Ujian Demokrasi Pascaaksi 4 November
A
A
A
M Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
SALAH satu cara menjelaskan dinamika politik yang berkembang pascaaksi 4 November 2016 berikut ketegangannya adalah melalui pendekatan sistem.
Pendekatan ini bisa rumit atau kompleks, tetapi secara sederhana dapat diringkas oleh adanya aksi-aksi beberapa kelompok kepentingan di ranah informal sebagai masukan penentu kebijakan di ranah formal. Resultan dari semua proses itu menjadi realitas politik baru yang terus bergerak dinamis, menuju titik kesetimbangannya.
Kelompok-kelompok kepentingan yang menggelar aksi 4 November pada hakikatnya disatukan oleh isu bersama, yakni dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang terkesan direspons lambat oleh aparat. Mereka lantas menggumpal menjadi kelompok penekan (pressure group) yang demikian fenomenal.
Selang dua minggu setelah aksi tersebut, pihak kepolisian menetapkan Ahok sebagai tersangka. Tapi, tampaknya tekanan belum sepenuhnya mereda, terutama dalam kaitannya dengan mengapa Ahok tidak ditahan. Hal ini dikaitkannya dengan masalah keadilan. Mereka merencanakan aksi 2 Desember 2016.
Respons balik terhadap aksi 4 November pun cukup marak. Presiden Jokowi yang tidak menemui massa aksi melakukan safari ke organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam, terutama Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Komunikasi politik dengan para ulama diperluas, termasuk yang digalang partai-partai politik. Presiden juga berkunjung ke kalangan tentara dan kepolisian.
Pun mengundang elite-elite partai ke Istana, termasuk Prabowo Subianto yang partainya berada di luar pemerin-tahan. Isu yang selalu ditekankan adalah menjaga persatuan dan Bhinneka Tunggal Ika.
Tampaknya, Presiden hendak memperkuat komunikasi politik dengan ulama dan kekuatan pendukungnya. Ekses-ekses politik pasca-aksi 4 November hendak diantisipasinya.
Tekanan-tekanan lanjutan yang dilempar oleh elemen-elemen tertentu pascaaksi 4 November juga memperoleh reaksi dari Kapolri, Panglima TNI, dan Menko Polhukam. Mereka mencoba meyakinkan bahwa aksi-aksi lanjutan pascapenetapan Ahok sebagai tersangka tidak perlu dilakukan, karena proses hukum telah dilakukan.
Yang menarik, diingatkan aksi pun bisa berubah makar. Kalau itu terjadi, aparat kepolisian dan militer siap bertindak tegas. Polisi berdalih sinyalemen itu dalam rangka pencegahan, kendati menuai kritik membatasi kebebasan berdemokrasi.
Di ranah non-elite, reaksi juga muncul dari aksi-aksi yang mengesankan sebagai tandingan. Secara massa, jumlahnya tidak sebanding dengan banyaknya peserta aksi 4 November. Tetapi, secara opini aksi-aksi yang mengedepankan jargon Bhinneka Tunggal Ika tersebut tak dapat diabaikan.
Beberapa media massa dalam dan luar negeri pun terkesan berupaya menampilkannya sebanding dengan aksi 4 November. Menilik isu dan jargon yang berkembang yang mengemuka sekarang seolah-olah tengah muncul polarisasi dalam masyarakat yang tak terelakkan. Yang satu ”kelompok Islam”, satunya lagi ”Bhinneka Tunggal Ika”. Generalisasi demikian, sadar atau tidak, naif dan berbahaya. Apalagi kalau ada kesan ”kelompok Islam” identik dengan mereka yang menghendaki makar.
Harus ada klarifikasi yang mampu menjelaskan dalam konteks apa isu-isu tersebut mengemuka. Dalam ujaran-ujaran Presiden, pejabat pemerintahan, kepolisian dan yang lain, terkesan kuat, maksudnya Bhinneka Tunggal Ika tengah dalam ancaman politik identitas.
Kelompok yang mengedepankan identitasnya secara eksklusif berarti menafikan realitas pluralisme, mengancam bangsa, dan Pancasila. Maka, Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila, pun hadir sebagai tameng, sekaligus alat pukul terhadap mereka yang ditengarai mengedepankan politik identitas yang destruktif.
