Konsolidasi vs Melemahnya DPR
A
A
A
PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) kemarin tepat melewati usia tahun kedua. Bersamaan dengan itu, pemerintahan Kabinet Kerja tersebut memasuki tahun ketiga, sebuah fase yang disebut-sebut sebagai momen pembuktian keampuhan kinerja untuk mewujudkan janji-janji yang terkemas dalam Nawacita.
Dari sisi politik harus diakui pemerintah menunjukkan perkembangan jauh lebih baik dibandingkan setahun sebelumnya. Kabinet gaduh yang hampir tidak berhenti membuat bising pemerintahan kini sudah tidak lagi terdengar. Malah, gaduh yang muncul akibat gesekan pemerintah dengan parlemen kini hanya sebatas cerita.
Kondisi demikian mencerminkan keberhasilan Jokowi untuk melakukan konsolidasi politik. Secara internal, sejumlah rangkaian reshuffle telah membuat kabinet kian solid. Tidak ada lagi nama-nama seperti Yuddy Chrisnandi, Rizal Ramly, maupun Sudirman Said yang sebelumnya hampir tiada henti membuat kontroversi dan membuat gaduh.
Sedangkan dalam konteks relasi eksekutif-legislatif, rezim Jokowi berhasil menghabisi kekuatan Koalisi Merah Putih (KMP) yang di awal pemerintahan menjadi faktor instabilitas signifikan. Bahkan, parpol seperti Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) kini masuk dalam jajaran parpol pendukung pemerintah.
Dalam perspektif konsolidasi kabinet, soliditas yang terbentuk di antara jajaran menteri merupakan indikasi yang sangat positif. Kondisi demikian mencerminkan berjalannya kewibawaan Jokowi sebagai kepala pemerintahan. Jokowi telah berhasil menjadi sentral utama kesetiaan para menteri dalam menjalankan tugas pemerintahan. Tidak ada lagi menteri bergerak atas agenda atau kepentingan sendiri atau kelompoknya.
Terwujudnya stabilitas politik dalam relasi eksekutif-legislatif yang menciptakan iklim politik nasional yang kondusif, juga menjadi faktor determinan berjalannya pemerintahan. Sebab, dengan terendamnya potensi ancaman tersebut, pemerintahan Jokowi bisa menjadi fokus memikirkan pembangunan, melakukan penganggaran pendanaan, dan mengeksekusi program. Tapi di sisi lain, kondisi ini juga menimbulkan jebakan membahayakan.
Konsolidasi politik di parlemen yang sudah terbangun saat memasuki fase awal tahun kedua pemerintah, langsung diiringi dengan berkurangnya secara drastis suara kritis dari parlemen. Sementara parpol tersisa seperti Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat relatif tidak mampu mengimbangi kekuatan parpol pendukung pemerintah.
Bahkan, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) dalam penelitiannya untuk mengevaluasi dua tahun pemerintahan Jokowi-JK menemukan kian melemahnya kontrol DPR terhadap pemerintah tersebut. Padahal, dalam prinsip trias politica , legislatif—plus yudikatif—tidak sekadar berfungsi sebagai pemisah kekuasaan vis a vis eksekutif. Di dalamnya juga mengandung konsep check and balance system. Inilah jati diri yang semestinya tetap menjadi pegangan DPR.
Walaupun Indonesia tidak menganut sistem parlementer sehingga tidak ada oposisi murni di pemerintahan, DPR bisa menjalankan fungsi penyeimbang dan pengontrol tersebut. Parpol nonpemerintah yang berada di parlemen bisa memainkan perannya untuk mengontrol jalannya pemerintah seperti dalam menjalankan fungsi budgeting maupun legislasi. Hal ini penting agar pemerintahan tetap on the right track.
Stabilitas memang penting, tapi DPR yang hanya berperan sebagai layaknya tukang stempel justru bisa berpotensi memunculkan sikap sewenang-wenang. Inilah pentingnya fungsi kontrol dan penyeimbang tetap dimainkan. Bahkan, segala manuver yang dimunculkan dari parlemen bisa memicu kreativitas untuk terus berpikir dan memproduksi program-program terbaik untuk negara dan rakyat dan membuat pemerintah tidak kehilangan arah dan tujuan.
