Pungli Lagi, Pungli Lagi

Rabu, 12 Oktober 2016 - 08:19 WIB
Pungli Lagi, Pungli...
Pungli Lagi, Pungli Lagi
A A A
APARAT kepolisian melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub) atas dugaan pungutan liar yang dilakukan beberapa oknum karyawan di kementerian tersebut. OTT ini terjadi sesaat setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar rapat tentang reformasi hukum di Indonesia. Dalam rapat tersebut salah satu agenda yang dibahas adalah pembentukan operasi pemberantasan pungli (OPP). Presiden Jokowi bahkan menyempatkan diri untuk mendatangi Kemenhub memantau langsung proses OTT yang sementara menyita uang sekitar Rp17.270.000.

Sebelumnya persoalan pungli juga diutarakan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dalam pengurusan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Anggota ORI Ahmad Suaedy mengatakan, pungli terjadi karena panjangnya antrean pengurusan eKTP (KORAN SINDO, 11 Oktober 2016). Dalam pemantauan yang dilakukan ORI di 34 provinsi, nilai pungli yang diberikan dari masyarakat kepada petugas sekitar Rp50.000 agar mendapat nomor antrean paling depan karena kuota dibatasi hanya 500 orang. Selain pungli antrean, juga ditemukan pungli untuk memprioritaskan percetakan dengan besaran puluhan ribu hingga ratusan ribu.

Sebelumnya lagi di Magelang, Jawa Tengah, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menemukan oknum Polri yang melakukan pungli saat pengurusan pajak kendaraan bermotor di kantor samsat setempat. Uang yang ditemukan sekitar Rp50.000 dan saat itu pula Ganjar meminta dikembalikan kepada seorang warga. Hal serupa juga dilakukan Ganjar di Jembatan Timbang. Dia juga menemukan praktik pungli yang dilakukan oknum petugas dinas perhubungan kepada sopir truk. Ya, pungli lagi, pungli lagi.

Praktik pungli dalam pengurusan izin atau mempercepat proses bukan rahasia di masyarakat. Hampir semua masyarakat sangat tahu bagaimana praktik pungli di lingkungan birokrasi pemerintahan. Pengurusan surat-surat sepele dari tingkat rukun tetangga hingga ke pemerintahan pusat pun pungli masih ada. Di jalanan pungli juga terjadi baik dilakukan oleh oknum aparat kepolisian, dinas perhubungan, ataupun yang lain. Baik masyarakat maupun petugas menganggap pungli bukan hal yang tabu.

Jika tidak ada pungli, justru dirasa aneh sehingga pungli sudah melekat dengan persoalan pengurusan surat menyurat. Ya, untuk menyamarkan sebutan pungli, banyak pihak yang menggantikan "uang rokok" atau "uang kopi" dan lain-lain.

Jumlahnya kadang memang kecil (puluhan atau ratusan juta) karena jika besar (jutaan bahkan miliaran) mungkin banyak yang menyebut suap, padahal namanya tetap saja suap yang masuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Maraknya, praktik-praktik haram ini seolah menunjukkan bahwa Indonesia seperti negeri pungli.

Hampir di semua aspek pengurusan surat-surat (dari RT hingga pusat) semua berkaitan dengan pungli atau suap. Hukum atau aturan yang berlaku seolah dikangkangi oleh para pelaku pungli. Masyarakat pun seolah tidak percaya lagi dengan hukum karena toh ada banyak oknum aparat sendiri yang "melegalkan" pungli. Pun kita tidak bisa serta-merta menyalahkan aparat. Masyarakat sendiri juga seperti memberi pembenaran untuk melakukan pungli. Artinya, pungli di negeri ini terjadi karena yang dipungli dan memungli telah sepakat. Selain itu, birokrasi yang berbelit juga membuat praktik-praktik pungli semakin subur terjadi.

Melakukan penindakan terhadap praktik pungli perlu dilakukan secara komprehensif. Bukan saja penindakan hukum yang tegas dan secara terus menerus, namun juga perlu mengedukasi masyarakat untuk tidak melakukan pungli. Pun praktik pungli yang dihapus jangan hanya di tingkat RT ataupun samsat, dalam kasus-kasus besar berupa suap dan yang lain juga harus ditindak tegas. Apa yang telah dilakukan pemerintah kemarin semoga bukan hanya sebagai omongan atau kebijakan di atas meja. Semua tentu berharap praktik-praktik tersebut benar-benar dikikis habis meski butuh waktu yang panjang. Tentu kita tidak ingin mendapat julukan negeri pungli karena negeri ini harus dibangun dengan norma-norma yang beradab.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4585 seconds (0.1#10.140)