Opsi Pendekatan Isu Rohingya
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder Paramadina Graduate School of Diplomacy
24 November 2016 beredar berita bahwa John McKissick, wakil dari UNHCR, tentara Myanmar membunuh, menembaki orang-orang Muslim Rohingya, memerkosa perempuan, membakar, dan merampas rumah mereka, memaksa orang-orang tersebut untuk menyeberangi Sungai Naaf ke wilayah Bangladesh.
Simpulan McKissick adalah Pemerintah Myanmar menginginkan penghapusan etnis (ethnic cleansing) Rohingya.
Apa yang dilakukan Indonesia untuk Rohingya dan apa yang dibuat oleh ASEAN, termasuk oleh Komisi Antarpemerintah untuk Hak Asasi Manusia ASEAN alias AICHR (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights)?
Demikian pertanyaan yang bertubi-tubi muncul. Karena posisi saya saat ini sebagai wakil Indonesia untuk AICHR, ada baiknya saya berbagi pandangan tentang Rohingya dan Myanmar, meskipun ini perlu dicatat sebagai pendapat dan observasi pribadi.
Pendekatan yang diambil tidak bisa keras, apalagi dalam konteks ASEAN, karena cara keras tidak sejalan dengan prinsip konstruktif yang digaungkan Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia dan juga dalam prinsip ASEAN yang mengedepankan komunikasi yang berkesinambungan demi menjaga suasana kerja sama.
ASEAN bukan superstate seperti Uni-Eropa yang memiliki mekanisme sanksi dan kewajiban terikat bagi anggotanya, dan bukan pula seperti Liga Arab yang dapat mengisolasi Iran ketika terjadi konflik di Yaman.
Di ASEAN dan AICHR cara-cara persuasif dikedepankan agar tiap negara anggota yang dianggap 'kurang' dapat mengembangkan kemampuan penanganan isu atau masalah yang lebih baik.
Di ASEAN, cara keras hanya bisa dipakai dalam jalur bilateral antarnegara ASEAN seperti saat kasus asap yang melibatkan Indonesia dengan Singapura atau kasus TKI yang melibatkan Indonesia dan Malaysia. Ketika ada yang mau mengangkat ke forum ASEAN maka yang terjadi adalah penolakan, bahkan Indonesia pun menolak.
Perdebatan yang dilakukan oleh ASEAN dikotominya bukan keras atau lunak tetapi lebih dalam hubungan antara sejauh mana kita bertindak proaktif atau pasif. Proaktif dan pasif sama-sama punya kelebihan dan kekurangan.
Kedua pendekatan akan berjalan apabila prinsip nonintervention pada kedaulatan masing-masing negara tetap dijunjung tinggi. Apabila prinsip ini dilanggar, sudah pasti tidak akan ada jalan keluar yang bisa diterima secara konstruktif. Untuk itu, baiklah saya berbagi pengamatan terkini tentang situasi di sana.
Rakhine State, dulunya disebut Arakan, adalah negara bagian di sisi barat Myanmar yang berbatasan langsung cukup panjang dengan Teluk Bengal dan wilayah Bangladesh, Chittagong.
Di dekat sana ada Gunung Arakan yang memisahkan wilayah Rakhine dari wilayah lain di Myanmar. Ada pula Sungai Naaf yang membatasi Myanmar dan Bangladesh. Ibu kota negara bagian ini adalah Sittwe dengan total penduduk sekitar 2,9 juta jiwa.
Statistik setempat mengatakan bahwa sekitar 42% penduduk di negara bagian ini beragama muslim walaupun tidak semuanya tergolong Rohingya. Rohingya dikabarkan hanya sekitar 5%. Jadi ada orang-orang muslim lain di Rakhine State, demikian pula tidak semua orang Rohingya bermukim di Rakhine State.
