Gedung dan Air
A
A
A
SEBANYAK 25% gedung bertingkat (di atas delapan tingkat) di Jakarta dari sekitar 700-900 gedung merupakan gedung yang terbengkalai (KORAN SINDO, 18 Oktober 2016). Salah satu penyebabnya adalah lemahnya pengawasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Gedung yang terbengkalai menunjukkan bahwa gedung tersebut tidak layak pakai karena mungkin faktor keamanan dan kenyamanan. Namun, tampaknya faktor keamanan lebih mendominan. Jika menyangkut keamanan, artinya mempunyai tingkat kerawanan yang cukup tinggi sehingga layak untuk direnovasi atau bahkan dirobohkan.
Faktor keamanan gedung bertingkat ini menjadi penting karena di gedung-gedung bertingkat "dihuni" oleh ribuan pekerja yang parahnya mereka tidak tahu bahwa gedung yang mereka "huni" masuk kategori rawan. Penyebab kerawanan ini adalah konstruksi yang kurang bagus sehingga baru berumur sekian tahun sudah harus dikosongkan.
Penyebab lain karena ada penurunan permukaan tanah di Jakarta sekitar 9 cm setiap tahun akibat masih banyak bangunan yang mengandalkan air tanah. Hal lain adalah kelalaian dari pengelola gedung yang tidak melengkapi peralatan keamanan seperi untuk antisipasi kebakaran, banjir, dan gempa.
Di sisi lain, penggunaan air tanah di Jakarta semakin besar karena penyediaan air bersih di Jakarta masih sangat minim. Menurut data Pemprov DKI Jakarta, pemenuhan air bersih di kawasan Jakarta hanya sekitar 60%. Kondisi ini yang memicu beberapa gedung bertingkat menggunakan air tanah dengan cara (tentunya) mengebor tanah. Dampaknya yang ditimbulkan adalah ada penurunan permukaan tanah sekitar 10-15 cm per tahun.
Jika dikaitkan banyak gedung di Jakarta, artinya gedung-gedung di Jakarta mempunyai kerawanan. Jika tidak ada antisipasi konstruksi, gedung bisa miring atau bahkan retak sehingga bisa roboh.
Pengawasan yang lemah dari pemerintah memang selalu menjadi cerita klasik. Dari dulu hingga sekarang persoalan pengawasan seolah selalu menjadi buah bibir yang tidak pernah menemukan solusinya.
Banyak gedung yang terbengkalai hingga rawan dan banyak gedung yang terpaksa menggunakan air tanah (berdampak penurunan permukaan tanah) masih saja ada. Persoalan ini seolah menjadi anak tiri jika dibandingkan dengan persoalan kemacetan dan banjir di Jakarta, selain persoalan sosial yang lain.
Butuh kerja yang nyata dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi ini. Pemerintah harus cepat menentukan nasib ratusan gedung yang terbengkalai sehingga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain.
Menara Saidah di kawasan Cawang misalnya sudah beberapa tahun atau sejak sekitar 2008 tidak ada solusi dari pemerintah apakah dirobohkan atau diperbaiki konstruksinya. Lalu, soal pengadaan air bersih.
Jika memang pemerintah belum siap menyediakan air bersih, semestinya tidak mengizinkan bangunan-bangunan bertingkat berdiri karena hanya akan mengebor tanah untuk mendapatkan air. Di sisi lain, Pemerintah DKI Jakarta juga harus mempercepat penyediaan air bersih sehingga gedung-gedung yang tentu menunjukkan geliat ekonomi di Ibu Kota bisa disuplai air bersih, bukan malah mengambil dari air tanah.
Membandingkan dengan negara lain memang sepertinya tidak apple to apple. Namun, di negara-negara maju dengan gedung-gedung bertingkat mempunyai regulasi yang jelas. Beberapa negara atau kota di Eropa bahkan menetapkan umur tertentu (sekitar 20-30 tahun) bagi sebuah bangunan.
Jika sudah melebih batas umur yang telah ditentukan, gedung tersebut harus dirobohkan dan dibangun gedung yang baru. Pengawasan yang dilakukan pun sangat ketat. Jika ada gedung yang tidak memenuhi standar keamanan yang ditentukan, pemerintah kota di negara Eropa berani melakukan penyitaan atau pengosongan.
Alasannya, keamanan ribuan orang yang bekerja atau menghuni gedung tersebut. Bisakah Pemprov DKI Jakarta melakukan hal yang serupa? Tentu bisa karena modal utamanya adalah kemauan. Gedung dan air memang seolah sepele, namun dua hal tersebut bisa mengancam keamanan warganya jika tidak dikelola dengan baik. Tentu pemerintah tidak menginginkan bekerja dan hidup dalam ancaman hanya karena gedung dan air.
