Kurator Meranti Minta Semua Pihak Hormati Putusan Pengadilan
A
A
A
JAKARTA - Kuasa hukum Allova Herling Mengko dan Dudi Pramedi selaku kurator yang mengurus aset kekayaan PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari meminta semua pihak menghormati putusan pengadilan.
Adapun Allova dan Dudi dituduh tidak independen dan melanggar Undang-undang (UU) tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) hingga akhirnya mereka dipolisikan.
Diketahui, proses restrukturisasi utang PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari telah selesai dan kini memasuki tahap pemberesan dalam proses kepailitan. Keduanya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) pada 22 Agustus 2016 lalu.
Kendati demikian, polemik kepailitan perusahaan perkapalan itu masih berlanjut hingga muncul kriminalisasi terhadap dua orang kurator yang mengurus aset kekayaan PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari, Allova dan Dudi.
Padahal pihak PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari sendiri yang secara sukarela mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada Pengadilan Niaga.
"Tetapi klien kami yakni Allova dan Dudi malah disalahkan bahkan dikriminalisasi ketika PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakpus," kata Kuasa hukum Allova dan Dudi, Guntur Fattahillah dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (23/10/2016).
Dia menjelaskan, dalam permohonan PKPU secara sukarela itu disebutkan, bahwa PT Meranti Maritime memiliki utang kepada Bank Maybank Indonesia sebesar Rp400 miliar dan PT PANN yang merupakan perusahaan BUMN sebesar Rp1,3 triliun.
Bersamaan dengan itu, PT Meranti Maritime mengusulkan kepada Pengadilan Niaga mengangkat dua orang pengurus atau kurator untuk proses PKPU ini, yakni Syahrial Ridho dan Tommy Siregar.
"Tetapi keduanya mengundurkan diri tanpa diketahui alasan yang jelas," tuturnya.
Kemudian pada Desember 2015, Pengadilan Niaga mengangkat dua orang tambahan pengurus yakni Allova Herling Mengko dan Dudi Pramedi. Kemudian, PKPU atas PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari pertama kali diberikan selama 45 hari.
Dalam kesempatan ini, Henry mengajukan proposal untuk membayar kepada krediturnya yang mencapai kurang lebih Rp1,8 triliun dengan membangun gedung pekantoran diatas tanah milik Meranti Bahari, yang juga saat itu sedang dalam keadaan PKPU dan juga dijaminkan kepada Maybank.
Dia menambahkan, dari pengelolaan gedung tersebut digunakan untuk mencicil kepada para kreditur selama 21 tahun. "Namun Maybank keberatan dengan penawaran ini dan meminta agar Meranti memperbaiki serta memberikan penawaran yang lebih realistis," ucapnya.
Lalu, perdamaian diperpanjang beberapa kali sampai dengan batas waktu maksimal yang diberikan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yakni 270 hari.
"Klien kami yang mengusulkan perpanjangan 90 hari terakhir. Namun sayangnya itu tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Meranti Maritime dan Henry," ucapnya.
Selanjutnya, pengurus melakukan proses verifikasi utang, namun ternyata PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari memiliki utang perusahaan asing (British Virgin Island) bernama Growth High Investment (GHI) yang mengaku memiliki tagihan kepada PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari sebesar Rp980 miliar yang terdiri dari utang pokok Rp280 miliar dan bunga Rp700 miliar.
"Namun tagihan dari GHI sebesar Rp980 miliar tidak dapat diverifikasi karena syarat pengajuan tagihan belum terpenuhi, lantaran terdapat dua surat kuasa dari orang berbeda untuk mewakili GHI serta tidak ada Surat Kuasa yang dilegalisir oleh Kedutaan Indonesia untuk wilayah British Virgin Island," paparnya.
Hingga akhirnya Hakim Pengawas Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan atas hal ini dengan tidak memberikan suara kepada GHI untuk mengikuti voting.
Pada tanggal 19 Agustus 2016, dilaksanakan voting oleh para kreditor atas proposal perdamaian yang diajukan oleh Meranti dan Henry. Voting berlangsung alot dan hasil dari voting tersebut adalah tidak terpenuhinya kuorum yang ditentukan UU PKPU dan Kepailitan.
Menurut undang-undang kepailitan, proposal perdamaian harus disetujui oleh kreditor yang mewakili tagihan sejumlah 66.67%.
Sebagai akibat tidak terpenuhinya kuorum tersebut sesuai dengan UU tentang Kepailitan, maka PT Meranti Maritime dan Henry harus dinyatakan pailit.
