Dari UN ke USBN

Rabu, 07 Desember 2016 - 07:41 WIB
Dari UN ke USBN
Dari UN ke USBN
A A A
PEMERINTAH tengah mempersiapkan kebijakan penghapusan ujian nasional (UN) dan diganti dengan ujian sekolah berstandar nasional (USBN). Kebijakan ini tinggal menunggu keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah kementerian pendidikan dan kebudayaan menyiapkan kajiannya.

Beberapa pihak menyambut positif rencana ini karena akan mengembalikan hak kelulusan siswa kepada guru, bukan kepada pemerintah. Hasil ujian akhir pun bukan sebagai penentu kelulusan. Namun, penilaian selama proses belajar mengajar dalam satu tingkatan juga akan menentukan.

Selain itu, ada penilaian kognisi, afeksi, dan psikomotorik yang juga menjadi penentu kelulusan siswa. Artinya, bukan hanya faktor hard skill yang menjadi acuan, namun juga ada soft skill sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kelulusan.

Dalam hal ini peran guru akan semakin signifikan dalam menentukan kelulusan siswa. Kapabilitas dan objektivitas guru akan memengaruhi seorang siswa lulus atau tidak. Sistem ini tampaknya seperti yang dilakukan sebelum pemberlakuan UN sejak 2005 lalu.

Indonesia telah melakukan beberapa kali kebijakan tentang ujian akhir. Pada 1965-1971 kita mengenal dengan nama ujian negara, lalu pada 1972-1979 menggunakan ujian sekolah, pada 1980-2002 namanya ebtanas, pada 2003-2004 dinamai ujian akhir nasional (UAN) dan ujian nasional (UN) dari 2005 hingga sekarang.

Pada dua fase terakhir, UAN dan UN dijadikan dasar utama dalam menentukan kelulusan siswa. Beberapa pihak menganggap kebijakan ini sebagai perampasan hak asasi manusia dan hak perlindungan anak.

Memang sejak pemberlakuan UN kita selalu disuguhi cerita-cerita dramatis menjelang dan sesudah ujian serentak ini. Ada gelaran doa bersama hingga istigasah, bahkan pihak sekolah menggelar gaya sungkeman kepada orang tua dan guru agar mendapat restu.

Kesan yang tampak UN menjadi hal yang menakutkan karena jika gagal dalam pelaksanaan 3-4 hari itu mereka harus mengulang lagi. Artinya, kegiatan sekolah yang sudah dijalani beberapa tahun seolah menjadi tak berarti dan harus mengulang satu tahun lagi. Cerita-cerita miris pun mewarnai jika ada siswa dinyatakan tidak lulus dan frustrasi.

Sistem yang ditawarkan pemerintah saat ini tampaknya akan kembali seperti pada era 1980-2002, yaitu evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas). Artinya, seperti disebutkan di atas, penentuan kelulusan bukan dari hasil ujian akhir. Namun, tentu ada plus dan minus setiap ada kebijakan baru atau yang menggantikannya.

Nah, ini yang harus menjadi pekerjaan rumah pemerintah bagaimana bisa menutupi atau paling tidak mengurangi hal-hal yang kurang dari sistem baru ini. Pertama, kualitas guru dalam menilai siswanya. Tentu, harus ada kemampuan guru yang lebih baik karena penilaian ini bukan hanya kuantitatif atau hasil ujian.

Namun, hal-hal kualitatif yang sulit diukur pun akan menjadi penentu kelulusan. Karena ada aspek kualitatif, tentu faktor subjektivitas juga berpengaruh dalam menentukan kelulusan.

Subjektivitas ini yang nanti akan memunculkan kerawanan atau konflik jika dibumbui rasa like and dislike. Perlu pandangan yang luas dari seorang guru. Perlu komprehensifivitas dari guru dalam memberikan penilaian kepada para siswanya.

Hal lain adalah pengawasan. Hal ini penting karena tentu kelulusan siswa harus benar-benar objektif. Bukan hanya karena ingin mengangkat prestasi sebuah organisasi sekolah atau daerahnya, lantas guru atau sekolah dengan mudah meluluskan siswa mereka.

Jika ini terjadi, tentu kualitas lulusan yang sekadar lulus atau dipaksa diluluskan (karena untuk mendongkrak nama sekolah) akan menurunkan kualitas pendidikan kita. Pengawasan dari pemerintah daerah ataupun pusat harus pula lebih intens untuk menjaga kualitas pendidikan kita.

Toh, tujuan sebuah kebijakan pendidikan dari pemerintah adalah meningkatkan kualitas pendidikan. Percuma sistem yang baru ini bila kapabilatas guru yang rendah dan pengawasan yang kurang justru membuat kualitas pendidikan kita menurun. Jadi, sistem mungkin berubah, tapi kualitas harus lebih ditingkatkan; bukan malah membuat kegaduhan negeri ini.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0621 seconds (0.1#10.140)