Degradasi Presiden

Rabu, 09 November 2016 - 08:36 WIB
Degradasi Presiden
Degradasi Presiden
A A A
Sudarnoto Abdul Hakim
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Peneliti Malaysia, Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Pusat

ADA beberapa catatan penting terkait dengan demo 4 November. Pertama, ini merupakan demo besar dan penting di Asia Tenggara, jauh lebih dahsyat dibandingkan Demo Bersih Empat di Kuala Lumpur tahun silam.

Demo yang melibatkan mantan PM Mahathir Mohamad untuk menurunkan PM Najib Razak karena antara lain diyakini ada aliran dana yang masuk ke rekening pribadinya sebesar RM9 triliun, menuntut pemilu bersih, pemerintah bersih, penyelamatan ekonomi, dan hak membantah (berpendapat). Isunya demokrasi esensial, meskipun gagal menurunkan Najib. Demonstrasi damai 4 November lalu melibatkan jutaan jiwa terdiri dari banyak elemen masyarakat dan kepentingan dan berasal dari berbagai kota, Demo Bersih hanya puluhan ribu orang.

Kedua, demo ini melibatkan komunitas dan organisasi muslim serta melibatkan para pemimpinnya seperti ulama dan ustaz. Elemen anak-anak muda dan mahasiswa seperti pemuda Muhammadiyah, IMM, HMI juga penting. Tak terkecuali FPI, yang selama ini dikenal sebagai ormas Islam yang sering dinilai sebagai hardliner dan kasar, menjadi bagian sangat penting dari demo yang damai ini.

Di bawah kendali efektif anak muda yang smart dan pemberani seperti Dahnil, Imam Besar FPI Habib Rizieq, Ustaz Arifin Ilham dan para tokoh komunitas atau organisasi muslim lain serta jutaan orang melakukan demo secara damai.

Provokasi kerusuhan memang dilakukan oleh segelintir orang dan itu pun sudah ditangkap. Sikap represif juga terjadi oleh aparat dan menyakitkan.

Tapi, demo 4 November telah berhasil meruntuhkan pandangan akan terjadinya destruksi besar-besaran seperti kasus Malari, kerusuhan mengiringi atau mengotori gerakan reformasi, atau bahkan seperti a bloody racial clash di Kuala Lumpur pada 1969. Demo ini meskipun menyangkut soal esensial dalam hal religiositas umat Islam tetap bisa dilakukan dengan damai.

Tentu ini sebuah kekuatan atau energi positif ajaran agama yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi substantif, yaitu kedamaian. Ini juga bisa menjadi gambaran penting bahwa Indonesia benar-benar merupakan bangsa muslim terbesar di dunia dan bisa menjadi contoh bagi banyak bangsa. Media global di arus utama yang sering menyudutkan Islam, hemat saya, bisa gagal membaca gelombang besar umat Islam yang ternyata melaksanakan non-violent demonstration.

Siapa yang Gagal?
Isu yang diusung saat demo damai adalah sesuatu yang sangat substansial, bahkan dalam demokrasi, yaitu penegakan keadilan hukum, terutama terkait penistaan agama. Agama, sesuai dengan sila pertama Pancasila, adalah esensial dan negara berkewajiban untuk melindunginya.

Tidak boleh ada diskriminasi dan tidak boleh ada yang menista. Penistaan terhadap agama dengan dalih apa pun merusak prinsip HAM, menista kemanusiaan, dan tentu menista Pancasila.

Menista agama adalah sebuah kemunduran dan ketololan (jahil/jahiliyah) yang sangat luar biasa, siapa pun yang melakukannya. Menista dengan demikian menentang keluhuran dan keadaban dan penista agama berarti tidak beradab.

Tugas penting negara, sekali lagi, melindungi agama dari penistaan, apalagi dilakukan oleh pejabat publik karena merupakan amanat ideologis dan konstitusional. Jika negara mengabaikan, berarti negara menjadi bagian—karena melakukan pembiaran—dari viktimisasi terhadap agama.

Tekanan arus liberalisme, pragmatisme ekonomi dan politik, tampaknya mendorong Presiden enggan melakukan komunikasi dengan komunitas muslim untuk mendengarkan dan berempati sedalam-dalamnya kepada rakyatnya sendiri.

Presiden enggan menerima ajakan baik-baik rakyatnya (bukan musuhnya) untuk mendengar permintaan hukum secara adil terhadap penista agama. Presiden sebagai representasi negara telah gagal karena kehilangan sensitivitasnya untuk melindungi dan menghormati hak-hak esensial kemanusiaan rakyatnya sendiri.

Bagi kekuatan muslim, keengganan Presiden menyapa dan berkomunikasi dan ketidakhadiran negara justru menjadi peluang untuk melanjutkan perjuangan mengingatkan elite penguasa agar kezaliman dihentikan.

Apa yang terjadi tentunya juga berdimensi politik di samping agama dan hukum. Berdimensi politik karena menyangkut pejabat penting, yaitu gubernur dan presiden, yang di belakangnya ada partai-partai dan kekuatan ekonomi yang tidak ringan.

Presiden dan Gubernur nampak percaya diri dengan dukungan politik dan kekuatan modal, bahkan terasa sejak pemilu, untuk tidak perlu bersikap empatik. Tapi justru kecenderungan untuk memperlihatkan kekuasaan dengan cara seperti inilah yang menjadi preseden negatif, terutama bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Dan ini yang sebetulnya terjadi bahwa demokrasi sering dirusak justru oleh penguasa atau elite politik. Karena itu, political distrust dan moral delegitimacy terhadap kekuasaan yang telah diberikan oleh rakyat melalui sebuah kontrak atau perjanjian yang disebut dengan pemilu tidak bisa dihindar.

Peristiwa 4 November kemarin memberikan gambaran secara kasatmata bahwa baik Gubernur DKI maupun Presiden telah mengalami political distrust dan moral delegitimacy seperti di atas. Padahal, tidak diniatkan oleh jutaan demonstran untuk mendegradasi Gubernur dan Presiden secara politik, akan tetapi sikap tak sensitif dan tak peduli Presiden terhadap permintaan demonstran telah mendegradasi dengan sendirinya. Presiden telah kehilangan momentum penting dan indah untuk memperkokoh dan meningkatkan kualitas demokrasi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4064 seconds (0.1#10.140)