"Artinya, putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap dan karenanya kami harapkan semua pihak menghormati putusan ini tanpa mempolitisasinya," pungkas Guntur.
Adapun Allova dan Dudi dituduh tidak independen dan melanggar Undang-undang (UU) tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) hingga akhirnya mereka dipolisikan.
Diketahui, proses restrukturisasi utang PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari telah selesai dan kini memasuki tahap pemberesan dalam proses kepailitan. Keduanya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) pada 22 Agustus 2016 lalu.
Kendati demikian, polemik kepailitan perusahaan perkapalan itu masih berlanjut hingga muncul kriminalisasi terhadap dua orang kurator yang mengurus aset kekayaan PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari, Allova dan Dudi.
Padahal pihak PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari sendiri yang secara sukarela mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada Pengadilan Niaga.
"Tetapi klien kami yakni Allova dan Dudi malah disalahkan bahkan dikriminalisasi ketika PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakpus," kata Kuasa hukum Allova dan Dudi, Guntur Fattahillah dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (23/10/2016).
Dia menjelaskan, dalam permohonan PKPU secara sukarela itu disebutkan, bahwa PT Meranti Maritime memiliki utang kepada Bank Maybank Indonesia sebesar Rp400 miliar dan PT PANN yang merupakan perusahaan BUMN sebesar Rp1,3 triliun.
Bersamaan dengan itu, PT Meranti Maritime mengusulkan kepada Pengadilan Niaga mengangkat dua orang pengurus atau kurator untuk proses PKPU ini, yakni Syahrial Ridho dan Tommy Siregar.
"Tetapi keduanya mengundurkan diri tanpa diketahui alasan yang jelas," tuturnya.
Kemudian pada Desember 2015, Pengadilan Niaga mengangkat dua orang tambahan pengurus yakni Allova Herling Mengko dan Dudi Pramedi. Kemudian, PKPU atas PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari pertama kali diberikan selama 45 hari.
Dalam kesempatan ini, Henry mengajukan proposal untuk membayar kepada krediturnya yang mencapai kurang lebih Rp1,8 triliun dengan membangun gedung pekantoran diatas tanah milik Meranti Bahari, yang juga saat itu sedang dalam keadaan PKPU dan juga dijaminkan kepada Maybank.
Dia menambahkan, dari pengelolaan gedung tersebut digunakan untuk mencicil kepada para kreditur selama 21 tahun. "Namun Maybank keberatan dengan penawaran ini dan meminta agar Meranti memperbaiki serta memberikan penawaran yang lebih realistis," ucapnya.
Lalu, perdamaian diperpanjang beberapa kali sampai dengan batas waktu maksimal yang diberikan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yakni 270 hari.
"Klien kami yang mengusulkan perpanjangan 90 hari terakhir. Namun sayangnya itu tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Meranti Maritime dan Henry," ucapnya.
Selanjutnya, pengurus melakukan proses verifikasi utang, namun ternyata PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhari memiliki utang perusahaan asing (British Virgin Island) bernama Growth High Investment (GHI) yang mengaku memiliki tagihan kepada PT Meranti Maritime dan Henry Djuhari sebesar Rp980 miliar yang terdiri dari utang pokok Rp280 miliar dan bunga Rp700 miliar.
"Namun tagihan dari GHI sebesar Rp980 miliar tidak dapat diverifikasi karena syarat pengajuan tagihan belum terpenuhi, lantaran terdapat dua surat kuasa dari orang berbeda untuk mewakili GHI serta tidak ada Surat Kuasa yang dilegalisir oleh Kedutaan Indonesia untuk wilayah British Virgin Island," paparnya.
Hingga akhirnya Hakim Pengawas Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan atas hal ini dengan tidak memberikan suara kepada GHI untuk mengikuti voting.
Pada tanggal 19 Agustus 2016, dilaksanakan voting oleh para kreditor atas proposal perdamaian yang diajukan oleh Meranti dan Henry. Voting berlangsung alot dan hasil dari voting tersebut adalah tidak terpenuhinya kuorum yang ditentukan UU PKPU dan Kepailitan.
Menurut undang-undang kepailitan, proposal perdamaian harus disetujui oleh kreditor yang mewakili tagihan sejumlah 66.67%.
Sebagai akibat tidak terpenuhinya kuorum tersebut sesuai dengan UU tentang Kepailitan, maka PT Meranti Maritime dan Henry harus dinyatakan pailit.
"Artinya, putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap dan karenanya kami harapkan semua pihak menghormati putusan ini tanpa mempolitisasinya," pungkas Guntur.
(maf)