Kata Rohingya punya arti orang asli Arakan, tetapi punya konotasi negatif di Myanmar, sebagai orang-orang berkulit gelap keturunan Indo-Aryan yang sudah bermukim di Rakhine State sejak abad 16 atau yang bermigrasi ke Burma dari wilayah Bengal pada zaman koloni Inggris di Myanmar.
Tidak hanya Myanmar yang menolak Rohingya. Bangladesh pun menolak mereka, salah satunya karena jumlah mereka yang terlalu banyak masuk ke Bangladesh, sementara mereka dikenal dengan stereotipe berpendidikan rendah, namun mengambil pekerjaan kasar dari orang-orang Bangladesh dan melakukan tindakan kriminal. Secara fisik, dan warna kulit orang Rohingya mirip dengan keturunan Asia Selatan, tetapi mereka punya bahasa sendiri.
Menurut informasi dari rekan lembaga sosial yang sejak 2012 sudah 'turun' ke Rakhine State untuk memberi bantuan kemanusiaan, kejadian 2016 patut menjadi perhatian bersama, karena kali ini mereka mensinyalir sudah terjadi bentrokan senjata antara aparat Myanmar dan kelompok-kelompok yang mengaku mewakili orang Rohingya.
Dulu benturan wilayah Rakhine lebih mirip konflik komunal, sementara tahun ini kelihatan berbeda karena ada nuansa penggunaan senjata. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kegiatan kemanusiaan kali ini hanya bisa masuk sampai ke ibu kota Sittwe.
Informan ini juga menggambarkan bahwa di Rakhine State sebenarnya ada cluster-cluster permukiman muslim yang sukses berbisnis, mirip seperti pecinan di Glodok Jakarta. Ada indikasi bahwa tidak semua muslim di Myanmar mengalami diskriminasi.
Artinya kita patut bertanya, apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Myanmar? Mengapa Pemerintah Myanmar membatasi komunikasi dengan pihak luar terkait Rakhine State dan Rohingya?
Indonesia, khususnya jalur Kementerian Luar Negeri dan beberapa organisasi kemanusiaan, termasuk yang mendapatkan akses langka untuk bisa menjawab dan mengomunikasikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Hal ini karena otoritas Myanmar mau ditemui oleh Pemerintah Indonesia terkait tudingan UNHCR. Selebihnya otoritas Myanmar memilih bungkam. Tidak ada juga jalur masyarakat sipil Myanmar yang bersedia diajak bicara tentang ini.
Kelompok politisi di Rakhine State bahkan menolak bicara kepada Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB yang mengetuai Advisory Commission on Rakhine State, yakni kerja sama Kementerian Luar Negeri Myanmar dengan Kofi Annan Foundation untuk mengusulkan cara-cara konkret memperbaiki kesejahteraan semua orang di Rakhine State.
Jika Indonesia memilih cara proaktif, Indonesia akan secara gigih menggali informasi dari Myanmar tentang dimensi-dimensi masalah kekerasan di Rakhine State, termasuk juga mengukur besaran masalah untuk kemudian dapat diusulkan secara bilateral solusinya.
Dalam konteks proaktif, Indonesia dapat ikut menjamin bahwa kekerasan tidak berlanjut. Cara proaktif bisa tetap diplomatis, tidak konfrontatif dan tidak mempermalukan Myanmar.
Keuntungan cara proaktif setidaknya ada empat. Pertama, Indonesia bisa menyampaikan kepada publik dan komunitas internasional tentang prinsip-prinsip yang menggerakkan Indonesia untuk terlibat. Dan langkah ini akan nyata lebih bernuansa dibandingkan sekadar memberi bantuan kemanusiaan.
Kedua, Indonesia bisa meyakinkan Myanmar bahwa informasi yang diberikan kepada Indonesia akan membantu mengurai segala tudingan negatif yang makin membesar pada Pemerintah Myanmar.
Ketiga, apalagi ketika dalam keterlibatannya mengangkat juga martabat ASEAN, akan mendapat respek yang lebih luas di ASEAN dan dari negara-negara mitra ASEAN tentang relevansi ASEAN dalam situasi ketegangan yang tinggi.
