Poros Dirgantara dan Industri Pertahanan

Selasa, 25 Oktober 2016 - 09:45 WIB
Poros Dirgantara dan...
Poros Dirgantara dan Industri Pertahanan
A A A
Dr Connie Rahakundini Bakrie
Dewan Penasihat National Air Power Centre Indonesia, President Indonesia Institute for Maritime Studies

Fokus pertahanan Indonesia yang sangat "inward looking" bergeser secara dramatik di tahun 2014 lalu saat bangsa ini melahirkan Presiden terpilih Joko Widodo yang secara lantang mencanangkan paradigma Indonesia baru sebagai negara ”Poros Maritim Dunia” (PMD). Sesungguhnya, visi PMD menjadikan Indonesia sekaligus menjadi negara poros dirgantara dunia.

Oleh sebab itu, kebijakan PMD berimplikasi tidak saja terhadap TNI AL, tetapi juga pada TNI AU yang harus memanggul tugas yang semakin kompleks dan berat. Utamanya, terkait masalah angkutan dalam pergerakan pasukan serta logistik mengingat politik global abad ke-21 menjadikan Asia sebagai pivot point, di mana perairan dan ruang udara Indonesia menjadi poros akan jalur utama perdagangan, sumber daya sekaligus pergerakan militer dunia.

Visi PMD dapat terbangun konkret jika diikuti kebijakan negara untuk membangun kekuatannya berbasis quadraplehelix, yaitu terwujudnya kolaborasi antara akademisi, pebisnis, pemerintah, dan militernya. Militer menjadi elemen krusial dan penting untuk diutamakan karena hanya dengan faktor militer dalam membangun sistem pertahanan negara yang tepatlah yang dapat menjadi pendorong utama terwujudnya teknologi dan industri pertahanan (indhan).

Mengapa? Karena sistem pertahanan negara yang tepat guna dan sasaran akan menuntut: Pertama, prinsip terciptanya profesionalitas yang mencakup fungsi, postur dan gelar TNI.

Kedua, prinsip bahwa implementasi pertahanan negara yang menjadi tugas TNI harus mengacu pada alutsista yang dapat—dikendalikan, dilakukan serta ditujukan—untuk menciptakan perdamaian. Ketiga, prinsip transparansi dan pertanggungjawaban dalam perumusan dan implementasi strategi pertahanan.

Peran pelibatan TNI AU dalam konsep negara PMD setidaknya harus mampu menjalankan fungsi air cover dan terbangunnya air defence system dengan faktor ukuran kesiapan (readiness) mencakup kemampuan teknis, taktik, alat deteksi serta modernisasi persenjataan pesawat udara, termasuk pada tingkat pengadaan, pemeliharaan, perbaikan serta platform yang diperlukan.

Target pencapaian kapabilitas serta readiness pada dasarnya terhubung erat pada implementasi roadmap kemandirian industri pertahanan sebagaimana diamanatkan UU No 16/2012 bahwa Indonesia akan mengambil jalan kemandirian untuk membangun industri pertahanan di mana negara akan memegang kendali dalam menentukan pembuatan, perawatan, penggunaan, serta pengadaan alutsistanya.

Indhan Alutsista Udara
Terkait di atas, maka selayaknya indhan alutsista udara menjadi pendukung kebutuhan TNI AU dalam menunjang kegiatan operasi militer baik perang maupun nonperang. Makna pendukung membawa implikasi bahwa indhan kedirgantaraan harus dapat menyesuaikan kebutuhan alutsista yang diinginkan oleh pengguna berdasarkan kebutuhan dan sesuai dengan kebutuhan alutsistanya.

Karena itu, terdapat beberapa kendala dan habit yang tidak dapat dibiarkan terus terjadi seperti saat di 2004 TNI AU telah melakukan kajian akan kebutuhan pesawat fix wing baling-baling yang kemampuannya sekelas C130 Hercules dan pilihannya jatuh pada pesawat Spartan C27 J, namun saat itu TNI AU dipaksa untuk membeli pesawat CN295 yang dibeli oleh PT DI, tetapi digembar-gemborkan sebagai produksi anak bangsa. Kemudian masalah wanprestasi PT. DI atas kontraknya dengan TNI AU sejak 1996 untuk menyuplai 16 pesawat Super Puma, di mana hingga pada 2016 ini PT DI baru mampu menyerahkan tujuh unit.

Haruslah dipertanyakan penolakan keras PT DI baru-baru ini akan rencana pengadaan Helikopter Augusta AW-101 sebagai helikopter angkut militer yang telah dikaji mendalam oleh TNI AU, di mana sikap bersikukuh PT DI untuk memaksa TNI AU membeli helikopter Puma dan Super Puma keluaran Eurocopter (Prancis) dengan menahbiskan serangkaian kecelakaan hingga mengakibatkan otoritas penerbangan Eropa (EASA) mengeluarkan perintah pelarangan terbang terhadap semua helikopter tersebut.

Padahal, sangat jelas fakta beruntun yang dialami Super Puma antara lain pada April 2016 saat H225 Super Puma LN-OJF milik CHC Helicopter Service yang mengangkut pekerja minyak lepas pantai dari rig Gullfaks di Laut Utara mengalami kecelakaan fatal pada bilah rotor utama, sehingga menewaskan seluruh penumpang termasuk pilot dan kopilot.

Insiden ini menambah daftar maut untuk tipe H225 dan AS332L2 (varian Super Puma), karena sebelumnya Mei 2012 EC225LP G-REDW mendarat darurat di laut karena kerusakan pada sistem pelumas gearbox utama dan keretakan di batang rotor, disusul pada Oktober 2012, H-225 G-GHCN milik perusahaan CHC Scotia juga mendarat darurat dikarenakan pompa sistem pelumas tidak bekerja.

