Moratorium Ujian Nasional
A
A
A
UJIAN nasional (UN) terus menjadi tema hangat yang menarik untuk diperbincangkan. Bahkan kali ini pemerintah membuat gebrakan yang cukup mengagetkan atas nasib UN. Tahun 2017, pemerintah akan melakukan moratorium pelaksanaan UN.
Adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang akan menghentikan sementara pelaksanaan UN tersebut. Tentu langkah pemerintah ini bakal mengundang pro-kontra dari masyarakat. Namun setidaknya keberanian pemerintah dalam mengambil keputusan tersebut patut dihargai.
Pertama, kita sangat berharap keputusan pemerintah tersebut sudah melalui kajian mendalam tentang implikasi dari tidak adanya UN tersebut. Kedua, pemerintah tentu harus pula memiliki solusi yang lebih baik sebagai alternatif untuk mengganti UN yang dinilainya kurang tepat dalam mendidik anak-anak bangsa menjadi generasi penerus yang membanggakan.
Mengapa UN memang lebih baik dimoratorium dulu? Pertama, kalau kita merunut ke belakang, keberadaan UN memang sudah mengundang pro-kontra di kalangan masyarakat. Banyak yang sepakat, tetapi juga tidak sedikit yang mengkritiknya karena dianggap tidak fair dalam menilai prestasi anak didik.
Keberadaan UN juga telah membuat banyak implikasi negatif, termasuk di antaranya tingginya tingkat stres siswa. Bahkan tak jarang orang tua siswa ikut stres dan larut dalam "kengerian" UN tersebut. Ada sejumlah sekolah bahkan menggelar istigasah untuk berdoa bagi kelulusan siswanya. Karena itu dihapuskannya UN ini setidaknya bisa menghilangkan dampak-dampak negatif tersebut.
Kedua, tingkat kualitas sekolah di Tanah Air tidak merata, terutama sekolah-sekolah yang berada di luar Jawa maupun daerah-daerah pelosok. Kalau meminjam data Kemendikbud, ternyata baru 30% sekolah yang memiliki kualitas standar nasional. Selebihnya 70% lainnya berada di bawah standar nasional.
Tentunya tidak fair jika tradisi UN yang berlangsung selama ini terus kita paksakan, apalagi jika nilai UN dipakai untuk standar kelulusan. Karena dampaknya sudah bisa dipastikan sekolah-sekolah yang tidak memiliki sarana-prasarana memadai akan kalah kalau bersaing dengan sekolah yang sudah memenuhi standar.
Kita sepakat penggunaan UN dalam seleksi kelulusan sebenarnya juga sangat baik untuk mendongkrak kualitas pendidikan nasional, apalagi di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saat ini. Namun bila kita melihat fakta-fakta di atas, untuk sekarang ini keberadaan UN tidak akan bisa efektif dalam menciptakan generasi bangsa yang berkualitas.
Yang bisa dilakukan saat ini adalah bagaimana pemerintah harus terus mendorong kualitas atau standar pendidikan kita di Tanah Air, terutama bagi sekolah-sekolah yang kondisinya memprihatinkan. Pemerintah perlu melakukan pembenahan-pembenahan yang radikal untuk bisa mencapai tujuan tersebut.
Kita semua tahu bahwa secara umum kualitas pengajar atau guru belum baik. Selain itu sarana dan prasarana sekolah juga banyak yang belum memenuhi standar seperti gedung hingga peralatan sekolah lainnya.
Kita sepakat pembelajaran beserta evaluasinya dikembalikan lagi kewenangannya kepada guru dan sekolah. Pemerintah di sini lebih baik berfungsi sebagai pengawas dan membuat regulasi. Negara bertugas memastikan agar standar sekolah di seluruh Nusantara bisa terjamin kualitasnya secara nasional dan diterapkan di sekolah masing-masing.
Karena itu kita setuju bila kewenangan pengawasan dan pengelolaan sekolah tersebut diserahkan ke pemerintah daerah. Untuk SD dan SMP kewenangan pengelolaan dan pengawasannya diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota, sedangkan khusus untuk SMA /SMK akan dipegang pemerintah provinsi. Dengan sistem desentralisasi pendidikan ini diharapkan tiap daerah akan bersaing untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan bagi warga didiknya.
Yang tak kalah penting adalah pemerintah harus secepatnya meningkatkan kualitas guru di seluruh Indonesia agar memiliki standar secara nasional. Program pengiriman guru-guru berkualitas ke daerah perlu digalakkan.