Hari-hari ini pemerintah tengah diuji kemampuannya, kalau bukan kecanggihan komunikasi politiknya. Ikhtiar Presiden Jokowi membangun komunikasi politik dengan berbagai pihak seharusnya bermuara pada meningkatnya kepercayaan (trust) sebanyak mungkin kelompok masyarakat dengan beragam kepentingan.
Presiden berada pada posisi politik yang kuat dan tidak boleh dikesankan kurang percaya diri dalam merespons perkembangan politik belakangan ini.
Manajemen komunikasi politik pemerintah harus efektif, justru karena pendekatannya yang inklusif dan diterima. Sehingga, semua pihak merasa dirangkul, bukan ditinggalkan atau merasa dikonfrontasikan.
Ikhtiar membangun kepercayaan publik secara luas, tidak saja menjadi tugas pemerintah, tetapi juga elite-elite terkait, termasuk partai-partai politik. Kalau partai efektif, maka isu-isu yang berkembang dalam masyarakat cukup dipercayakan kepada mereka.
Sayangnya, fungsi penyerapan aspirasi dan pengambilalihan isu-isu strategis kalau bukan krusial oleh partai-partai dalam maknanya yang lebih positif dalam manajemen konflik, tidak terjadi. Seolah-olah isu-isu pokok yang disuarakan para kelompok penekan terpisah dari eksistensi dan kepentingan partai-partai.
Fenomena ini seolah menegaskan kegagalan partai dalam sistem. Hal sedemikian cukup menggelisahkan, mengingat ketika semakin banyak isu politik muncul dari kelompok kepentingan dan penekan, potensi konflik semakin meluas dengan melibatkan elite dan massa.
Di atas semua itu, hari-hari ini demokrasi kita tengah diuji, bagaimana antar-elite yang berseberangan secara isu mampu saling merespons secara elegan dan damai. Pun, bagaimana mereka mampu meredakan situasi politik yang menegangkan melalui jalan keluar yang bijak.
Dari sisi cara pemerintah dan aparat mengatasi isu dan aksi atau unjuk rasa, demokrasi harus menjadi ukuran. Di sisi lain, kelompok-kelompok penekan juga tidak boleh memaksakan kehendak dan naif.
Aturannya jelas, manakala terjadi pelanggaran hukum, siapa pun bisa ditindak. Aparat memang sering dilematis, tetapi jangan sampai dikesankan bahwa mereka sekadar alat kekuasaan politik.
Tantangan bangsa semakin tidak mudah ke depan. Persaingan global tak terelakkan. Dalam rumus neo-developmentalis, stabilitas politik diperlukan untuk menjamin pembangunan bidang ekonomi. Tapi tentu kini caranya berbeda dengan di masa lalu yang represif dan monolitik. Tantangan pemerintah dalam bidang politik adalah membuat stabilitas yang terjadi kuat dalam paradigma demokrasi.
Demokrasi membutuhkan daya persuasi yang kuat untuk membangun konsensus dalam bingkai kebersamaan. Ia membutuhkan kesabaran, bukan jalan pintas melalui ancaman-ancaman.
Dari sisi kelompok penekan yang tak terelakkan membawa simbol-simbol Islam juga harus mempertimbangkan hal-hal yang membuat dunia menilai demokrasi dapat berkembang baik di Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar. Mereka juga ikut bertanggung jawab atas terselenggaranya proses demokrasi yang substansial dan bermaslahat, tak sekadar prosedural.
Mayoritas umat Islam Indonesia tentu bukan kelompok anti, atau bahkan tak paham, demokrasi. Demokrasi Indonesia tidak boleh didegradasi oleh tindakan-tindakan yang fatalistik, justru oleh penekanan identitas kelompok yang berlebihan.
Di tengah ingar-bingar politik kita dewasa ini, sesungguhnya banyak isu bersama yang perlu memperoleh perhatian, terutama soal kemandirian dan kedaulatan bangsa. Ke depan kita harus keluar sebagai bangsa yang mandiri, maju, dan bermartabat. Semoga resultannya akan ke sana, setelah semua pihak mampu mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa politik saat ini.
