Setnov dan Ketua DPR
A
A
A
BAGI yang menyukai dinamika politik, mungkin perkembangan politik Indonesia mutakhir akan menjadi tontonan yang menyenangkan.
Politik negeri ini bagaikan sebuah film dengan alur cerita berganda yang seringkali mengagetkan dengan berbagai kejadian-kejadian unik yang tak disangka-sangka. Bahkan tak jarang berujung seperti sinetron dengan pertengkaran yang tak berkesudahan. Namun, satu yang jelas beda, kalau di film jelas sutradaranya, sementara di politik Indonesia tak pasti sutradaranya.
Yang pasti ada sangat banyak yang ingin berperan seperti sutradara. Namun, bagi banyak warga negara Indonesia yang tidak begitu tertarik dengan politik, akan jemu dengan tontonan politik mutakhir, bahkan seperti fokus pada keriuhan, namun lupa pada substansi.
Banyak juga yang menilai mengapa politik di negeri ini yang katanya untuk tujuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat tampak seperti meninggalkan tujuan tersebut. Salah satu kejadian politik yang paling mutakhir adalah kemungkinan besar Setya Novanto yang biasa disapa Setnov akan kembali ke tampuk ketua DPR.
Jabatan ini pernah dilepaskannya karena tekanan politik terkait skandal ”Papa Minta Saham” yang akhirnya berujung pada bersihnya nama Setnov. Kursi yang ditinggalkan Setnov sejak 17 Desember 2015 diisi oleh koleganya di Partai Golkar, Ade Komaruddin, sejak 11 Januari 2016. Tak sampai setahun, tampaknya politikus yang biasa disapa Akom itu harus merelakan kursi empuknya kembali ke Setnov yang sudah membersihkan nama baiknya di hadapan hukum.
Kalau banyak yang bertanya kenapa seperti poco-poco Setnov mundur lalu terlihat maju lagi, kita harus melihat konstelasi politik saat itu yang mau tidak mau mengondisikan dia harus mundur. Namun, setelah akhirnya Setnov menyelesaikan perjuangannya untuk memulihkan nama baiknya, wajar saja jika akhirnya ketua umum Golkar yang belum lama ini terpilih secara aklamasi pada Munas Partai Golkar di Bali, 17 Mei 2016. Bukan tidak mungkin sebelum tahun ini berakhir, ketua DPR kembali berganti, dari Ade Komaruddin (Akom) berganti Setnov.
Mungkin akan banyak yang bertanya, kenapa Golkar berpolitik seperti itu. Pertanyaan seperti itu sedikit-banyak akan terjawab jika kita perhatikan konstelasi politik rezim Presiden Joko Widodo yang tentu memengaruhi politik Indonesia. Apalagi, kita tahu bahwa Golkar pasca-renggangnya dikotomi KMP-KIH sudah memosisikan diri sebagai partai pendukung pemerintah.
Dalam berpolitik memang kita harus bicara konstelasi. Memang pertarungan Setnov dan Akom layaknya pertarungan di internal Golkar. Namun, ini tentu bisa ditarik hingga ke pertarungan di elite pemerintahan.
Golkar yang harus mendukung pemerintah tentu butuh figur di DPR yang bisa menjalankan itu, sementara Akom selama ini beberapa kali berseberangan dengan Presiden Jokowi. Akom bahkan sempat bersafari politik menemui Megawati Soekarnoputri pada Jumat, 25 November 2016, hanya beberapa waktu setelah surat dari DPP Partai Golkar dan Fraksi Partai Golkar mendorong pergantian ketua DPR dari Akom ke Setnov.
Tidak bisa dihindari penilaian publik soal pertemuan Akom dan Megawati terkait pergantian itu. Akom pun di sisi lain memang seperti kehabisan tenaga dalam menghadapi kondisi yang tak menguntungkan posisinya.
Seperti tak terhindarkan, setelah kalah di Munas Partai Golkar, Akom sepertinya akan kehilangan posisinya sebagai ketua DPR. Klik politik Akom pun seperti kehilangan tenaga. Kondisi ini berbeda 180 derajat dengan posisi tawar politik yang menguat.
Ini yang menjadi salah satu pertimbangan yang paling penting, komunikasi Setnov dengan Presiden Jokowi terlihat sangat baik. Mungkin bisa kita coba lihat kumpulan foto pertemuan Jokowi dengan beberapa elite politik negeri ini pascademonstrasi 4 November (411).
Gestur Jokowi tidak menunjukkan penolakan yang keras, terlebih untuk seorang Presiden yang pernah marah besar karena merasa namanya dicatut oleh Setnov. Lalu, kita kembali kepertanyaan, kenapa Setnov?
Banyak yang tahu bahwa politik adalah seni untuk menggolkan kepentingan. Namun, kita juga harus ingat bahwa pada ujungnya berpolitik itu juga terkait cocok-cocokan. Mungkin ini bisa jadi opsi jawabannya.