Patut dicatat sebelum 2012, kecelakaan Super Puma juga terjadi di Brunei 1982, Norwegia 2001, Inggris 2011, serta Hong Kong 2013 di mana karenanya jenis helikopter ini mengalami suspended dengan durasi 19, 50, 33, dan 28 bulan.

Puncaknya adalah respons atas kecelakaan fatal pada April 2016 lalu, di mana Norwegian Civil Aviation Authority (NCAA) dan British Civil Aviation Authority (BCAA) mengeluarkan larangan terbang pada varian H225, menyusul larangan yang sama pada 2012. Hal ini mendorong beberapa negara termasuk militer Thailand dan Malaysia mewajibkan untuk meng-grounded semua heli militer Super Puma jenis EC275 Cougar yang dimiliki kedua negara tersebut. Karenanya tepatlah jika sekarang TNI AU me-milih alternatif selain dari Helikopter Puma, Super Puma dan EC275 Cougar.

Pada era Menhan Purnomo Yusgiantoro jelas dinyatakan PT DI harus dapat melakukan diversifikasi teknologi, sehingga industri pertahanan tumbuh tidak selamanya bergantung kepada pemerintah, dapat lebih mandiri bersama swasta dalam mendukung kekuatan TNI serta mampu mendorong pembangunan perawatan pesawat.

Terjadinya diversifikasi dengan melirik Helikopter Agusta Westland 101 (AW-101) sebagai alternatif adalah penting mengingat peran serta tugas utama PT DI sebagai BUMN yang seharusnya berfungsi sebagai driving force utama pembangunan kekuatan indhan kedirgantaraan, bukannya terus melanjutkan monopoli bersama produsen yang mengalami kegagaalan serta di-banned beberapa otoritas penerbangan negara.

KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna menekankan bahwa pengadaan AW-101 seharusnya tidak kental dengan aroma politisasi dengan mendesak TNI AU untuk membeli helikopter EC275 Cougar. Menurut KASAU berdasarkan kebutuhan dan pandangan TNI AU sebagai user yang mengkaji kebutuhan angkut dan operasional, spec-tech dan modernisasi yang dibutuhkan maka jelas performa dan spesifikasi teknologi AW-101 lebih menunjang kebutuhan TNI AU saat ini dan ke depan dibanding EC275 Cougar.

Selain mempertimbangkan beberapa insiden pada H225, KSAU juga menyangsikan kualitas helikopter buatan PT DI yang jelas menurutnya telah melakukan wanprestasi dalam pengadaan alutsista TNI AU. Rupanya, kedekatan PT DI dengan monopoli Airbus selama 30 tahun membuat PT DI lebih memilih bermanuver politik ketimbang mengejar modernisasi teknologi, kemampuan dan kemandirian dalam perannya sebagai BUMN penggerak indhan kedirgantaraan.

Industri Perakitan Atau Industri Pertahanan?
Dalam konteks indhan, diversifikasi menjadi kata kunci yang sangat relevan terkait prinsip bahwa negara yang kuat adalah apabila memiliki industri pertahanan yang kuat. Sebenarnya, dengan kasus di atas sudah waktunya PT DI disorot lebih dekat kinerjanya, karena industri penerbangan yang sehat sebenarnya harus mampu memproduksi pesawat udara dengan segala alat peralatan cadangnya, karenanya faktor pengkajian, penelitian, transfer of technology (TOT) serta sistem dan organisasi menjadi faktor terpenting.

Dari data yang diperoleh, terbukti bahwa apa yang diklaim PT DI tidak selamanya benar sehingga transparansi dalam pencapaian teknologi terkait indhan kedirgantaraan menjadi sangat krusial untuk dipertanyakan. Misalnya, EC725 terbukti seluruhnya ternyata masih dibuat di Prancis hingga tahapan tes terbang dan baru kemudian dikirimkan ke Indonesia dalam bentuk potongan yang kemudian dirakit kembali oleh PT DI dalam waktu tujuh hari, termasuk memasang forward looking infrared camera serta window gun saja.

KSAU menyatakan dengan tegas sebagai komisaris PT DI, kemampuan, kinerja, dan kondisi nyata PT DI sangat dipahaminya termasuk kasus teranyar terkait N219 yang baru-baru ini digembar-gemborkan telah melewati tahapan roll-out ternyata masih berupa mock-up. Selain masalah "transparansi teknologi" maka yang harus dipertanyakan adalah pertanggungjawaban PT DI dalam penggunaan anggaran R&D yang besar untuk pesawat tersebut.

Karena itu, sangat dipahami jika TNI AU kemudian memutuskan untuk tidak hanya menaruhkan kebergantungan pengadaan dan operasional helikopternya hanya pada satu varian saja, dan mengikuti jejak BASARNAS (BNPP) yang sebelumnya hanya mengoperasionalkan Dauphin AS365 N3+ Eurocopter, saat ini tercatat memilih Helikopter AW-139 yang memiliki kemampuan daya angkut dan jelajah di atas Dauphin.

Keberanian serta sikap tegas KSAU dalam memilih AW-101 kiranya menjadi sesuatu yang harus dihargai dalam konteks pembangunan kekuatan indhan yang jujur dan bertanggung jawab berbasis quadraplehelix, terutama mengingat TNI sebagai pengguna utama alutsista adalah elemen terpenting negara dalam rangka mewujudkan kesiapan alutsista pertahanan bagi negara PMD sekaligus poros dirgantara dunia yang kita cintai ini.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0735 seconds (0.1#10.140)