Ekonomi Tumbuh 5,02%
A
A
A
PEMERINTAH sedikit bernapas lega melihat hasil pertumbuhan ekonomi nasional yang masih bercokol di atas 5%. Pertumbuhan ekonomi untuk kuartal III 2016 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin berada pada level 5,02% atau mengalami penurunan bila dibandingkan dengan triwulan II 2016 yang mencapai 5,18%. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi secara kumulatif mencapai 5,04% dari Januari hingga September 2016.
Pencapaian angka pertumbuhan ekonomi tersebut dinilai BPS cukup bagus di tengah kinerja perekonomian global yang masih lesu. Indikatornya bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi pada sejumlah negara mitra dagang Indonesia, di antaranya perekonomian Amerika Serikat yang tumbuh dari 1,3% menjadi 1,5%, China yang stagnan pada level 6,7%, Korea Selatan yang melemah dari 3,3% menjadi 2,7%, dan Singapura yang melambat dari 2,0% ke level 0,6%.
Penurunan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga bila dibandingkan dengan kuartal sebelumnya pada tahun ini, bagi Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, jujur diakui sebagai pertanda bahwa denyut perekonomian nasional memang masih melemah. Mantan pejabat tinggi Bank Dunia ini menyoroti kinerja ekspor yang masih minus sekitar 6% dan impor tercatat minus 3,8%. Dampaknya terasa pada penurunan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) ekspor dan impor.
Adapun pertumbuhan investasi belum bergairah, hanya sekitar 4,1% sepanjang kuartal III 2016, padahal investasi salah satu dari motor pertumbuhan perekonomian. Selain itu wanita kelahiran Lampung ini juga menyoroti kucuran kredit perbankan yang seret dan hanya tumbuh sekitar 5%. Mengenai penurunan belanja pemerintah pada periode Juli-September 2016, Sri Mulyani mengakui hal itu sebagai dampak dari pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.
Adapun sektor usaha yang berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga, sebagaimana data yang dipublikasi BPS, meliputi sektor transportasi dan gudang sebesar 5,34% pada urutan teratas, disusul sektor pertanian kehutanan dan perikanan sekitar 4,69% serta sektor konstruksi di level 4,36%.
Secara tahunan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tiga sektor. Pertama, sektor informasi dan komunikasi sekitar 9,2%. Kedua, sektor jasa keuangan dan asuransi 8,83%. Ketiga, sektor industri pengolahan pada level 4,56%. Berdasarkan data BPS, semua sektor mencatat pertumbuhan sepanjang kuartal ketiga. Sektor pertambangan pun turut bergairah dengan mencatatkan pertumbuhan sekitar 0,13%, padahal selama ini masih terjadi kontraksi. Hal itu didorong peningkatan produksi bahan tambang logam, di antaranya tembaga dan emas.
Bagaimana respons pengusaha atas data pertumbuhan ekonomi yang masih bertengger di level 5,02% pada triwulan III 2016? Kalangan pengusaha menilai pertumbuhan ekonomi tersebut cukup melegakan dalam kondisi perekonomian global yang masih berbalut sejumlah krisis ekonomi di berbagai wilayah.
Mengutip pernyataan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roelani, pencapaian angka pertumbuhan ekonomi sedikit di atas 5% sudah bagus dan membuat dunia bisnis optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5% hingga akhir tahun ini. Rosan berharap agar pemerintah memberi perhatian khusus untuk mendongkrak nilai ekspor, sebab sepanjang tahun ini pertumbuhan ekonomi diputar dari belanja negara, investasi dan konsumsi. Memang mendongkrak kinerja ekspor bukan persoalan gampang karena pada saat bersamaan laju pertumbuhan perekonomian negeri mitra dagang Indonesia juga sedang melemah.
Pemerintah wajar saja merasa lega dengan angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga tahun ini mengingat sejumlah analis ekonomi memprediksi bahwa angka pertumbuhan ekonomi sepanjang Juli hingga September berada di bawah 5%. Untuk kuartal keempat pemerintah meyakini angka pertumbuhan ekonomi bakal lebih besar dengan asumsi bahwa realisasi belanja pemerintah semakin tinggi.
