Menjaga Harmoni Sosial

Senin, 31 Oktober 2016 - 09:32 WIB
Menjaga Harmoni Sosial
Menjaga Harmoni Sosial
A A A
RENCANA aksi 4 November 2016 kalau dilihat dari kacamata demokrasi adalah hal yang wajar-wajar saja. Kebebasan untuk bersuara adalah salah satu fondasi demokrasi yang selama ini kita upayakan dan kita pertahankan.

Demonstrasi selalu menjadi salah satu mekanisme untuk mengingatkan ketika pemerintah kurang tanggap atas keinginan maupun keresahan yang muncul di masyarakat.

Namun ketika rencana aksi demonstrasi tersebut menimbulkan kekhawatiran dan berbagai macam rumor, tentu kita harus mencoba untuk melihatnya dengan lebih jernih lagi.

Rencana aksi demonstrasi atas pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyakiti sebagian masyarakat memunculkan berbagai rumor yang mengkhawatirkan dan harus kita sikapi dengan kepala dingin.

Ketika masalah masih kecil mungkin masih bisa ditoleransi saat tuduh-menuduh mengenai siapa yang memanasi situasi masih saja terjadi. Namun dalam situasi seperti saat ini yang sudah mulai panas, dibutuhkan kebesaran hati kita semua untuk mengutamakan kepentingan bersama, yaitu menjaga keharmonisan sosial dan kebersamaan sebagai bangsa Indonesia.

Beberapa hal perlu menjadi perhatian bagi kita semua untuk menjaga harmoni sosial yang telah susah payah kita bangun. Pertama, pemerintah harus bersuara melihat perkembangan belakangan ini. Selama ini terkesan pemerintah mendiamkan berbagai keresahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Padahal ketika muncul berbagai macam rumor seperti ini pemerintah harus lebih gesit untuk menanggapi isu yang berkembang. Apalagi rumor berkembang sampai ke pandangan bahwa pemerintah tidak netral atas protes masyarakat.

Pemerintah harus sadar bahwa era sekarang era viral, bukan lagi era 1970-an/1980-an saat ada masalah bisa didiamkan yang pada akhirnya mereda sendiri. Pemerintah tidak bisa berharap masalah akan selesai hanya dengan didiamkan, zaman telah berubah.

Kedua, elite-elite politik, tokoh agama, dan tokoh masyarakat harus berusaha cooling down dan duduk bersama. Para tokoh harus sadar bahwa jika situasi terus dipanasi, bisa saja kita melewati garis yang tidak bisa kembali lagi dan sepanjang sejarah akan disesali sebagai kesalahan besar dalam kehidupan berbangsa.

Ketiga, Polri harus lebih terbuka dan responsif terhadap kasus yang dipermasalahkan masyarakat terkait Basuki Tjahaja Purnama. Sejauh ini, patut diapresiasi kemampuan Polri untuk menjaga keamanan DKI Jakarta sebagai episentrum keriuhan ini dan juga berbagai daerah lain di antero Nusantara.

Namun tentunya Polri harus lebih bersiap lagi menghadapi perkembangan yang dinamis. Polri harus meng-update perkembangan kasus mengenai Ahok yang menjadi sumber gerakan massa, merangkul para elite, serta memberikan penjelasan mengenai berbagai macam rumor meresahkan yang beredar di masyarakat.

Keempat, bangun kepercayaan masyarakat pada proses hukum. Rencana demonstrasi besar-besaran ini adalah ekses dari minimnya perkembangan dari Polri atas tuntutan dari masyarakat terhadap Ahok.

Di sini kita tidak berbicara benar atau salah, tetapi bicara mengenai proses yang dijalankan. Jika proses berjalan normal, keresahan masyarakat akan mereda.

Kelima, suara Presiden Joko Widodo sebagai commander in chief perahu negeri ini ditunggu oleh masyarakat. Dalam sebuah perahu besar kebangsaan, rebut-ribut kecil bukanlah ranah Presiden, tetapi ketika eskalasi keributan ini naik dan berpotensi mengganggu arah perjalanan kebangsaan ini, Presiden sebagai pemimpin yang dipilih rakyat harus bersuara lantang sekaligus menyejukkan.

Presiden harus lantang menolak segala bentuk anarkisme dan juga kecurangan sembari berusaha meneduhkan rakyatnya yang sudah telanjur terbelah. Masalah ini harus lekas dicarikan jalan keluarnya. Tak mungkin kita bisa berbicara mengenai pembangunan ekonomi jika harmoni sosial rusak.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7008 seconds (0.1#10.140)