Keempat, Indonesia bisa menjembatani perluasan keterlibatan masyarakat sipil di Myanmar dengan Indonesia dan ASEAN. Karena pada prinsipnya api tidak bisa disimpan di tempat tertutup. Jika api dikelola dengan baik oleh banyak pihak, efek merusaknya bisa lebih dikendalikan.
Kekurangan dari cara proaktif adalah risiko keterbatasan sumber daya jika ternyata masalah Rohingya ini lebih besar daripada yang bisa direspons Indonesia. Selain itu, Myanmar masih dalam posisi cenderung mengisolasi diri di bidang luar negeri dan mendekat kepada China dalam hal pembangunan. Jika tidak direncanakan dengan baik, pendekatan ini bisa disalahartikan sebagai menekan Myanmar.
Jika Indonesia memilih cara pasif, Indonesia akan lebih banyak wait and see, bicara dengan otoritas Myanmar tetapi cenderung fokus pada aspek yang ditawarkan Myanmar saja, dengan harapan agar tiap langkah Indonesia tidak disalahartikan.
Keuntungan pendekatan pasif ini adalah bahwa ini pendekatan aman baik dari segi persepsi, sumber daya, maupun perencanaan. Kekurangannya adalah tidak mustahil korban masih akan terus berjatuhan dan yang tidak sabar akan menggunakan isu ini sebagai amunisi untuk menuding ketidakberdayaan negara dalam melindungi muslim di Myanmar.
Hari ini perang persepsi adalah keseharian dalam politik, termasuk dalam politik luar negeri. Fakta menjadi tidak relevan jika persepsi sudah berkembang lebih populer. Dalam hal kelompok Rohingya, kita patut mencegah agar kekerasan tidak berlanjut dan agar kemarahan orang-orang Rohingya yang terpinggirkan tidak dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk menciptakan basis-basis terorisme baru di Asia Tenggara.
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder Paramadina Graduate School of Diplomacy
24 November 2016 beredar berita bahwa John McKissick, wakil dari UNHCR, tentara Myanmar membunuh, menembaki orang-orang Muslim Rohingya, memerkosa perempuan, membakar, dan merampas rumah mereka, memaksa orang-orang tersebut untuk menyeberangi Sungai Naaf ke wilayah Bangladesh.
Simpulan McKissick adalah Pemerintah Myanmar menginginkan penghapusan etnis (ethnic cleansing) Rohingya.
Apa yang dilakukan Indonesia untuk Rohingya dan apa yang dibuat oleh ASEAN, termasuk oleh Komisi Antarpemerintah untuk Hak Asasi Manusia ASEAN alias AICHR (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights)?
Demikian pertanyaan yang bertubi-tubi muncul. Karena posisi saya saat ini sebagai wakil Indonesia untuk AICHR, ada baiknya saya berbagi pandangan tentang Rohingya dan Myanmar, meskipun ini perlu dicatat sebagai pendapat dan observasi pribadi.
Pendekatan yang diambil tidak bisa keras, apalagi dalam konteks ASEAN, karena cara keras tidak sejalan dengan prinsip konstruktif yang digaungkan Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia dan juga dalam prinsip ASEAN yang mengedepankan komunikasi yang berkesinambungan demi menjaga suasana kerja sama.
ASEAN bukan superstate seperti Uni-Eropa yang memiliki mekanisme sanksi dan kewajiban terikat bagi anggotanya, dan bukan pula seperti Liga Arab yang dapat mengisolasi Iran ketika terjadi konflik di Yaman.
Di ASEAN dan AICHR cara-cara persuasif dikedepankan agar tiap negara anggota yang dianggap 'kurang' dapat mengembangkan kemampuan penanganan isu atau masalah yang lebih baik.
