Anak-Anak dalam Kontestasi Politik
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Psikolog Forensik, Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
ADA momen penting yang acap terabaikan setiap 20 November dari tahun ke tahun. Enam belas tahun silam sebuah treaty global berhasil diluncurkan. Sejak hari bersejarah itulah dunia memiliki sebuah dokumen penting tentang pengakuan masyarakat internasional akan hak-hak dasar anak.
Salah satu prinsip pada Konvensi PBB tentang Hak Anak adalah bahwa partisipasi anak mutlak dibutuhkan dan pandangan-pandangan mereka harus dipertimbangkan oleh seluruh pemangku kepentingan manakala membuat keputusan-keputusan yang memengaruhi anak-anak. Hak anak tersebut kian relevan dengan situasi kekinian Indonesia, apalagi ketika ajang kontestasi politik berupa pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak kian dekat penyelenggaraannya.
Masa kampanye politik, kendati belum dimulai secara resmi, aromanya sudah menyebar ke mana-mana. Kian mendekati hari pencoblosan, atmosfer sosial politik pun niscaya kian hangat. Panca indera anak-anak pun terpapar pada beraneka pernak-pernik pilkada. Mereka boleh jadi akan mulai bertanya-tanya tentang serba-serbi terkait perhelatan demokrasi.
Sekian banyak pihak menghendaki agar segala bentuk aktivitas terkait pilkada dibikin steril dari anak-anak. Anak-anak, sebagaimana dalam kegiatan kampanye, diyakini lebih banyak mengalami mudarat ketimbang manfaat. Namun, berbagai regulasi pelarangan sedemikian rupa tidak pernah berhasil meredam animo masyarakat (konstituen) agar berhenti mengajak anak-anak mereka dalam pesta-pesta demokrasi.
Pun dalam lintasan sejarah nasional, sosok semisal Sukarno sudah dicemplungkan orang tuanya ke candradimuka politik sejak usia sekitar lima belas tahun. Di bawah penyeliaan langsung HOS Tjokroaminoto, Sukarno cilik sudah hadir pada pertemuan-pertemuan politik Sarekat Islam.
Hasil ekspos politik sejak usia pancaroba sungguh menakjubkan: Pada masanya, siapa manusia di bawah kolong langit yang tak mengenal Putra Sang Fajar?
Anak-anak memang belum memiliki hak mencoblos.
Sepintas, “masuk akal” apabila hak-hak hidup mereka kemudian terabaikan, karena mereka bukan konstituen yang diincar para kontestan. Deskripsi Lansdown dan Ansell sekian tahun silam juga mirip dengan kondisi anak-anak Indonesia hari ini.
Betapa pun anak-anak masa kini semakin aktif di dalam dan di luar keluarga, mereka tetap dikungkung di dalam partisi sempit bernama rumah dan sekolah. Walau kehadiran anak-anak di ruang publik kian berserak, mereka tetap dianggap sebagai makhluk pasif.
Potensi anak untuk berpartisipasi sebagai aktor politik justru diabaikan. Alhasil wajar, sebagaimana kata Kulynych (2001), ada ruang yang tak terjamah dan aktor yang sengaja dibikin tak berkiprah dalam proses demo-kratisasi bangsa. Anak-anak, ringkasnya, tidak mempunyai cukup suara untuk turut mewarnai produk-produk kebijakan negara, bahkan kebijakan yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka sendiri.
Realitas sedemikian rupa jelas-jelas harus dikoreksi total. Hart Research Associates (2016), misalnya, sengaja melakukan survei guna menakar sikap warga Negeri Paman Sam terhadap isu-isu tentang anak. Simpulannya, masyarakat Amerika Serikat—terlebih yang memiliki anak berusia di bawah delapan belas tahun— sangat mendukung peningkatan investasi di bidang kesehatan, pendidikan, dan nutrisi anak-anak.
Warga bahkan berkata, mereka akan mencoblos kandidat yang berkomitmen melakukan pembenahan-pembenahan serius dan terukur di area perlindungan anak kelak jika terpilih.
Indonesia sendiri, di samping keberadaan Konvensi PBB tentang Hak Anak, sudah memiliki landasan konstitusional untuk memaksa para peserta pilkada pasang telinga terhadap anak-anak. Undang-Undang Perlindungan Anak menyebut anak sebagai subjek aktif: insan yang patut didengar pen-dapatnya sesuai tingkat kecerdasan dan kematangannya.
Gagasan ini sesungguhnya bukan hal baru. Secara rutin, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia sejak tahun 2000 menyelenggarakan Kongres Anak Indonesia (KAI). Salah satu keluarannya adalah Suara Anak, sebuah dokumen yang disusun sepenuhnya oleh anak-anak peserta KAI berisi daftar rekomendasi tentang kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang anak.
