Warisan Ekonomi Raja Bhumibol
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
PEKAN lalu publik Thailand mengalami suasana duka yang teramat mendalam seiring wafatnya figur yang sangat dihormati dan disegani, yaitu Raja Bhumibol Adulyadej.
Sang raja yang memerintah selama tujuh dasawarsa dan tercatat sebagai raja terlama bertakhta di dunia memberikan inspirasi luar biasa terhadap sistem pemerintahan di Thailand, bahkan dianggap sebagai salah satu sosok yang paling berperan dalam kesuksesan perkawinan faktor kultural dan modernitas ekonomi di negaranya. Selama empat dekade terakhir, raja mengembangkan sistem ekonomi yang kelak menjadi the best legacy bagi bangsanya, yakni melalui ajaran sufficient economy philosophy (filosofi ekonomi berkecukupan) yang dengan secepat kilat menyebar menjadi ideologi ekonomi dan politik masyarakat di Negeri Gajah Putih tersebut.
Doktrin ini yang kemudian turut berperan besar meredam terjadinya krisis perekonomian yang tidak terkendali akibat ”tradisi” kudeta politik antara pihak militer dan masyarakat sipil yang terjadi berulang-ulang di Thailand. Kita bisa belajar beberapa aspek filosofis dari sistem ekonomi tersebut mengingat kultur dan struktur ekonomi- politik kita yang hampir serupa dengan sistem di Thailand.
Tiga fondasi yang dibangun Raja Bhumibol dalam teori sufficient economy-nya terdiri atas tiga unsur yang sifatnya saling terkait dan saling berpengaruh, yakni kecukupan (moderation), masuk akal (reasonableness), danself-immunity. Mongsawad (2010) menjelaskan ajaran ini tidak terfokus pada bagaimana sistem ekonomi berjalan atas pemahaman tersebut, tetapi bagaimana rasionalitas yang dibangun dalam setiap menyusun kebijakan ekonomi yang sifatnya strategis.
Filsafat ekonomi ini menekankan rasionalitas terhadap keputusan ekonomi untuk menjaga eksistensi kearifan lokal Thailand tetap terjaga meskipun mereka tidak menyatakan menolak ide globalisasi. Aspek terkuatnya terletak pada prinsip ”kemasukakalan” dalam setiap pengambilan keputusan negara. Proses pengambilan keputusan dilakukan secara teliti dan step-by-step, dimulai dari unsur terkecil dalam struktur masyarakat.
Kemudian ide untuk merasionalkan ekonomi diimbangi dengan aspek moralitas yang bertujuan menjauhkan masyarakat dari keserakahan ekonomi, juga harus memiliki dasar pengetahuan yang serbaterukur. Target pembangunan ekonomi bisa dimulai dari hal yang strategis, salah satu contohnya melalui kecukupan pangan masyarakat. Logika berikutnya baru dikembangkan, jika ketahanan domestik sudah cukup, barulah melakukan produksi ekspor.
Dengan adanya filsafat ekonomi ini, sumber daya alam di Thailand terjaga dengan baik dan pengelolaannya tidak ”serakah” dalam mengeksploitasi alam. Pemikiran ini mencoba sekaligus mengirimkan pesan moral yang baik bagi kita semua bahwa ideologi kapitalisme global perlu dibatasi lebih tegas agar bisa sejalan dengan kebutuhan ekonomi di suatu negara. Mereka berusaha tidak terpancing hanya melihat besaran pertumbuhan produk domestik brutonya, tetapi lebih besar pada aspek vital lainnya seperti gap kondisi sosial ekonomi masyarakatnya agar tidak timpang.
Simpulan sederhananya, prinsip sufficient economy Thailand adalah lebih mengedepankan ide konservasi di era modernisasi. Selepas wafatnya Raja Bhumibol, muncul beragam kekhawatiran akan kondisi politik dan perekonomian di Thailand. Publik menawarkan berbagai spekulasi seperti siapa yang akan menjadi raja berikutnya, bagaimana sistem sufficient economy akan tetap bertahan, dan pengaruhnya terhadap iklim bisnis di negaranya.