Di ASEAN, cara keras hanya bisa dipakai dalam jalur bilateral antarnegara ASEAN seperti saat kasus asap yang melibatkan Indonesia dengan Singapura atau kasus TKI yang melibatkan Indonesia dan Malaysia. Ketika ada yang mau mengangkat ke forum ASEAN maka yang terjadi adalah penolakan, bahkan Indonesia pun menolak.
Perdebatan yang dilakukan oleh ASEAN dikotominya bukan keras atau lunak tetapi lebih dalam hubungan antara sejauh mana kita bertindak proaktif atau pasif. Proaktif dan pasif sama-sama punya kelebihan dan kekurangan.
Kedua pendekatan akan berjalan apabila prinsip nonintervention pada kedaulatan masing-masing negara tetap dijunjung tinggi. Apabila prinsip ini dilanggar, sudah pasti tidak akan ada jalan keluar yang bisa diterima secara konstruktif. Untuk itu, baiklah saya berbagi pengamatan terkini tentang situasi di sana.
Rakhine State, dulunya disebut Arakan, adalah negara bagian di sisi barat Myanmar yang berbatasan langsung cukup panjang dengan Teluk Bengal dan wilayah Bangladesh, Chittagong.
Di dekat sana ada Gunung Arakan yang memisahkan wilayah Rakhine dari wilayah lain di Myanmar. Ada pula Sungai Naaf yang membatasi Myanmar dan Bangladesh. Ibu kota negara bagian ini adalah Sittwe dengan total penduduk sekitar 2,9 juta jiwa.
Statistik setempat mengatakan bahwa sekitar 42% penduduk di negara bagian ini beragama muslim walaupun tidak semuanya tergolong Rohingya. Rohingya dikabarkan hanya sekitar 5%. Jadi ada orang-orang muslim lain di Rakhine State, demikian pula tidak semua orang Rohingya bermukim di Rakhine State.
Kata Rohingya punya arti orang asli Arakan, tetapi punya konotasi negatif di Myanmar, sebagai orang-orang berkulit gelap keturunan Indo-Aryan yang sudah bermukim di Rakhine State sejak abad 16 atau yang bermigrasi ke Burma dari wilayah Bengal pada zaman koloni Inggris di Myanmar.
Tidak hanya Myanmar yang menolak Rohingya. Bangladesh pun menolak mereka, salah satunya karena jumlah mereka yang terlalu banyak masuk ke Bangladesh, sementara mereka dikenal dengan stereotipe berpendidikan rendah, namun mengambil pekerjaan kasar dari orang-orang Bangladesh dan melakukan tindakan kriminal. Secara fisik, dan warna kulit orang Rohingya mirip dengan keturunan Asia Selatan, tetapi mereka punya bahasa sendiri.
Menurut informasi dari rekan lembaga sosial yang sejak 2012 sudah 'turun' ke Rakhine State untuk memberi bantuan kemanusiaan, kejadian 2016 patut menjadi perhatian bersama, karena kali ini mereka mensinyalir sudah terjadi bentrokan senjata antara aparat Myanmar dan kelompok-kelompok yang mengaku mewakili orang Rohingya.
Dulu benturan wilayah Rakhine lebih mirip konflik komunal, sementara tahun ini kelihatan berbeda karena ada nuansa penggunaan senjata. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kegiatan kemanusiaan kali ini hanya bisa masuk sampai ke ibu kota Sittwe.
Informan ini juga menggambarkan bahwa di Rakhine State sebenarnya ada cluster-cluster permukiman muslim yang sukses berbisnis, mirip seperti pecinan di Glodok Jakarta. Ada indikasi bahwa tidak semua muslim di Myanmar mengalami diskriminasi.
Artinya kita patut bertanya, apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Myanmar? Mengapa Pemerintah Myanmar membatasi komunikasi dengan pihak luar terkait Rakhine State dan Rohingya?
