Partai Baru dan Pilpres 2019

Senin, 21 November 2016 - 07:11 WIB
Partai Baru dan Pilpres 2019
Partai Baru dan Pilpres 2019
A A A
Veri Junaidi
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif

SALAH satu isu krusial dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu adalah syarat dukungan dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Hal ini tertuang dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu yang diserahkan pemerintah kepada DPR.

Menurut RUU ini, pemerintah menghendaki agar presiden dan wakil presiden hanya diusung oleh partai politik peserta Pemilu 2014, yakni mereka yang memperoleh suara pada pemilu sebelumnya. Partai atau gabungan partai ini bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden dengan membawa dukungan 20% kursi atau 25% perolehan suara pada pemilu yang lalu.

Jika ketentuan di atas diberlakukan, lantas bagaimana dengan nasib partai baru seperti Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan Partai Serikat Indonesia (PSI), jika nantinya kedua partai dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu 2019?

RUU Pemilu
RUU Penyelenggaraan Pemilu telah mengatur sistem pencalonan pemilu presiden dan wakil presiden. Mekanismenya tidak banyak berubah dibanding aturan lama, meskipun sistem penyelenggaraan pemilunya berubah drastis. Ternyata, keserentakan pemilu tidak merombak secara signifikan mekanisme pencalonan presiden dan wakil presiden.

Lihat dalam pasal 190, presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik pada pemilu sebelumnya. Artinya, yang bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden hanyalah Demokrat, PDIP, PKS, Gerindra, Nasdem, PPP, PKB, PAN, Hanura, PBB, dan PKPI.

Partai-partai ini bisa mencalonkan jika memperoleh kursi minimal 20% atau 25% suara pada pemilu legislatif 2014. Jika masing-masingnya tidak mencapai besaran itu maka mesti bergabung dengan partai lainnya sehingga kuota pencalonannya terpenuhi.

Dengan aturan seperti itu, jelas tidak ada harapan bagi partai baru untuk ikut berkontestasi, ambil bagian mengusung calon presiden dan wakil presiden. Lihat saja pasal 192, mewajibkan partai baru untuk bergabung dengan senior-senior mereka yang lebih dulu menguasai kursi DPR.

Mekanisme pencalonan itu tentu tidak sejalan dengan desain pemilu serentak, yang menggabungkan pemilu legislatif dengan pemilu presiden dalam satu waktu. Karena itu, tahun 2019 nanti tidak akan ditemui model pemilu seperti tahun 2014. Pada April 2019 akan diselenggarakan pemilu legislatif, sedangkan untuk bulan Juli masyarakat akan kembali datang lagi ke TPS untuk memilih presiden dan wakil presiden.

Inkonstitusional
Ketidaksinkronan antara mekanisme pencalonan dan pemilu serentak, berdampak pada pelanggaran terhadap konstitusi. Presiden dan wakil presiden yang hanya bisa dicalonkan oleh partai lama jelas dan tegas inkonstitusional. Begitu juga aturan yang mensyaratkan dukungan parpol dan gabungan parpol sebesar 20% kursi dan 25% suara pada pemilu sebelumnya.

Aturan ini menyimpangi semangat Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak. Putusan MK menghendaki agar pemilihan presiden-wakil presiden diserentakkan dengan pemilu legislatif.

Salah satu argumentasi yang muncul, agar tidak ada transaksi politik dalam pencalonan presiden. Ketentuan dukungan 20% kursi dan 25% suara, dinilai melahirkan “jual beli” dukungan.

Menggambarkan kondisi pencalonan di atas, muncul istilah “koalisi priuk nasi”, bahwa koalisi partai terjadi bukan atas dasar kesamaan visi dan misi atau ideologi partai, akan tetapi barter kepentingan antarpartai politik.

Kondisi di atas akan selalu muncul karena koalisi partai terbangun setelah partai politik mengetahui kekuatan masing-masing, dari hasil pemilu legislatif yang terlaksana tiga bulan sebelumnya.

Desain pemilu serentak yang dikehendaki putusan MK itu juga berharap agar koalisi partai pengusung presiden dan wakil presiden didasarkan pada kesamaan ideologi, visi dan perjuangan bersama antar partai. Koalisi tidak lagi atas dasar kepentingan pragmatis elite politik.

Mekanisme pencalonan presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan bersamaan dengan pemilu legislatif, diharapkan memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh partai peserta pemilu untuk mencalonkan diri. Berapa pun kekuatan partainya, bisa mengusung calon presiden sehingga tidak ada dominasi dan monopoli dukungan. Logikanya, keserentakan ini akan mengabaikan besaran dukungan karena masing-masing partai berangkat dari nol, sama-sama belum memiliki suara dan kursi.

Oleh karena itu, syarat pencalonan presiden dengan besaran 20% kursi dan 25% suara adalah aturan yang inkonstitusional. Ketentuan ini menciptakan ketidakadilan antarpeserta pemilu. Partai lama diberikan hak istimewa untuk mencalonkan presiden, sedangkan partai baru hanya sebagai pelengkap
semata.

Mekanisme ini secara tegas telah mendiskriminasikan partai-partai baru yang mestinya memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Masing-masing partai politik, ketika telah menjadi peserta pemilu memiliki hak yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Mengingat hal tersebut pembentuk undang-undang hendaknya mempertimbangkan kembali aturan ini.

RUU Penyelenggaraan Pemilu merupakan harapan besar penataan kepemiluan di Indonesia. Muncul harapan agar kodifikasi UU Pemilu sukses membuat grand desain sebuah aturan yang utuh. Jangan sampai aturan ini terkoyak, sesaat setelah diundangkan justru banyak direviu dan dibatalkan MK, sehingga desainnya menjadi tidak utuh dan menimbulkan persoalan baru.

Partai penguasa pemerintah dan parlemen tidak perlu khawatir soal siapa yang akan jadi presiden, karena rakyatlah yang akan menentukan. Jadi, berikan kesempatan yang sama untuk seluruh partai politik mencalonkan presiden dan wakil presiden.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5104 seconds (0.1#10.140)