Untuk sementara ini Putra Mahkota Pangeran Vajiralongkorn disebut-sebut sebagai kandidat terkuat yang akan menggantikan peran sang ayahanda. Namun citra sang pangeran belum terlalu meyakinkan publik karena terpaan berbagai gosip miring seputar sisi kepribadian yang cenderung bertolak belakang dengan mendiang Raja Bhumibol.
Atas dasar ini pula spekulasi atas suksesi takhta kerajaan semakin menghangat, apalagi isunya rivalitas antarkubu politik yang dikaitkan antara massa pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Sinawatra (biasanya disebut Kaus Merah) dan yang anti-Thaksin (Kaus Kuning) ikut andil dalam menghangatkan suasana politik di Thailand. Kelompok Kaus Merah disebut memiliki kedekatan yang kuat dengan Pangeran Vajiralongkorn, sedangkan massa Kaus Kuning disebut tidak terlalu menyukai sang putra mahkota dan lebih mendukung jika Putri Maha Chakri Sirindorn yang naik takhta.
Situasi akan semakin panas jika junta militer ikut terpancing ”turun tangan” dengan dalih stabilitas politik. Perebutan takhta pemerintahan akan semakin meruncing karena Jenderal Prayut Chan-OCha yang saat ini menjadi perdana menteri memiliki kepentingan yang besar terhadap sosok pengganti Raja Bhumibol. Di dalam konstitusi sementara tertulis bahwa perdana menteri akan ditunjuk sang Raja meski harus melalui resolusi dari badan legislatif.
Perubahan struktur kekuasaan jika mengikuti tradisi di Kerajaan Thailand baru akan diputuskan setelah 100 hari setelah meninggalnya raja yang terakhir berkuasa. Masa transisi takhta kerajaan akan menjadi kunci kestabilan politik dan ekonomi di Thailand. Jika dalam periode transisi ini tidak mampu meredam gejolak krisis politik, situasi ini bisa merembet pada kinerja ekonomi yang berpotensi menjadi tidak stabil karena adanya ketidakpastian (uncertainty) kebijakan yang membuat para pelaku usaha memilih untuk wait and see.
Apalagi iklim politik di Thailand terhitung cukup rapuh yang dapat diindikasikan dari terjadinya kurang lebih 17 periode kudeta yang hampir semuanya didalangi militer. Padahal selama ini Raja Bhumibollah yang paling besar perannya dalam proses pengendalian dampak kudeta terhadap krisis politik dan ekonomi. Meskipun sehari setelah informasi meninggalnya Raja Bhumibol beredar posisi nilai tukar baht dan saham Thailand menguat, hal itu tidak cukup meredakan ancaman terhadap kinerja perekonomian jangka panjang akibat posisi ketergantungan yang tinggi terhadap peran strategis yang selama ini dijalankan Raja Bhumibol Adulyadej.
Modal Sosial dan Filsafat Politik
Terlepas dari situasi politik di Thailand yang sedang gonjang- ganjing, mari kita belajar beberapa filsafat politik yang telah diwariskan mendiang Raja Bhumibol. Pertama, pesan Raja Bhumibol terasa sangat mendalam saat berusaha menanamkan prinsip sufficient economy agar rakyatnya terhindar dari penyakit psikologis berupa keserakahan duniawi.
Filosofi ini sangat bertolak belakang dengan konsep kapitalisme yang sering dikait-kaitkan dengan ide profit optimization karena dalam pemikiran Raja Bhumibol, Thailand tidak harus sangat makmur dan yang terpenting hidup masyarakatnya selalu berkecukupan. Pemikiran tersebut sangat anomali dibandingkan dengan banyaknya negara maju yang menginginkan kekayaan negaranya seakanakan menjadi tidak terbatas hingga mereka berlomba-lomba melakukan ekspansi kolonialisme ke negara-negara yang politik pertahanannya memiliki banyak celah. Kalau ide ini bisa dikloning ke seluruh penguasa di setiap negara, sepertinya tidak akan sulit untuk merealisasi cita-cita perdamaian dunia dan menjaga keseimbangan ekosistem kehidupan tetap langgeng dalam jangka panjang.