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
SALAH satu cara menjelaskan dinamika politik yang berkembang pascaaksi 4 November 2016 berikut ketegangannya adalah melalui pendekatan sistem.
Pendekatan ini bisa rumit atau kompleks, tetapi secara sederhana dapat diringkas oleh adanya aksi-aksi beberapa kelompok kepentingan di ranah informal sebagai masukan penentu kebijakan di ranah formal. Resultan dari semua proses itu menjadi realitas politik baru yang terus bergerak dinamis, menuju titik kesetimbangannya.
Kelompok-kelompok kepentingan yang menggelar aksi 4 November pada hakikatnya disatukan oleh isu bersama, yakni dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang terkesan direspons lambat oleh aparat. Mereka lantas menggumpal menjadi kelompok penekan (pressure group) yang demikian fenomenal.
Selang dua minggu setelah aksi tersebut, pihak kepolisian menetapkan Ahok sebagai tersangka. Tapi, tampaknya tekanan belum sepenuhnya mereda, terutama dalam kaitannya dengan mengapa Ahok tidak ditahan. Hal ini dikaitkannya dengan masalah keadilan. Mereka merencanakan aksi 2 Desember 2016.
Respons balik terhadap aksi 4 November pun cukup marak. Presiden Jokowi yang tidak menemui massa aksi melakukan safari ke organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam, terutama Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Komunikasi politik dengan para ulama diperluas, termasuk yang digalang partai-partai politik. Presiden juga berkunjung ke kalangan tentara dan kepolisian.
Pun mengundang elite-elite partai ke Istana, termasuk Prabowo Subianto yang partainya berada di luar pemerin-tahan. Isu yang selalu ditekankan adalah menjaga persatuan dan Bhinneka Tunggal Ika.
Tampaknya, Presiden hendak memperkuat komunikasi politik dengan ulama dan kekuatan pendukungnya. Ekses-ekses politik pasca-aksi 4 November hendak diantisipasinya.
Tekanan-tekanan lanjutan yang dilempar oleh elemen-elemen tertentu pascaaksi 4 November juga memperoleh reaksi dari Kapolri, Panglima TNI, dan Menko Polhukam. Mereka mencoba meyakinkan bahwa aksi-aksi lanjutan pascapenetapan Ahok sebagai tersangka tidak perlu dilakukan, karena proses hukum telah dilakukan.
Yang menarik, diingatkan aksi pun bisa berubah makar. Kalau itu terjadi, aparat kepolisian dan militer siap bertindak tegas. Polisi berdalih sinyalemen itu dalam rangka pencegahan, kendati menuai kritik membatasi kebebasan berdemokrasi.
Di ranah non-elite, reaksi juga muncul dari aksi-aksi yang mengesankan sebagai tandingan. Secara massa, jumlahnya tidak sebanding dengan banyaknya peserta aksi 4 November. Tetapi, secara opini aksi-aksi yang mengedepankan jargon Bhinneka Tunggal Ika tersebut tak dapat diabaikan.
Beberapa media massa dalam dan luar negeri pun terkesan berupaya menampilkannya sebanding dengan aksi 4 November. Menilik isu dan jargon yang berkembang yang mengemuka sekarang seolah-olah tengah muncul polarisasi dalam masyarakat yang tak terelakkan. Yang satu ”kelompok Islam”, satunya lagi ”Bhinneka Tunggal Ika”. Generalisasi demikian, sadar atau tidak, naif dan berbahaya. Apalagi kalau ada kesan ”kelompok Islam” identik dengan mereka yang menghendaki makar.
Harus ada klarifikasi yang mampu menjelaskan dalam konteks apa isu-isu tersebut mengemuka. Dalam ujaran-ujaran Presiden, pejabat pemerintahan, kepolisian dan yang lain, terkesan kuat, maksudnya Bhinneka Tunggal Ika tengah dalam ancaman politik identitas.
Kelompok yang mengedepankan identitasnya secara eksklusif berarti menafikan realitas pluralisme, mengancam bangsa, dan Pancasila. Maka, Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila, pun hadir sebagai tameng, sekaligus alat pukul terhadap mereka yang ditengarai mengedepankan politik identitas yang destruktif.