Gedung yang terbengkalai menunjukkan bahwa gedung tersebut tidak layak pakai karena mungkin faktor keamanan dan kenyamanan. Namun, tampaknya faktor keamanan lebih mendominan. Jika menyangkut keamanan, artinya mempunyai tingkat kerawanan yang cukup tinggi sehingga layak untuk direnovasi atau bahkan dirobohkan.
Faktor keamanan gedung bertingkat ini menjadi penting karena di gedung-gedung bertingkat "dihuni" oleh ribuan pekerja yang parahnya mereka tidak tahu bahwa gedung yang mereka "huni" masuk kategori rawan. Penyebab kerawanan ini adalah konstruksi yang kurang bagus sehingga baru berumur sekian tahun sudah harus dikosongkan.
Penyebab lain karena ada penurunan permukaan tanah di Jakarta sekitar 9 cm setiap tahun akibat masih banyak bangunan yang mengandalkan air tanah. Hal lain adalah kelalaian dari pengelola gedung yang tidak melengkapi peralatan keamanan seperi untuk antisipasi kebakaran, banjir, dan gempa.
Di sisi lain, penggunaan air tanah di Jakarta semakin besar karena penyediaan air bersih di Jakarta masih sangat minim. Menurut data Pemprov DKI Jakarta, pemenuhan air bersih di kawasan Jakarta hanya sekitar 60%. Kondisi ini yang memicu beberapa gedung bertingkat menggunakan air tanah dengan cara (tentunya) mengebor tanah. Dampaknya yang ditimbulkan adalah ada penurunan permukaan tanah sekitar 10-15 cm per tahun.
Jika dikaitkan banyak gedung di Jakarta, artinya gedung-gedung di Jakarta mempunyai kerawanan. Jika tidak ada antisipasi konstruksi, gedung bisa miring atau bahkan retak sehingga bisa roboh.
Pengawasan yang lemah dari pemerintah memang selalu menjadi cerita klasik. Dari dulu hingga sekarang persoalan pengawasan seolah selalu menjadi buah bibir yang tidak pernah menemukan solusinya.
Banyak gedung yang terbengkalai hingga rawan dan banyak gedung yang terpaksa menggunakan air tanah (berdampak penurunan permukaan tanah) masih saja ada. Persoalan ini seolah menjadi anak tiri jika dibandingkan dengan persoalan kemacetan dan banjir di Jakarta, selain persoalan sosial yang lain.
Butuh kerja yang nyata dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi ini. Pemerintah harus cepat menentukan nasib ratusan gedung yang terbengkalai sehingga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain.
Menara Saidah di kawasan Cawang misalnya sudah beberapa tahun atau sejak sekitar 2008 tidak ada solusi dari pemerintah apakah dirobohkan atau diperbaiki konstruksinya. Lalu, soal pengadaan air bersih.
Jika memang pemerintah belum siap menyediakan air bersih, semestinya tidak mengizinkan bangunan-bangunan bertingkat berdiri karena hanya akan mengebor tanah untuk mendapatkan air. Di sisi lain, Pemerintah DKI Jakarta juga harus mempercepat penyediaan air bersih sehingga gedung-gedung yang tentu menunjukkan geliat ekonomi di Ibu Kota bisa disuplai air bersih, bukan malah mengambil dari air tanah.
Membandingkan dengan negara lain memang sepertinya tidak apple to apple. Namun, di negara-negara maju dengan gedung-gedung bertingkat mempunyai regulasi yang jelas. Beberapa negara atau kota di Eropa bahkan menetapkan umur tertentu (sekitar 20-30 tahun) bagi sebuah bangunan.
Jika sudah melebih batas umur yang telah ditentukan, gedung tersebut harus dirobohkan dan dibangun gedung yang baru. Pengawasan yang dilakukan pun sangat ketat. Jika ada gedung yang tidak memenuhi standar keamanan yang ditentukan, pemerintah kota di negara Eropa berani melakukan penyitaan atau pengosongan.
Alasannya, keamanan ribuan orang yang bekerja atau menghuni gedung tersebut. Bisakah Pemprov DKI Jakarta melakukan hal yang serupa? Tentu bisa karena modal utamanya adalah kemauan. Gedung dan air memang seolah sepele, namun dua hal tersebut bisa mengancam keamanan warganya jika tidak dikelola dengan baik. Tentu pemerintah tidak menginginkan bekerja dan hidup dalam ancaman hanya karena gedung dan air.
(poe)