagai kebijakan pembangunan pemerintah Orde Baru, termasuk masalah korupsi.

Selain itu juga jumlah kelas menengah atas yang kebanyakan di Jakarta dan terdidik yang merupakan pilar utama dari masyarakat sipil ini. Pada masa Orde Baru kelas menengah semakin meningkat seiring dengan kesuksesan dari pemerintah Soeharto dalam kebijakan yang membawa pertumbuhan ekonomi tinggi --rata-rata lebih dari 5%-- saat sebelum terjadinya krisis ekonomi di tahun 1998.

Kelompok menengah atas dengan jaringan internasional dan kemampuan mengorganisir, bekerja sama dengan NGO serta media internasional dan beberapa media yang masih independen, secara sistematis mengkritisi kebijakan pembangunan Soeharto yang dianggap menguntungkan keluarga dan pendukungnya, terutama dari kalangan pengusaha.

Setelah Era Orde Baru
Setelah Soeharto mengundurkan diri akibat tekanan politik baik dari dalam dan luar negeri, masalah korupsi menjadi salah satu agenda utama pada era reformasi. Pelajaran yang diperoleh pada inisiatif anti korupsi di masa Presiden Soekarno dan Soeharto adalah inisiatif bersifat sementara, tidak diberikan sumber daya yang memadai, mudah di hentikan dan yang lebih penting lagi adalah tidak memperoleh dukungan pimpinan politik tertinggi.

Berbagai macam inisiatif serta lembaga anti korupsi telah diluncurkan oleh pemerintah yang dipimpin beberapa presiden setelah Soeharto. Namun berbagai inisiatif ini pada akhirnya harus terhenti akibat adanya perlawanan balik dari vested interest/kepentingan baik politik maupun ekonomi dari elite politik yang berkuasa.

Terbukti, dua institusi Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada masa pemerintahan Gus Dur serta Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada masa pemerintahan Megawati, pada akhirnya dibubarkan karena inisiatif lembaga tersebut telah mengganggu kepentingan elite. TGPTPK resmi dibubarkan melalui judicial review di Mahkamah Agung, sedangkan KPKPN dilebur ke dalam lembaga Anti Korupsi baru sehubungan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 30/ 2002 mengenai KPK.

Menurut ahli anti korupsi asal Singapura John Quah (2013), terdapat tiga pola inisiatif anti korupsi yang dilaksanakan di beberapa negara Asia. Pada pola pertama adalah adanya undang-undang anti korupsi, namun tidak memiliki lembaga khusus yang menangani korupsi, seperti yang terjadi di Jepang dan Mongolia.

Sedangkan pada pola yang kedua adalah adanya undang-undang anti korupsi dengan beberapa institusi terlibat dalam perkara penanganan korupsi, termasuk para aparat penegak hukum. Contohnya seperti di India, Filipina dan Cina. Pada pola ketiga, selain undang-undang anti korupsi sebuah negara juga memiliki badan anti korupsi yang independen, seperti yang terjadi di Singapura dan Hong Kong.

Menurut Quah dari ketiga pola tersebut, pola ketiga berpotensi menghasilkan inisiatif antikorupsi yang lebih efektif. Namun ia mengingatkan tidak ada jaminan, bahwa dengan menerapkan pola ketiga, suatu negara akan berhasil menjalankan inisiatif anti korupsi. Sebab diperlukan komitmen politik yang kuat dari pimpinan politik tertinggi, terutama dari Presiden.

Untuk kasus Indonesia, setelah berfungsinya KPK sejak tahun 2003, bisa dikatakan bahwa Indonesia menganut pola ketiga dari model yang diperkenalkan oleh Quah. Namun dibandingkan dengan lembaga anti korupsi di Hong Kong dan Singapura, bisa dikatakan belum dapat berfungsi secara optimal.

KPK secara otoritas memiliki wewenang lebih kuat dibanding lembaga anti korupsi negara-negara lain, seperti kewenangan penyelidikan, penyidikan serta penuntutan dikombinasikan dengan adanya Pengadilan khusus tindak pidana korupsi. Namun posisi politik KPK rentan dari serangan balik para elite politik yang kepentingannya terganggu.

Seperti mulai dipertanyakan kembalinya kebenaran kasus kriminal yang menimpa mantan ketua KPK Antasari Azhar, yang kemudian berlanjut pada kasus kriminalisasi oleh aparat penegak hukum yang menimpa pimpinan KPK lainnya. Seperti kasus Bibit-Chandra pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Bambang Widjayanto dan Abraham Samad pada era Presiden Joko Widodo.

Kedua presiden tersebut kita perlu apresiasi pada akhirnya melalui Jaksa Agung menghentikan penuntutan terhadap para pimpinan KPK tersebut. Namun , peristiwa tersebut menunjukkan bahwa dukungan elite politik terhadap agenda pemberantasan korupsi tidak penuh.

Terlepas dari kerentanan politik yang dihadapi, perlu diakui bahwa KPK merupakan lembaga anti korupsi yang paling efektif dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Tidak seperti inisiatif atau lembaga anti korupsi pada era sebelumnya yang mudah dihentikan saat menyentuh elite berpengaruh, rekam jejak KPK berhasil memenangkan beberapa perkara grand corruption.

Seperti menyelesaikan kasus yang melibatkan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, mantan Menteri Agama dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya hari antikorupsi dunia kemarin merupakan momentum bagi Presiden Jokowi dan Ketua KPK Agus Rahardjo untuk mengakselerasi kembali inisiatif anti korupsi demi menyelesaikan amanat agenda utama reformasi yang sejak 1998 belum tuntas.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0729 seconds (0.1#10.140)