Kedua, Raja Bhumibol sangat concern dengan pembinaan kemajuan dan kemandirian ekonomi di setiap desa dan daerah. Sang raja memperhatikan banyak hal detail yang diawali dari pengetahuan terhadap aspek-aspek minor. Salah satu contoh kebijakan yang membuahkan hasil maksimal adalah pengembangan One Tambon One Product (OTOP). Tambon merupakan wilayah yang setara dengan kecamatan di Indonesia. Bahkan Thailand menjadi salah satu kisah sukses yang menjadi percontohan pengembangan beberapa kawasan yang berlombalomba melakukan spesialisasi di beberapa komoditas.
Ketiga, salah satu konten utama dari sufficient economy adalah modal sosial, yaitu bahwa peran Raja Bhumibol sangat kuat baik untuk proses bridging (penguatan jaringan eksternal) maupun bonding (penguatan jaringan internal). Tensi politik dalam negeri Thailand mungkin cenderung paling ”beringas” dibandingkan negaranegara lain di ASEAN sehingga tidak cukup mengagetkan kalau peristiwa kudeta di negara tersebut seperti kisah novel yang dibaca berulang-ulang.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan setelah mangkatnya sang raja akan ada banyak kemungkinan dalam beberapa dekade ke depan, yaitu Thailand dianggap akan semakin sulit menghindari perang saudara secara berlanjutan. Pada posisi inilah tampak legitimasi yang kuat atas peran Raja Bhumibol dalam proses bonding antara kerajaan, militer, dan masyarakat sipil. Segi bridging dapat diindikasikan dari meningkatnya iklim investasi di Thailand.
Para analis Capital Economics (sebagaimana dikutip Kompas, 2016) menjelaskan dalam 10 tahun terakhir, investasi rata-rata memang hanya tumbuh 3%. Capaian pertumbuhan ini mungkin terhitung yang paling lambat di antara negara-negara lain di Asia Tenggara. Namun jika kita melihat kondisi geopolitiknya sebenarnya ini merupakan sesuatu produk kebijakan yang sudah sangat luar biasa.
Meskipun gejolak politik telah menghambat produk-produk infrastruktur publik dan membuat investor swasta takut, hal itu tidak membuat sektor pariwisata (yang sebenarnya sangat sensitif terhadap kondisi politik) melorot, tetapi tetap mampu menyumbang 10% pendapatan nasional Thailand dan sedikit demi sedikit membantu laju sektor perekonomian lainnya di negara itu. Kalau menurut pandangan penulis, Raja Bhumibol telah menjadi bumper yang kuat terhadap ketahanan ekonomi nasional di Thailand meskipun badai politik selalu menawarkan kehancuran ekosistem di negaranya.
Sebenarnya negara kita sangat potensial menerapkan kebijakan serupa karena di beberapa wilayah masih dianut sistem monarki/kerajaan lokal. Namun peran normatif para raja di Nusantara belum tampak dominan dalam memengaruhi kebijakan ekonomi dan politik pemerintah agar dekat dengan kemakmuran rakyatnya. Seharusnya peran para raja tidak terbatas sebagai simbol dari sebuah budaya dan situs sosial dari masyarakatnya karena seorang raja masih memiliki akses untuk menjadi mitra pembangunan yang ideal bagi pemerintah daerah dan nasional.
Seorang raja sering dianggap memiliki kedekatan dengan masyarakat sehingga masyarakat betul-betul merasa diayomi dan dilindungi raja. Kita perlu belajar dari apa yang diwariskan mendiang Raja Bhumibol dengan teologi sufficient economy-nya yang menggugah ideologi ekonomi rakyat Thailand.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
PEKAN lalu publik Thailand mengalami suasana duka yang teramat mendalam seiring wafatnya figur yang sangat dihormati dan disegani, yaitu Raja Bhumibol Adulyadej.
