Demo 4 November dan NKRI
A
A
A
M Bambang Pranowo
Guru Besar UIN Jakarta/Rektor Universitas Mathlaul Anwar, Banten
SUHU politik Indonesia menghangat. Gara-garanya, sebagian kalangan umat Islam akan menyelenggarakan demonstrasi akbar 4 November 2016 di Jakarta untuk menuntut Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (BTP) diadili karena dianggap melakukan penistaan terhadap Islam.
Pernyataan Ahok—nama panggilan akrab Gubernur BTP—di Kepulauan Seribu yang mengutip Surat Al-Maidah 51. Terlepas dari kontroversi apakah Ahok bersalah dan tidak (karena sebagian kalangan umat Islam juga menyatakan Ahok tidak bersalah), viral kemarahan itu telah meluas dan ”berlari kencang” sehingga sulit dihentikan.
Benar tidak semua umat Islam mempersalahkan Ahok. Tapi, karena jumlah umat Islam Indonesia yang sangat besar, bila sebagian saja umat Islam marah, jumlahnya amat banyak dan dampaknya sangat signifikan.
Dalam kasus Ahok ada juga orang yang mempersalahkan MUI karena dianggap ikut ”mengompori” umat Islam agar marah terhadap Ahok. MUI dituduh berpihak kepada kalangan umat tertentu yang menuntut Ahok mundur dan diadili. Padahal, apa yang dilakukan MUI justru sebenarnya ingin ”menyelamatkan” Ahok dari ”amuk massa” demonstran.
Apa yang dilakukan MUI agar polisi tetap memproses secara hukum kasus ”penistaan Ahok pada Alquran” sebenarnya telah berada di jalur yang ”semestinya” karena memang ada UU yang melarang penistaan agama. Jika kasus itu diproses secara hukum (dengan keputusan hakim, Ahok bersalah atau tidak), niscaya tuntutan massa Islam tersebut akan mengendur dengan sendirinya.
Dengan demikian, permintaan MUI agar kasus Ahok dibawa ke ranah hukum menunjukkan MUI tetap menghormati koridor hukum nasional, sekaligus menepis tuntutan kalangan umat Islam tertentu yang minta Ahok dihukum menggunakan ”hukum Islam”. Memang Ahok sendiri sudah minta maaf kepada umat Islam dan MUI yang mewakili ”umat Islam” sudah memaafkan Ahok. Bagi umat Islam, memberikan maaf adalah perbuatan mulia dan MUI telah melakukannya. Karena itu, MUI tidak mendukung penyelenggaraan demo besar-besaran 4 November karena MUI sudah memaafkan Ahok.
Dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia -Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang juga merupakan komponen MUI— juga telah menerima permintaan maaf Ahok. Kendati demikian, baik MUI, NU, maupun Muhammadiyah tidak bisa melarang bila sebagian umat Islam (anggotanya) melakukan demo 4 November. Dalam kaitan ini, MUI— sesuai dengan tuntutan sebagian umat—minta kasus Ahok bisa segera masuk dalam ranah hukum untuk menghindari ranah politik yang bisa berakibat kompleks.
Dengan demikian, imbauan MUI kepada pemerintah untuk tetap menjalankan prosedur hukum terhadap Ahok (yang dituduh melakukan penistaan agama oleh sebagian kalangan umat Islam) adalah sebagai upaya ”menyelamatkan” Ahok dari ”tuntutan politik” yang lebih kompleks dan menjatuhkan.
MUI juga menyadari kasus Ahok ini bisa ”ditunggangi” para petualang politik. Apalagi, berbarengan dengan munculnya kasus Ahok, Pilgub DKI sudah memasuki masa kampanye. Bukan tidak mungkin, kasus ini pun ditunggangi oleh ”oknum-oknum” tertentu yang tidak menyukai Ahok, atau setidaktidaknya ingin agar Ahok kalah dalam pilgub.
Atau, yang lebih tragis lagi, ada oknum-oknum tertentu yang menginginkan Ahok membatalkan diri dari pencalonannya sebagai gubernur DKI karena desakan publik Islam yang marah. Semua dalam politik mungkin saja terjadi. Benar apa kata Lord Acton bahwa politik adalah seni dari segala kemungkinan. Kendati demikian, pegangan MUI tetap masalah ”penistaan Alquran tadi”— sama sekali bukan pemihakan kepada calon gubernur DKI tertentu dalam Pilkada 2017.
Demo 4 November—terlepas dari komponen umat Islam mana yang melakukan demo karena sebagian umat Islam juga menolak demo—niscaya amat besar karena penggalangannya dilakukan secara viral melalui medsos.
Pemerintah juga tampaknya sudah meniscayakan demo itu akan sangat besar sehingga Presiden Jokowi berusaha mengantisipasinya dengan beberapa cara. Antara lain, pertama, mempersiapkan pengamanan dengan mengerahkan puluhan ribu anggota kepolisian yang tugasnya memang mengamankan demo dari kemungkinan terjadi anarkisme.