Meski demikian, pemerintah tetap harus waspada, terutama terkait dengan perkembangan rasio kredit bermasalah (non-performing loan /NPL). Memang data terbaru seputar rasio NPL sudah turun tipis dari 3,2% pada Agustus 2016 ke level 3,1% pada September 2016 yang dirilis pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK), termasuk sangat berpotensi menjadi pengganjal laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal keempat.
Pencapaian angka pertumbuhan ekonomi tersebut dinilai BPS cukup bagus di tengah kinerja perekonomian global yang masih lesu. Indikatornya bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi pada sejumlah negara mitra dagang Indonesia, di antaranya perekonomian Amerika Serikat yang tumbuh dari 1,3% menjadi 1,5%, China yang stagnan pada level 6,7%, Korea Selatan yang melemah dari 3,3% menjadi 2,7%, dan Singapura yang melambat dari 2,0% ke level 0,6%.
Penurunan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga bila dibandingkan dengan kuartal sebelumnya pada tahun ini, bagi Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, jujur diakui sebagai pertanda bahwa denyut perekonomian nasional memang masih melemah. Mantan pejabat tinggi Bank Dunia ini menyoroti kinerja ekspor yang masih minus sekitar 6% dan impor tercatat minus 3,8%. Dampaknya terasa pada penurunan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) ekspor dan impor.
Adapun pertumbuhan investasi belum bergairah, hanya sekitar 4,1% sepanjang kuartal III 2016, padahal investasi salah satu dari motor pertumbuhan perekonomian. Selain itu wanita kelahiran Lampung ini juga menyoroti kucuran kredit perbankan yang seret dan hanya tumbuh sekitar 5%. Mengenai penurunan belanja pemerintah pada periode Juli-September 2016, Sri Mulyani mengakui hal itu sebagai dampak dari pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.
Adapun sektor usaha yang berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga, sebagaimana data yang dipublikasi BPS, meliputi sektor transportasi dan gudang sebesar 5,34% pada urutan teratas, disusul sektor pertanian kehutanan dan perikanan sekitar 4,69% serta sektor konstruksi di level 4,36%.
Secara tahunan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tiga sektor. Pertama, sektor informasi dan komunikasi sekitar 9,2%. Kedua, sektor jasa keuangan dan asuransi 8,83%. Ketiga, sektor industri pengolahan pada level 4,56%. Berdasarkan data BPS, semua sektor mencatat pertumbuhan sepanjang kuartal ketiga. Sektor pertambangan pun turut bergairah dengan mencatatkan pertumbuhan sekitar 0,13%, padahal selama ini masih terjadi kontraksi. Hal itu didorong peningkatan produksi bahan tambang logam, di antaranya tembaga dan emas.
Bagaimana respons pengusaha atas data pertumbuhan ekonomi yang masih bertengger di level 5,02% pada triwulan III 2016? Kalangan pengusaha menilai pertumbuhan ekonomi tersebut cukup melegakan dalam kondisi perekonomian global yang masih berbalut sejumlah krisis ekonomi di berbagai wilayah.
Mengutip pernyataan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roelani, pencapaian angka pertumbuhan ekonomi sedikit di atas 5% sudah bagus dan membuat dunia bisnis optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5% hingga akhir tahun ini. Rosan berharap agar pemerintah memberi perhatian khusus untuk mendongkrak nilai ekspor, sebab sepanjang tahun ini pertumbuhan ekonomi diputar dari belanja negara, investasi dan konsumsi. Memang mendongkrak kinerja ekspor bukan persoalan gampang karena pada saat bersamaan laju pertumbuhan perekonomian negeri mitra dagang Indonesia juga sedang melemah.
Pemerintah wajar saja merasa lega dengan angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga tahun ini mengingat sejumlah analis ekonomi memprediksi bahwa angka pertumbuhan ekonomi sepanjang Juli hingga September berada di bawah 5%. Untuk kuartal keempat pemerintah meyakini angka pertumbuhan ekonomi bakal lebih besar dengan asumsi bahwa realisasi belanja pemerintah semakin tinggi.
Meski demikian, pemerintah tetap harus waspada, terutama terkait dengan perkembangan rasio kredit bermasalah (non-performing loan /NPL). Memang data terbaru seputar rasio NPL sudah turun tipis dari 3,2% pada Agustus 2016 ke level 3,1% pada September 2016 yang dirilis pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK), termasuk sangat berpotensi menjadi pengganjal laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal keempat.
(kri)