Dari sisi politik harus diakui pemerintah menunjukkan perkembangan jauh lebih baik dibandingkan setahun sebelumnya. Kabinet gaduh yang hampir tidak berhenti membuat bising pemerintahan kini sudah tidak lagi terdengar. Malah, gaduh yang muncul akibat gesekan pemerintah dengan parlemen kini hanya sebatas cerita.
Kondisi demikian mencerminkan keberhasilan Jokowi untuk melakukan konsolidasi politik. Secara internal, sejumlah rangkaian reshuffle telah membuat kabinet kian solid. Tidak ada lagi nama-nama seperti Yuddy Chrisnandi, Rizal Ramly, maupun Sudirman Said yang sebelumnya hampir tiada henti membuat kontroversi dan membuat gaduh.
Sedangkan dalam konteks relasi eksekutif-legislatif, rezim Jokowi berhasil menghabisi kekuatan Koalisi Merah Putih (KMP) yang di awal pemerintahan menjadi faktor instabilitas signifikan. Bahkan, parpol seperti Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) kini masuk dalam jajaran parpol pendukung pemerintah.
Dalam perspektif konsolidasi kabinet, soliditas yang terbentuk di antara jajaran menteri merupakan indikasi yang sangat positif. Kondisi demikian mencerminkan berjalannya kewibawaan Jokowi sebagai kepala pemerintahan. Jokowi telah berhasil menjadi sentral utama kesetiaan para menteri dalam menjalankan tugas pemerintahan. Tidak ada lagi menteri bergerak atas agenda atau kepentingan sendiri atau kelompoknya.
Terwujudnya stabilitas politik dalam relasi eksekutif-legislatif yang menciptakan iklim politik nasional yang kondusif, juga menjadi faktor determinan berjalannya pemerintahan. Sebab, dengan terendamnya potensi ancaman tersebut, pemerintahan Jokowi bisa menjadi fokus memikirkan pembangunan, melakukan penganggaran pendanaan, dan mengeksekusi program. Tapi di sisi lain, kondisi ini juga menimbulkan jebakan membahayakan.
Konsolidasi politik di parlemen yang sudah terbangun saat memasuki fase awal tahun kedua pemerintah, langsung diiringi dengan berkurangnya secara drastis suara kritis dari parlemen. Sementara parpol tersisa seperti Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat relatif tidak mampu mengimbangi kekuatan parpol pendukung pemerintah.
Bahkan, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) dalam penelitiannya untuk mengevaluasi dua tahun pemerintahan Jokowi-JK menemukan kian melemahnya kontrol DPR terhadap pemerintah tersebut. Padahal, dalam prinsip trias politica , legislatif—plus yudikatif—tidak sekadar berfungsi sebagai pemisah kekuasaan vis a vis eksekutif. Di dalamnya juga mengandung konsep check and balance system. Inilah jati diri yang semestinya tetap menjadi pegangan DPR.
Walaupun Indonesia tidak menganut sistem parlementer sehingga tidak ada oposisi murni di pemerintahan, DPR bisa menjalankan fungsi penyeimbang dan pengontrol tersebut. Parpol nonpemerintah yang berada di parlemen bisa memainkan perannya untuk mengontrol jalannya pemerintah seperti dalam menjalankan fungsi budgeting maupun legislasi. Hal ini penting agar pemerintahan tetap on the right track.
Stabilitas memang penting, tapi DPR yang hanya berperan sebagai layaknya tukang stempel justru bisa berpotensi memunculkan sikap sewenang-wenang. Inilah pentingnya fungsi kontrol dan penyeimbang tetap dimainkan. Bahkan, segala manuver yang dimunculkan dari parlemen bisa memicu kreativitas untuk terus berpikir dan memproduksi program-program terbaik untuk negara dan rakyat dan membuat pemerintah tidak kehilangan arah dan tujuan.
(poe)