Tentu, satu forum tahunan bagi anak untuk berikhtiar menautkan kepentingan mereka dengan kebijakan nasional tidak akan memadai. Atas dasar itu, kini giliran parpol dan para calon kepala daerah (cakada) untuk tidak menjadikan anak sebagai penggembira atau pemandu sorak belaka. Kongres-kongres mini serupa patut diadakan agar parpol dan cakada bisa menyimak langsung pandangan anak-anak. Kemas aspirasi anak-anak itu ke dalam visi, misi, serta program kerja parpol dan cakada.
Bentuk ‘kehadiran’ anak-anak lainnya dalam kontestasi politik adalah alat-alat peraga kampanye yang menampilkan sosok anak-anak. Itu, pada dasarnya, tidak bermasalah. Praktik tersebut di negara-negara demokratis sudah ada sejak tahun lima puluhan.
Agar konstruktif, tidak sulit bagi parpol dan cakada untuk menyandingkan foto anak-anak dengan pesan positif semisal tekun beribadah, anti-LGBT, antinarkoba, layanan kesehatan berkualitas, integritas tubuh, keluarga harmonis, cinta flora dan fauna, cinta ayah bunda, rajin menabung, peduli disabilitas, pembangunan sarana prasarana ramah anak, serta tema-tema kreatif konstruktif lainnya.
Titik Awal
Sebagaimana tamsil “demokrasi bermula di meja makan”, akan sangat ideal apabila pendidikan untuk membangun kemelekan (literasi) politik pun dimulai dengan ayah bunda sebagai guru-gurunya.
Becermin pada semakin banyaknya keluarga di negara-negara maju yang mengajak anak-anak mereka ke tempat pemungutan suara, betapa eloknya jika setiap orang tua mampu membangun tradisi keluarga dengan mengajari anak bahwa pilkada dan kampanye bukan semata-mata perkara pencoblosan kertas suara.
Di balik aksi dukung-mendukung calon kepala daerah, orang tua perlu menumbuhkan kesadaran anak akan pentingnya minat pada politik dan ke-pedulian pada tanggung jawab sebagai warga negara.
Itu semua, pastinya, jauh lebih bermakna ketimbang sebatas menggendong-gendong anak di lokasi kampanye. Satu garis bawah: anak bukan objek eksploitasi, bukan alat propaganda, untuk membangun impresi politik bahwa “aku dan partaiku paling peduli anak”. Ayo, siapa yang sungguh-sungguh mampu menjadi guru demokrasi bagi anak-anak Indonesia? Allahu a’lam.
Psikolog Forensik, Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
ADA momen penting yang acap terabaikan setiap 20 November dari tahun ke tahun. Enam belas tahun silam sebuah treaty global berhasil diluncurkan. Sejak hari bersejarah itulah dunia memiliki sebuah dokumen penting tentang pengakuan masyarakat internasional akan hak-hak dasar anak.
Salah satu prinsip pada Konvensi PBB tentang Hak Anak adalah bahwa partisipasi anak mutlak dibutuhkan dan pandangan-pandangan mereka harus dipertimbangkan oleh seluruh pemangku kepentingan manakala membuat keputusan-keputusan yang memengaruhi anak-anak. Hak anak tersebut kian relevan dengan situasi kekinian Indonesia, apalagi ketika ajang kontestasi politik berupa pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak kian dekat penyelenggaraannya.
Masa kampanye politik, kendati belum dimulai secara resmi, aromanya sudah menyebar ke mana-mana. Kian mendekati hari pencoblosan, atmosfer sosial politik pun niscaya kian hangat. Panca indera anak-anak pun terpapar pada beraneka pernak-pernik pilkada. Mereka boleh jadi akan mulai bertanya-tanya tentang serba-serbi terkait perhelatan demokrasi.
Sekian banyak pihak menghendaki agar segala bentuk aktivitas terkait pilkada dibikin steril dari anak-anak. Anak-anak, sebagaimana dalam kegiatan kampanye, diyakini lebih banyak mengalami mudarat ketimbang manfaat. Namun, berbagai regulasi pelarangan sedemikian rupa tidak pernah berhasil meredam animo masyarakat (konstituen) agar berhenti mengajak anak-anak mereka dalam pesta-pesta demokrasi.
Pun dalam lintasan sejarah nasional, sosok semisal Sukarno sudah dicemplungkan orang tuanya ke candradimuka politik sejak usia sekitar lima belas tahun. Di bawah penyeliaan langsung HOS Tjokroaminoto, Sukarno cilik sudah hadir pada pertemuan-pertemuan politik Sarekat Islam.
Hasil ekspos politik sejak usia pancaroba sungguh menakjubkan: Pada masanya, siapa manusia di bawah kolong langit yang tak mengenal Putra Sang Fajar?
Anak-anak memang belum memiliki hak mencoblos.