Kesejahteraan guru juga patut mendapat perhatian khusus. Dengan strategi yang berkesinambungan tersebut, bukan tidak mungkin kualitas pendidikan masyarakat kita akan terus meningkat dan merata di seluruh Tanah Air.
Adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang akan menghentikan sementara pelaksanaan UN tersebut. Tentu langkah pemerintah ini bakal mengundang pro-kontra dari masyarakat. Namun setidaknya keberanian pemerintah dalam mengambil keputusan tersebut patut dihargai.
Pertama, kita sangat berharap keputusan pemerintah tersebut sudah melalui kajian mendalam tentang implikasi dari tidak adanya UN tersebut. Kedua, pemerintah tentu harus pula memiliki solusi yang lebih baik sebagai alternatif untuk mengganti UN yang dinilainya kurang tepat dalam mendidik anak-anak bangsa menjadi generasi penerus yang membanggakan.
Mengapa UN memang lebih baik dimoratorium dulu? Pertama, kalau kita merunut ke belakang, keberadaan UN memang sudah mengundang pro-kontra di kalangan masyarakat. Banyak yang sepakat, tetapi juga tidak sedikit yang mengkritiknya karena dianggap tidak fair dalam menilai prestasi anak didik.
Keberadaan UN juga telah membuat banyak implikasi negatif, termasuk di antaranya tingginya tingkat stres siswa. Bahkan tak jarang orang tua siswa ikut stres dan larut dalam "kengerian" UN tersebut. Ada sejumlah sekolah bahkan menggelar istigasah untuk berdoa bagi kelulusan siswanya. Karena itu dihapuskannya UN ini setidaknya bisa menghilangkan dampak-dampak negatif tersebut.
Kedua, tingkat kualitas sekolah di Tanah Air tidak merata, terutama sekolah-sekolah yang berada di luar Jawa maupun daerah-daerah pelosok. Kalau meminjam data Kemendikbud, ternyata baru 30% sekolah yang memiliki kualitas standar nasional. Selebihnya 70% lainnya berada di bawah standar nasional.
Tentunya tidak fair jika tradisi UN yang berlangsung selama ini terus kita paksakan, apalagi jika nilai UN dipakai untuk standar kelulusan. Karena dampaknya sudah bisa dipastikan sekolah-sekolah yang tidak memiliki sarana-prasarana memadai akan kalah kalau bersaing dengan sekolah yang sudah memenuhi standar.
Kita sepakat penggunaan UN dalam seleksi kelulusan sebenarnya juga sangat baik untuk mendongkrak kualitas pendidikan nasional, apalagi di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saat ini. Namun bila kita melihat fakta-fakta di atas, untuk sekarang ini keberadaan UN tidak akan bisa efektif dalam menciptakan generasi bangsa yang berkualitas.
Yang bisa dilakukan saat ini adalah bagaimana pemerintah harus terus mendorong kualitas atau standar pendidikan kita di Tanah Air, terutama bagi sekolah-sekolah yang kondisinya memprihatinkan. Pemerintah perlu melakukan pembenahan-pembenahan yang radikal untuk bisa mencapai tujuan tersebut.
Kita semua tahu bahwa secara umum kualitas pengajar atau guru belum baik. Selain itu sarana dan prasarana sekolah juga banyak yang belum memenuhi standar seperti gedung hingga peralatan sekolah lainnya.
Kita sepakat pembelajaran beserta evaluasinya dikembalikan lagi kewenangannya kepada guru dan sekolah. Pemerintah di sini lebih baik berfungsi sebagai pengawas dan membuat regulasi. Negara bertugas memastikan agar standar sekolah di seluruh Nusantara bisa terjamin kualitasnya secara nasional dan diterapkan di sekolah masing-masing.
Karena itu kita setuju bila kewenangan pengawasan dan pengelolaan sekolah tersebut diserahkan ke pemerintah daerah. Untuk SD dan SMP kewenangan pengelolaan dan pengawasannya diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota, sedangkan khusus untuk SMA /SMK akan dipegang pemerintah provinsi. Dengan sistem desentralisasi pendidikan ini diharapkan tiap daerah akan bersaing untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan bagi warga didiknya.
Yang tak kalah penting adalah pemerintah harus secepatnya meningkatkan kualitas guru di seluruh Indonesia agar memiliki standar secara nasional. Program pengiriman guru-guru berkualitas ke daerah perlu digalakkan.
Kesejahteraan guru juga patut mendapat perhatian khusus. Dengan strategi yang berkesinambungan tersebut, bukan tidak mungkin kualitas pendidikan masyarakat kita akan terus meningkat dan merata di seluruh Tanah Air.
(poe)