Sang raja yang memerintah selama tujuh dasawarsa dan tercatat sebagai raja terlama bertakhta di dunia memberikan inspirasi luar biasa terhadap sistem pemerintahan di Thailand, bahkan dianggap sebagai salah satu sosok yang paling berperan dalam kesuksesan perkawinan faktor kultural dan modernitas ekonomi di negaranya. Selama empat dekade terakhir, raja mengembangkan sistem ekonomi yang kelak menjadi the best legacy bagi bangsanya, yakni melalui ajaran sufficient economy philosophy (filosofi ekonomi berkecukupan) yang dengan secepat kilat menyebar menjadi ideologi ekonomi dan politik masyarakat di Negeri Gajah Putih tersebut.
Doktrin ini yang kemudian turut berperan besar meredam terjadinya krisis perekonomian yang tidak terkendali akibat ”tradisi” kudeta politik antara pihak militer dan masyarakat sipil yang terjadi berulang-ulang di Thailand. Kita bisa belajar beberapa aspek filosofis dari sistem ekonomi tersebut mengingat kultur dan struktur ekonomi- politik kita yang hampir serupa dengan sistem di Thailand.
Tiga fondasi yang dibangun Raja Bhumibol dalam teori sufficient economy-nya terdiri atas tiga unsur yang sifatnya saling terkait dan saling berpengaruh, yakni kecukupan (moderation), masuk akal (reasonableness), danself-immunity. Mongsawad (2010) menjelaskan ajaran ini tidak terfokus pada bagaimana sistem ekonomi berjalan atas pemahaman tersebut, tetapi bagaimana rasionalitas yang dibangun dalam setiap menyusun kebijakan ekonomi yang sifatnya strategis.
Filsafat ekonomi ini menekankan rasionalitas terhadap keputusan ekonomi untuk menjaga eksistensi kearifan lokal Thailand tetap terjaga meskipun mereka tidak menyatakan menolak ide globalisasi. Aspek terkuatnya terletak pada prinsip ”kemasukakalan” dalam setiap pengambilan keputusan negara. Proses pengambilan keputusan dilakukan secara teliti dan step-by-step, dimulai dari unsur terkecil dalam struktur masyarakat.
Kemudian ide untuk merasionalkan ekonomi diimbangi dengan aspek moralitas yang bertujuan menjauhkan masyarakat dari keserakahan ekonomi, juga harus memiliki dasar pengetahuan yang serbaterukur. Target pembangunan ekonomi bisa dimulai dari hal yang strategis, salah satu contohnya melalui kecukupan pangan masyarakat. Logika berikutnya baru dikembangkan, jika ketahanan domestik sudah cukup, barulah melakukan produksi ekspor.
Dengan adanya filsafat ekonomi ini, sumber daya alam di Thailand terjaga dengan baik dan pengelolaannya tidak ”serakah” dalam mengeksploitasi alam. Pemikiran ini mencoba sekaligus mengirimkan pesan moral yang baik bagi kita semua bahwa ideologi kapitalisme global perlu dibatasi lebih tegas agar bisa sejalan dengan kebutuhan ekonomi di suatu negara. Mereka berusaha tidak terpancing hanya melihat besaran pertumbuhan produk domestik brutonya, tetapi lebih besar pada aspek vital lainnya seperti gap kondisi sosial ekonomi masyarakatnya agar tidak timpang.
Simpulan sederhananya, prinsip sufficient economy Thailand adalah lebih mengedepankan ide konservasi di era modernisasi. Selepas wafatnya Raja Bhumibol, muncul beragam kekhawatiran akan kondisi politik dan perekonomian di Thailand. Publik menawarkan berbagai spekulasi seperti siapa yang akan menjadi raja berikutnya, bagaimana sistem sufficient economy akan tetap bertahan, dan pengaruhnya terhadap iklim bisnis di negaranya.