Sepintas, “masuk akal” apabila hak-hak hidup mereka kemudian terabaikan, karena mereka bukan konstituen yang diincar para kontestan. Deskripsi Lansdown dan Ansell sekian tahun silam juga mirip dengan kondisi anak-anak Indonesia hari ini.
Betapa pun anak-anak masa kini semakin aktif di dalam dan di luar keluarga, mereka tetap dikungkung di dalam partisi sempit bernama rumah dan sekolah. Walau kehadiran anak-anak di ruang publik kian berserak, mereka tetap dianggap sebagai makhluk pasif.
Potensi anak untuk berpartisipasi sebagai aktor politik justru diabaikan. Alhasil wajar, sebagaimana kata Kulynych (2001), ada ruang yang tak terjamah dan aktor yang sengaja dibikin tak berkiprah dalam proses demo-kratisasi bangsa. Anak-anak, ringkasnya, tidak mempunyai cukup suara untuk turut mewarnai produk-produk kebijakan negara, bahkan kebijakan yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka sendiri.
Realitas sedemikian rupa jelas-jelas harus dikoreksi total. Hart Research Associates (2016), misalnya, sengaja melakukan survei guna menakar sikap warga Negeri Paman Sam terhadap isu-isu tentang anak. Simpulannya, masyarakat Amerika Serikat—terlebih yang memiliki anak berusia di bawah delapan belas tahun— sangat mendukung peningkatan investasi di bidang kesehatan, pendidikan, dan nutrisi anak-anak.
Warga bahkan berkata, mereka akan mencoblos kandidat yang berkomitmen melakukan pembenahan-pembenahan serius dan terukur di area perlindungan anak kelak jika terpilih.
Indonesia sendiri, di samping keberadaan Konvensi PBB tentang Hak Anak, sudah memiliki landasan konstitusional untuk memaksa para peserta pilkada pasang telinga terhadap anak-anak. Undang-Undang Perlindungan Anak menyebut anak sebagai subjek aktif: insan yang patut didengar pen-dapatnya sesuai tingkat kecerdasan dan kematangannya.
Gagasan ini sesungguhnya bukan hal baru. Secara rutin, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia sejak tahun 2000 menyelenggarakan Kongres Anak Indonesia (KAI). Salah satu keluarannya adalah Suara Anak, sebuah dokumen yang disusun sepenuhnya oleh anak-anak peserta KAI berisi daftar rekomendasi tentang kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang anak.
Tentu, satu forum tahunan bagi anak untuk berikhtiar menautkan kepentingan mereka dengan kebijakan nasional tidak akan memadai. Atas dasar itu, kini giliran parpol dan para calon kepala daerah (cakada) untuk tidak menjadikan anak sebagai penggembira atau pemandu sorak belaka. Kongres-kongres mini serupa patut diadakan agar parpol dan cakada bisa menyimak langsung pandangan anak-anak. Kemas aspirasi anak-anak itu ke dalam visi, misi, serta program kerja parpol dan cakada.
Bentuk ‘kehadiran’ anak-anak lainnya dalam kontestasi politik adalah alat-alat peraga kampanye yang menampilkan sosok anak-anak. Itu, pada dasarnya, tidak bermasalah. Praktik tersebut di negara-negara demokratis sudah ada sejak tahun lima puluhan.
Agar konstruktif, tidak sulit bagi parpol dan cakada untuk menyandingkan foto anak-anak dengan pesan positif semisal tekun beribadah, anti-LGBT, antinarkoba, layanan kesehatan berkualitas, integritas tubuh, keluarga harmonis, cinta flora dan fauna, cinta ayah bunda, rajin menabung, peduli disabilitas, pembangunan sarana prasarana ramah anak, serta tema-tema kreatif konstruktif lainnya.
Titik Awal
Sebagaimana tamsil “demokrasi bermula di meja makan”, akan sangat ideal apabila pendidikan untuk membangun kemelekan (literasi) politik pun dimulai dengan ayah bunda sebagai guru-gurunya.
Becermin pada semakin banyaknya keluarga di negara-negara maju yang mengajak anak-anak mereka ke tempat pemungutan suara, betapa eloknya jika setiap orang tua mampu membangun tradisi keluarga dengan mengajari anak bahwa pilkada dan kampanye bukan semata-mata perkara pencoblosan kertas suara.
Di balik aksi dukung-mendukung calon kepala daerah, orang tua perlu menumbuhkan kesadaran anak akan pentingnya minat pada politik dan ke-pedulian pada tanggung jawab sebagai warga negara.
Itu semua, pastinya, jauh lebih bermakna ketimbang sebatas menggendong-gendong anak di lokasi kampanye. Satu garis bawah: anak bukan objek eksploitasi, bukan alat propaganda, untuk membangun impresi politik bahwa “aku dan partaiku paling peduli anak”. Ayo, siapa yang sungguh-sungguh mampu menjadi guru demokrasi bagi anak-anak Indonesia? Allahu a’lam.
(poe)