Hari-hari ini pemerintah tengah diuji kemampuannya, kalau bukan kecanggihan komunikasi politiknya. Ikhtiar Presiden Jokowi membangun komunikasi politik dengan berbagai pihak seharusnya bermuara pada meningkatnya kepercayaan (trust) sebanyak mungkin kelompok masyarakat dengan beragam kepentingan.
Presiden berada pada posisi politik yang kuat dan tidak boleh dikesankan kurang percaya diri dalam merespons perkembangan politik belakangan ini.
Manajemen komunikasi politik pemerintah harus efektif, justru karena pendekatannya yang inklusif dan diterima. Sehingga, semua pihak merasa dirangkul, bukan ditinggalkan atau merasa dikonfrontasikan.
Ikhtiar membangun kepercayaan publik secara luas, tidak saja menjadi tugas pemerintah, tetapi juga elite-elite terkait, termasuk partai-partai politik. Kalau partai efektif, maka isu-isu yang berkembang dalam masyarakat cukup dipercayakan kepada mereka.
Sayangnya, fungsi penyerapan aspirasi dan pengambilalihan isu-isu strategis kalau bukan krusial oleh partai-partai dalam maknanya yang lebih positif dalam manajemen konflik, tidak terjadi. Seolah-olah isu-isu pokok yang disuarakan para kelompok penekan terpisah dari eksistensi dan kepentingan partai-partai.
Fenomena ini seolah menegaskan kegagalan partai dalam sistem. Hal sedemikian cukup menggelisahkan, mengingat ketika semakin banyak isu politik muncul dari kelompok kepentingan dan penekan, potensi konflik semakin meluas dengan melibatkan elite dan massa.
Di atas semua itu, hari-hari ini demokrasi kita tengah diuji, bagaimana antar-elite yang berseberangan secara isu mampu saling merespons secara elegan dan damai. Pun, bagaimana mereka mampu meredakan situasi politik yang menegangkan melalui jalan keluar yang bijak.
Dari sisi cara pemerintah dan aparat mengatasi isu dan aksi atau unjuk rasa, demokrasi harus menjadi ukuran. Di sisi lain, kelompok-kelompok penekan juga tidak boleh memaksakan kehendak dan naif.
Aturannya jelas, manakala terjadi pelanggaran hukum, siapa pun bisa ditindak. Aparat memang sering dilematis, tetapi jangan sampai dikesankan bahwa mereka sekadar alat kekuasaan politik.
Tantangan bangsa semakin tidak mudah ke depan. Persaingan global tak terelakkan. Dalam rumus neo-developmentalis, stabilitas politik diperlukan untuk menjamin pembangunan bidang ekonomi. Tapi tentu kini caranya berbeda dengan di masa lalu yang represif dan monolitik. Tantangan pemerintah dalam bidang politik adalah membuat stabilitas yang terjadi kuat dalam paradigma demokrasi.
Demokrasi membutuhkan daya persuasi yang kuat untuk membangun konsensus dalam bingkai kebersamaan. Ia membutuhkan kesabaran, bukan jalan pintas melalui ancaman-ancaman.
Dari sisi kelompok penekan yang tak terelakkan membawa simbol-simbol Islam juga harus mempertimbangkan hal-hal yang membuat dunia menilai demokrasi dapat berkembang baik di Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar. Mereka juga ikut bertanggung jawab atas terselenggaranya proses demokrasi yang substansial dan bermaslahat, tak sekadar prosedural.
Mayoritas umat Islam Indonesia tentu bukan kelompok anti, atau bahkan tak paham, demokrasi. Demokrasi Indonesia tidak boleh didegradasi oleh tindakan-tindakan yang fatalistik, justru oleh penekanan identitas kelompok yang berlebihan.
Di tengah ingar-bingar politik kita dewasa ini, sesungguhnya banyak isu bersama yang perlu memperoleh perhatian, terutama soal kemandirian dan kedaulatan bangsa. Ke depan kita harus keluar sebagai bangsa yang mandiri, maju, dan bermartabat. Semoga resultannya akan ke sana, setelah semua pihak mampu mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa politik saat ini.
(poe)