Untuk sementara ini Putra Mahkota Pangeran Vajiralongkorn disebut-sebut sebagai kandidat terkuat yang akan menggantikan peran sang ayahanda. Namun citra sang pangeran belum terlalu meyakinkan publik karena terpaan berbagai gosip miring seputar sisi kepribadian yang cenderung bertolak belakang dengan mendiang Raja Bhumibol.
Atas dasar ini pula spekulasi atas suksesi takhta kerajaan semakin menghangat, apalagi isunya rivalitas antarkubu politik yang dikaitkan antara massa pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Sinawatra (biasanya disebut Kaus Merah) dan yang anti-Thaksin (Kaus Kuning) ikut andil dalam menghangatkan suasana politik di Thailand. Kelompok Kaus Merah disebut memiliki kedekatan yang kuat dengan Pangeran Vajiralongkorn, sedangkan massa Kaus Kuning disebut tidak terlalu menyukai sang putra mahkota dan lebih mendukung jika Putri Maha Chakri Sirindorn yang naik takhta.
Situasi akan semakin panas jika junta militer ikut terpancing ”turun tangan” dengan dalih stabilitas politik. Perebutan takhta pemerintahan akan semakin meruncing karena Jenderal Prayut Chan-OCha yang saat ini menjadi perdana menteri memiliki kepentingan yang besar terhadap sosok pengganti Raja Bhumibol. Di dalam konstitusi sementara tertulis bahwa perdana menteri akan ditunjuk sang Raja meski harus melalui resolusi dari badan legislatif.
Perubahan struktur kekuasaan jika mengikuti tradisi di Kerajaan Thailand baru akan diputuskan setelah 100 hari setelah meninggalnya raja yang terakhir berkuasa. Masa transisi takhta kerajaan akan menjadi kunci kestabilan politik dan ekonomi di Thailand. Jika dalam periode transisi ini tidak mampu meredam gejolak krisis politik, situasi ini bisa merembet pada kinerja ekonomi yang berpotensi menjadi tidak stabil karena adanya ketidakpastian (uncertainty) kebijakan yang membuat para pelaku usaha memilih untuk wait and see.
Apalagi iklim politik di Thailand terhitung cukup rapuh yang dapat diindikasikan dari terjadinya kurang lebih 17 periode kudeta yang hampir semuanya didalangi militer. Padahal selama ini Raja Bhumibollah yang paling besar perannya dalam proses pengendalian dampak kudeta terhadap krisis politik dan ekonomi. Meskipun sehari setelah informasi meninggalnya Raja Bhumibol beredar posisi nilai tukar baht dan saham Thailand menguat, hal itu tidak cukup meredakan ancaman terhadap kinerja perekonomian jangka panjang akibat posisi ketergantungan yang tinggi terhadap peran strategis yang selama ini dijalankan Raja Bhumibol Adulyadej.
Modal Sosial dan Filsafat Politik
Terlepas dari situasi politik di Thailand yang sedang gonjang- ganjing, mari kita belajar beberapa filsafat politik yang telah diwariskan mendiang Raja Bhumibol. Pertama, pesan Raja Bhumibol terasa sangat mendalam saat berusaha menanamkan prinsip sufficient economy agar rakyatnya terhindar dari penyakit psikologis berupa keserakahan duniawi.
Filosofi ini sangat bertolak belakang dengan konsep kapitalisme yang sering dikait-kaitkan dengan ide profit optimization karena dalam pemikiran Raja Bhumibol, Thailand tidak harus sangat makmur dan yang terpenting hidup masyarakatnya selalu berkecukupan. Pemikiran tersebut sangat anomali dibandingkan dengan banyaknya negara maju yang menginginkan kekayaan negaranya seakanakan menjadi tidak terbatas hingga mereka berlomba-lomba melakukan ekspansi kolonialisme ke negara-negara yang politik pertahanannya memiliki banyak celah. Kalau ide ini bisa dikloning ke seluruh penguasa di setiap negara, sepertinya tidak akan sulit untuk merealisasi cita-cita perdamaian dunia dan menjaga keseimbangan ekosistem kehidupan tetap langgeng dalam jangka panjang.