Politik negeri ini bagaikan sebuah film dengan alur cerita berganda yang seringkali mengagetkan dengan berbagai kejadian-kejadian unik yang tak disangka-sangka. Bahkan tak jarang berujung seperti sinetron dengan pertengkaran yang tak berkesudahan. Namun, satu yang jelas beda, kalau di film jelas sutradaranya, sementara di politik Indonesia tak pasti sutradaranya.
Yang pasti ada sangat banyak yang ingin berperan seperti sutradara. Namun, bagi banyak warga negara Indonesia yang tidak begitu tertarik dengan politik, akan jemu dengan tontonan politik mutakhir, bahkan seperti fokus pada keriuhan, namun lupa pada substansi.
Banyak juga yang menilai mengapa politik di negeri ini yang katanya untuk tujuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat tampak seperti meninggalkan tujuan tersebut. Salah satu kejadian politik yang paling mutakhir adalah kemungkinan besar Setya Novanto yang biasa disapa Setnov akan kembali ke tampuk ketua DPR.
Jabatan ini pernah dilepaskannya karena tekanan politik terkait skandal ”Papa Minta Saham” yang akhirnya berujung pada bersihnya nama Setnov. Kursi yang ditinggalkan Setnov sejak 17 Desember 2015 diisi oleh koleganya di Partai Golkar, Ade Komaruddin, sejak 11 Januari 2016. Tak sampai setahun, tampaknya politikus yang biasa disapa Akom itu harus merelakan kursi empuknya kembali ke Setnov yang sudah membersihkan nama baiknya di hadapan hukum.
Kalau banyak yang bertanya kenapa seperti poco-poco Setnov mundur lalu terlihat maju lagi, kita harus melihat konstelasi politik saat itu yang mau tidak mau mengondisikan dia harus mundur. Namun, setelah akhirnya Setnov menyelesaikan perjuangannya untuk memulihkan nama baiknya, wajar saja jika akhirnya ketua umum Golkar yang belum lama ini terpilih secara aklamasi pada Munas Partai Golkar di Bali, 17 Mei 2016. Bukan tidak mungkin sebelum tahun ini berakhir, ketua DPR kembali berganti, dari Ade Komaruddin (Akom) berganti Setnov.
Mungkin akan banyak yang bertanya, kenapa Golkar berpolitik seperti itu. Pertanyaan seperti itu sedikit-banyak akan terjawab jika kita perhatikan konstelasi politik rezim Presiden Joko Widodo yang tentu memengaruhi politik Indonesia. Apalagi, kita tahu bahwa Golkar pasca-renggangnya dikotomi KMP-KIH sudah memosisikan diri sebagai partai pendukung pemerintah.
Dalam berpolitik memang kita harus bicara konstelasi. Memang pertarungan Setnov dan Akom layaknya pertarungan di internal Golkar. Namun, ini tentu bisa ditarik hingga ke pertarungan di elite pemerintahan.
Golkar yang harus mendukung pemerintah tentu butuh figur di DPR yang bisa menjalankan itu, sementara Akom selama ini beberapa kali berseberangan dengan Presiden Jokowi. Akom bahkan sempat bersafari politik menemui Megawati Soekarnoputri pada Jumat, 25 November 2016, hanya beberapa waktu setelah surat dari DPP Partai Golkar dan Fraksi Partai Golkar mendorong pergantian ketua DPR dari Akom ke Setnov.
Tidak bisa dihindari penilaian publik soal pertemuan Akom dan Megawati terkait pergantian itu. Akom pun di sisi lain memang seperti kehabisan tenaga dalam menghadapi kondisi yang tak menguntungkan posisinya.
Seperti tak terhindarkan, setelah kalah di Munas Partai Golkar, Akom sepertinya akan kehilangan posisinya sebagai ketua DPR. Klik politik Akom pun seperti kehilangan tenaga. Kondisi ini berbeda 180 derajat dengan posisi tawar politik yang menguat.
Ini yang menjadi salah satu pertimbangan yang paling penting, komunikasi Setnov dengan Presiden Jokowi terlihat sangat baik. Mungkin bisa kita coba lihat kumpulan foto pertemuan Jokowi dengan beberapa elite politik negeri ini pascademonstrasi 4 November (411).
Gestur Jokowi tidak menunjukkan penolakan yang keras, terlebih untuk seorang Presiden yang pernah marah besar karena merasa namanya dicatut oleh Setnov. Lalu, kita kembali kepertanyaan, kenapa Setnov?
Banyak yang tahu bahwa politik adalah seni untuk menggolkan kepentingan. Namun, kita juga harus ingat bahwa pada ujungnya berpolitik itu juga terkait cocok-cocokan. Mungkin ini bisa jadi opsi jawabannya.
(poe)