Indonesia, khususnya jalur Kementerian Luar Negeri dan beberapa organisasi kemanusiaan, termasuk yang mendapatkan akses langka untuk bisa menjawab dan mengomunikasikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Hal ini karena otoritas Myanmar mau ditemui oleh Pemerintah Indonesia terkait tudingan UNHCR. Selebihnya otoritas Myanmar memilih bungkam. Tidak ada juga jalur masyarakat sipil Myanmar yang bersedia diajak bicara tentang ini.
Kelompok politisi di Rakhine State bahkan menolak bicara kepada Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB yang mengetuai Advisory Commission on Rakhine State, yakni kerja sama Kementerian Luar Negeri Myanmar dengan Kofi Annan Foundation untuk mengusulkan cara-cara konkret memperbaiki kesejahteraan semua orang di Rakhine State.
Jika Indonesia memilih cara proaktif, Indonesia akan secara gigih menggali informasi dari Myanmar tentang dimensi-dimensi masalah kekerasan di Rakhine State, termasuk juga mengukur besaran masalah untuk kemudian dapat diusulkan secara bilateral solusinya.
Dalam konteks proaktif, Indonesia dapat ikut menjamin bahwa kekerasan tidak berlanjut. Cara proaktif bisa tetap diplomatis, tidak konfrontatif dan tidak mempermalukan Myanmar.
Keuntungan cara proaktif setidaknya ada empat. Pertama, Indonesia bisa menyampaikan kepada publik dan komunitas internasional tentang prinsip-prinsip yang menggerakkan Indonesia untuk terlibat. Dan langkah ini akan nyata lebih bernuansa dibandingkan sekadar memberi bantuan kemanusiaan.
Kedua, Indonesia bisa meyakinkan Myanmar bahwa informasi yang diberikan kepada Indonesia akan membantu mengurai segala tudingan negatif yang makin membesar pada Pemerintah Myanmar.
Ketiga, apalagi ketika dalam keterlibatannya mengangkat juga martabat ASEAN, akan mendapat respek yang lebih luas di ASEAN dan dari negara-negara mitra ASEAN tentang relevansi ASEAN dalam situasi ketegangan yang tinggi.
Keempat, Indonesia bisa menjembatani perluasan keterlibatan masyarakat sipil di Myanmar dengan Indonesia dan ASEAN. Karena pada prinsipnya api tidak bisa disimpan di tempat tertutup. Jika api dikelola dengan baik oleh banyak pihak, efek merusaknya bisa lebih dikendalikan.
Kekurangan dari cara proaktif adalah risiko keterbatasan sumber daya jika ternyata masalah Rohingya ini lebih besar daripada yang bisa direspons Indonesia. Selain itu, Myanmar masih dalam posisi cenderung mengisolasi diri di bidang luar negeri dan mendekat kepada China dalam hal pembangunan. Jika tidak direncanakan dengan baik, pendekatan ini bisa disalahartikan sebagai menekan Myanmar.
Jika Indonesia memilih cara pasif, Indonesia akan lebih banyak wait and see, bicara dengan otoritas Myanmar tetapi cenderung fokus pada aspek yang ditawarkan Myanmar saja, dengan harapan agar tiap langkah Indonesia tidak disalahartikan.
Keuntungan pendekatan pasif ini adalah bahwa ini pendekatan aman baik dari segi persepsi, sumber daya, maupun perencanaan. Kekurangannya adalah tidak mustahil korban masih akan terus berjatuhan dan yang tidak sabar akan menggunakan isu ini sebagai amunisi untuk menuding ketidakberdayaan negara dalam melindungi muslim di Myanmar.
Hari ini perang persepsi adalah keseharian dalam politik, termasuk dalam politik luar negeri. Fakta menjadi tidak relevan jika persepsi sudah berkembang lebih populer. Dalam hal kelompok Rohingya, kita patut mencegah agar kekerasan tidak berlanjut dan agar kemarahan orang-orang Rohingya yang terpinggirkan tidak dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk menciptakan basis-basis terorisme baru di Asia Tenggara.
(maf)