Kedua, Raja Bhumibol sangat concern dengan pembinaan kemajuan dan kemandirian ekonomi di setiap desa dan daerah. Sang raja memperhatikan banyak hal detail yang diawali dari pengetahuan terhadap aspek-aspek minor. Salah satu contoh kebijakan yang membuahkan hasil maksimal adalah pengembangan One Tambon One Product (OTOP). Tambon merupakan wilayah yang setara dengan kecamatan di Indonesia. Bahkan Thailand menjadi salah satu kisah sukses yang menjadi percontohan pengembangan beberapa kawasan yang berlombalomba melakukan spesialisasi di beberapa komoditas.
Ketiga, salah satu konten utama dari sufficient economy adalah modal sosial, yaitu bahwa peran Raja Bhumibol sangat kuat baik untuk proses bridging (penguatan jaringan eksternal) maupun bonding (penguatan jaringan internal). Tensi politik dalam negeri Thailand mungkin cenderung paling ”beringas” dibandingkan negaranegara lain di ASEAN sehingga tidak cukup mengagetkan kalau peristiwa kudeta di negara tersebut seperti kisah novel yang dibaca berulang-ulang.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan setelah mangkatnya sang raja akan ada banyak kemungkinan dalam beberapa dekade ke depan, yaitu Thailand dianggap akan semakin sulit menghindari perang saudara secara berlanjutan. Pada posisi inilah tampak legitimasi yang kuat atas peran Raja Bhumibol dalam proses bonding antara kerajaan, militer, dan masyarakat sipil. Segi bridging dapat diindikasikan dari meningkatnya iklim investasi di Thailand.
Para analis Capital Economics (sebagaimana dikutip Kompas, 2016) menjelaskan dalam 10 tahun terakhir, investasi rata-rata memang hanya tumbuh 3%. Capaian pertumbuhan ini mungkin terhitung yang paling lambat di antara negara-negara lain di Asia Tenggara. Namun jika kita melihat kondisi geopolitiknya sebenarnya ini merupakan sesuatu produk kebijakan yang sudah sangat luar biasa.
Meskipun gejolak politik telah menghambat produk-produk infrastruktur publik dan membuat investor swasta takut, hal itu tidak membuat sektor pariwisata (yang sebenarnya sangat sensitif terhadap kondisi politik) melorot, tetapi tetap mampu menyumbang 10% pendapatan nasional Thailand dan sedikit demi sedikit membantu laju sektor perekonomian lainnya di negara itu. Kalau menurut pandangan penulis, Raja Bhumibol telah menjadi bumper yang kuat terhadap ketahanan ekonomi nasional di Thailand meskipun badai politik selalu menawarkan kehancuran ekosistem di negaranya.
Sebenarnya negara kita sangat potensial menerapkan kebijakan serupa karena di beberapa wilayah masih dianut sistem monarki/kerajaan lokal. Namun peran normatif para raja di Nusantara belum tampak dominan dalam memengaruhi kebijakan ekonomi dan politik pemerintah agar dekat dengan kemakmuran rakyatnya. Seharusnya peran para raja tidak terbatas sebagai simbol dari sebuah budaya dan situs sosial dari masyarakatnya karena seorang raja masih memiliki akses untuk menjadi mitra pembangunan yang ideal bagi pemerintah daerah dan nasional.
Seorang raja sering dianggap memiliki kedekatan dengan masyarakat sehingga masyarakat betul-betul merasa diayomi dan dilindungi raja. Kita perlu belajar dari apa yang diwariskan mendiang Raja Bhumibol dengan teologi sufficient economy-nya yang menggugah ideologi ekonomi rakyat Thailand.
(poe)