Kedua, Presiden juga telah ”menemui” Pimpinan Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk ikut sama-sama ”mendinginkan” kondisi politik sekaligus mengimbau agar demo itu berlangsung tenang dan tidak anarkistis.
Yang membahagiakan, baik Jokowi maupun Prabowo, pada pertemuan di Hambalang (kediaman Prabowo, 31 Oktober 2016) ujungnya punya sikap yang sama: NKRI tidak boleh diganggu gugat. Artinya, siapa pun orangnya yang merongrong NKRI, akan menjadi musuh bersama.
Pertemuan Jokowi dan Prabowo ini jelas memberikan ”suasana sejuk” saat kondisi politik sedang memanas. Hal ini terjadi karena baik Ahok maupun calon gubernur Anies Baswedan, keduanya, muncul atas prakarsa dan ide Prabowo.
Dalam pilgub yang sekarang, lagi-lagi Prabowo dengan jiwa besarnya mencalonkan ”orang luar” yang dianggap kompeten untuk cagub DKI, yaitu Anies Baswedan. Anies bukanlah kader Partai Gerindra sebagaimana Ahok, tapi dengan besar jiwa Prabowo mengusungnya untuk jadi calon gubernur DKI.
Dengan demikian, Prabowo adalah tokoh politik yang keterlibatannya dalam Pilkada DKI sangat strategis dan signifikan. Karena itu, Presiden Jokowi merasa perlu mendatanginya untuk mendiskusikan kasus Ahok.
Sydney Jones dalam seminar tentang ”Radikalisme Islam” di Wahid Institute, Jakarta, Selasa (1 November 2016) mengungkapkan bahwa di Suriah juga beredar ”spanduk” bertuliskan ”Tangkap Ahok atau Peti Mati” yang diusung kelompok radikal Jaisy Al-Fat, salah satu faksi pemberontak di Suriah yang berafiliasi dengan ISIS. Fenomena tersebut, kata Sydney Jones, menandakan demo anti-Ahok di Jakarta diduga telah disusupi kelompok radikal yang berafiliasi dengan ISIS.
Dalam konteks inilah kita memahami mengapa Presiden Jokowi dan Prabowo sepakat bahwa NKRI tetap tidak bisa diganggu gugat. Artinya, siapa pun yang ujarannya atau tindakannya merongrong NKRI, harus diwaspadai dan tidak diberi toleransi. Karena mengganggu NKRI adalah musuh yang sangat berbahaya bagi kelangsungan Republik Indonesia.
Guru Besar UIN Jakarta/Rektor Universitas Mathlaul Anwar, Banten
SUHU politik Indonesia menghangat. Gara-garanya, sebagian kalangan umat Islam akan menyelenggarakan demonstrasi akbar 4 November 2016 di Jakarta untuk menuntut Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (BTP) diadili karena dianggap melakukan penistaan terhadap Islam.
Pernyataan Ahok—nama panggilan akrab Gubernur BTP—di Kepulauan Seribu yang mengutip Surat Al-Maidah 51. Terlepas dari kontroversi apakah Ahok bersalah dan tidak (karena sebagian kalangan umat Islam juga menyatakan Ahok tidak bersalah), viral kemarahan itu telah meluas dan ”berlari kencang” sehingga sulit dihentikan.
Benar tidak semua umat Islam mempersalahkan Ahok. Tapi, karena jumlah umat Islam Indonesia yang sangat besar, bila sebagian saja umat Islam marah, jumlahnya amat banyak dan dampaknya sangat signifikan.
Dalam kasus Ahok ada juga orang yang mempersalahkan MUI karena dianggap ikut ”mengompori” umat Islam agar marah terhadap Ahok. MUI dituduh berpihak kepada kalangan umat tertentu yang menuntut Ahok mundur dan diadili. Padahal, apa yang dilakukan MUI justru sebenarnya ingin ”menyelamatkan” Ahok dari ”amuk massa” demonstran.
Apa yang dilakukan MUI agar polisi tetap memproses secara hukum kasus ”penistaan Ahok pada Alquran” sebenarnya telah berada di jalur yang ”semestinya” karena memang ada UU yang melarang penistaan agama. Jika kasus itu diproses secara hukum (dengan keputusan hakim, Ahok bersalah atau tidak), niscaya tuntutan massa Islam tersebut akan mengendur dengan sendirinya.
Dengan demikian, permintaan MUI agar kasus Ahok dibawa ke ranah hukum menunjukkan MUI tetap menghormati koridor hukum nasional, sekaligus menepis tuntutan kalangan umat Islam tertentu yang minta Ahok dihukum menggunakan ”hukum Islam”. Memang Ahok sendiri sudah minta maaf kepada umat Islam dan MUI yang mewakili ”umat Islam” sudah memaafkan Ahok. Bagi umat Islam, memberikan maaf adalah perbuatan mulia dan MUI telah melakukannya. Karena itu, MUI tidak mendukung penyelenggaraan demo besar-besaran 4 November karena MUI sudah memaafkan Ahok.
Dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia -Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang juga merupakan komponen MUI— juga telah menerima permintaan maaf Ahok. Kendati demikian, baik MUI, NU, maupun Muhammadiyah tidak bisa melarang bila sebagian umat Islam (anggotanya) melakukan demo 4 November. Dalam kaitan ini, MUI— sesuai dengan tuntutan sebagian umat—minta kasus Ahok bisa segera masuk dalam ranah hukum untuk menghindari ranah politik yang bisa berakibat kompleks.
Dengan demikian, imbauan MUI kepada pemerintah untuk tetap menjalankan prosedur hukum terhadap Ahok (yang dituduh melakukan penistaan agama oleh sebagian kalangan umat Islam) adalah sebagai upaya ”menyelamatkan” Ahok dari ”tuntutan politik” yang lebih kompleks dan menjatuhkan.
MUI juga menyadari kasus Ahok ini bisa ”ditunggangi” para petualang politik. Apalagi, berbarengan dengan munculnya kasus Ahok, Pilgub DKI sudah memasuki masa kampanye. Bukan tidak mungkin, kasus ini pun ditunggangi oleh ”oknum-oknum” tertentu yang tidak menyukai Ahok, atau setidaktidaknya ingin agar Ahok kalah dalam pilgub.
Atau, yang lebih tragis lagi, ada oknum-oknum tertentu yang menginginkan Ahok membatalkan diri dari pencalonannya sebagai gubernur DKI karena desakan publik Islam yang marah. Semua dalam politik mungkin saja terjadi. Benar apa kata Lord Acton bahwa politik adalah seni dari segala kemungkinan. Kendati demikian, pegangan MUI tetap masalah ”penistaan Alquran tadi”— sama sekali bukan pemihakan kepada calon gubernur DKI tertentu dalam Pilkada 2017.
Demo 4 November—terlepas dari komponen umat Islam mana yang melakukan demo karena sebagian umat Islam juga menolak demo—niscaya amat besar karena penggalangannya dilakukan secara viral melalui medsos.
Pemerintah juga tampaknya sudah meniscayakan demo itu akan sangat besar sehingga Presiden Jokowi berusaha mengantisipasinya dengan beberapa cara. Antara lain, pertama, mempersiapkan pengamanan dengan mengerahkan puluhan ribu anggota kepolisian yang tugasnya memang mengamankan demo dari kemungkinan terjadi anarkisme.
Kedua, Presiden juga telah ”menemui” Pimpinan Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk ikut sama-sama ”mendinginkan” kondisi politik sekaligus mengimbau agar demo itu berlangsung tenang dan tidak anarkistis.
Yang membahagiakan, baik Jokowi maupun Prabowo, pada pertemuan di Hambalang (kediaman Prabowo, 31 Oktober 2016) ujungnya punya sikap yang sama: NKRI tidak boleh diganggu gugat. Artinya, siapa pun orangnya yang merongrong NKRI, akan menjadi musuh bersama.
Pertemuan Jokowi dan Prabowo ini jelas memberikan ”suasana sejuk” saat kondisi politik sedang memanas. Hal ini terjadi karena baik Ahok maupun calon gubernur Anies Baswedan, keduanya, muncul atas prakarsa dan ide Prabowo.
Dalam pilgub yang sekarang, lagi-lagi Prabowo dengan jiwa besarnya mencalonkan ”orang luar” yang dianggap kompeten untuk cagub DKI, yaitu Anies Baswedan. Anies bukanlah kader Partai Gerindra sebagaimana Ahok, tapi dengan besar jiwa Prabowo mengusungnya untuk jadi calon gubernur DKI.
Dengan demikian, Prabowo adalah tokoh politik yang keterlibatannya dalam Pilkada DKI sangat strategis dan signifikan. Karena itu, Presiden Jokowi merasa perlu mendatanginya untuk mendiskusikan kasus Ahok.
Sydney Jones dalam seminar tentang ”Radikalisme Islam” di Wahid Institute, Jakarta, Selasa (1 November 2016) mengungkapkan bahwa di Suriah juga beredar ”spanduk” bertuliskan ”Tangkap Ahok atau Peti Mati” yang diusung kelompok radikal Jaisy Al-Fat, salah satu faksi pemberontak di Suriah yang berafiliasi dengan ISIS. Fenomena tersebut, kata Sydney Jones, menandakan demo anti-Ahok di Jakarta diduga telah disusupi kelompok radikal yang berafiliasi dengan ISIS.
Dalam konteks inilah kita memahami mengapa Presiden Jokowi dan Prabowo sepakat bahwa NKRI tetap tidak bisa diganggu gugat. Artinya, siapa pun yang ujarannya atau tindakannya merongrong NKRI, harus diwaspadai dan tidak diberi toleransi. Karena mengganggu NKRI adalah musuh yang sangat berbahaya bagi kelangsungan Republik Indonesia.
(poe)